JIC, JAKARTA — Di tengah gencarnya pemerintah, tokoh masyarakat, hingga kalangan pekerja seni mengampanyekan antipembajakan, timbul wacana dari sebagian kalangan yang tak mempersoalkannya. Pendapat tersebut mengatakan, hak cipta sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual (HKI) tak boleh dipatenkan. Alasannya, karena sejatinya segala ilmu di dunia ini adalah milik Allah SWT.
Hakikatnya, manusia tidak pernah menciptakan suatu ilmu. Mereka hanya menemukannya. Sejatinya, Allah SWT-lah yang mengajarkan manusia atas segala sesuatu. Firman-Nya, “Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-Alaq [96]: 5). Lantas pendapat ini akan dijadikan alasan umat Islam untuk melakukan pembajakan dengan legal?
Sebelum masuk ke ranah hukum, harus ada pemahaman bahwa karya-karya intelektual, seperti hasil penelitian, karya sastra dan seni, karya tulis, dan seterusnya butuh perjuangan dan pengorbanan untuk menghasilkannya. Perlindungan hukum bagi hak cipta sebenarnya sebagai penghargaan bagi orang yang telah bekerja keras dan berkorban melahirkan karya tersebut.
Bagaimana rasanya jika ada orang yang tiba-tiba saja menjiplak hasil karyanya kemudian meraup keuntungan dari hasil komersial bajakannya. Tentu ini sangat merugikan si pembuat karya. Inilah alasannya perlindungan hak cipta tersebut muncul. Di Tanah Air sendiri, payung hukum tentang hak cipta sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta.
Istilah hak cipta sendiri memang tidak muncul dari kalangan Islam. Ketika zaman kekhalifahan Islam hingga masa keemasan Daulah Islamiyah, banyak sekali khazanah keilmuan Islam yang dijiplak Barat. Umat Islam tak terlalu mempersoalkannya ketika itu. Tak sedikit hasil penemuan yang diinisiasi orang Barat yang sebenarnya diambil dari ide-ide brilian umat Islam di Timur Tengah.
Barulah setelah tahun 1470, hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dimulai di Venice, Italia. Mereka mengeluarkan UU HAKI pertama yang melindungi secara paten. Kaum ilmuwan, seperti Caxton, Galileo, dan Guttenberg bisa memonopoli produksi massal dan penjualan dari hasil penemuan mereka. Ide yang muncul di Italia ini kemudian diadopsi Inggris tahun 1623 dan terus berkembang ke seluruh dunia.
Jumhur ulama menyebutkan, syariat Islam mengakui adanya hak kepemilikan. Sebagaimana kepemilikan atas harta benda, demikian pula kepemilikan atas hasil karya. Apalagi, sebuah hasil karya intelektual yang didapatkan melalui kerja keras dan pengorbanan.
Misalkan, Islam membolehkan memungut upah atas jasa mengajarkan seseorang, bahkan mengajarkan Alquran sekalipun. Upah yang diberikan murid kepada guru bisa diistilahkan sebagai “transaksi jual beli ilmu”. Seseorang tidak mungkin menjual apa yang tidak dimilikinya. Ini sebagai isyarat Islam adanya pengakuan Islam atas kepemilikan intelektual.
Demikian pula ketika ilmu tersebut dibukukan, disimpan dalam bentuk digital, diaudiovisualkan, dan seterusnya, ia boleh menjualnya sebagai properti komersial. Orang lain tidak boleh menasabkan (mengatasnamakan) ilmu tersebut pada selain pemiliknya. Pengatasnamaan kepada selain pemiliknya adalah kedustaan dan penipuan. Sebagaimana perlindungan kepemilikan berlaku pada barang, demikian juga berlaku pada ilmu yang bersifat maknawi.
Bisa juga diibaratkan dengan seseorang yang menemukan lahan baru. Sejatinya memang seluruh permukaan bumi adalah milik Allah SWT (QS al-Jatsiyah [45]: 37). Namun, bagi siapa yang menemukannya pertama kali, dialah yang berhak memiliki lahan tersebut. Hadis Rasulullah SAW, “Siapa yang mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka ia adalah orang yang paling berhak.” (HR Darulqutni).
Sebagaimana hadis ini berlaku untuk benda, maka juga berlaku untuk nonbenda. Karena, keumuman lafaz hadis yang menyebutkan “sesuatu yang mubah”. Jika ada yang menemukan suatu ilmu yang memang sejatinya milik Allah SWT, dialah yang berhak untuk memiliki dan mematenkan ilmu tersebut.
Undang-undang yang melindungi hak cipta juga semacam perjanjian antarsesama umat Islam. Satu sama lain tidak boleh melanggar syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian tersebut. Hal ini sebagaimana disabdakan Nabi SAW, “Kaum Muslim terikat atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan yang haram.” (HR Tirmizi).
Pemilik suatu karya, seperti buku, lagu, video, dan sebagainya mencantumkan syarat bahwa karya mereka tidak boleh dibajak. Maka, umat Islam yang ingin memakai karya tersebut harus mematuhi persyaratan si pemilik. Hadis Rasulullah SAW, “Tidak halal mengambil harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.” (HR Abu Dawud dan Daruquthni).
Lantas bagaimana dengan pendapat kalangan yang tak mengakui hak paten? Kalangan ini berdalil dengan hadis Rasulullah SAW dari Abdullah bin Amr, “Siapa yang menyembunyikan (menghalangi) ilmu, niscaya Allah akan mengikatnya dengan tali kekang dari api neraka di hari kiamat kelak.” (HR Ibnu Hibbaan dan Hakim).
Para ulama bersepakat, yang dimaksudkan ilmu dalam konteks hadis tersebut adalah ilmu agama yang disembunyikan para ulama. Al-Khattabi ketika mensyarah Syarhus-Sunnah Al-Baghawi mengatakan, hadis ini berlaku pada ilmu yang harus diajarkan kepada orang lain yang hukumnya fardhu ain.
Seperti halnya seorang yang melihat orang kafir yang ingin masuk Islam dan meminta diajarkan Islam, tata cara shalat, dan sebagainya. Orang Islam yang paham tidak boleh enggan menyampaikan ilmunya. Adapun perlindungan hak cipta dalam urusan duniawi tidaklah termasuk dalam hadis ini.
Ada juga yang berdalil dari imam-imam besar, seperti al-Qurtubi, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar as-Qalani, dan imam-imam yang lain dalam mengarang buku. Mereka tidak pernah mematenkan hasil karya mereka. Padahal, karya tersebut dibuat dengan bersusah payah dan butuh perjuangan sangat melelahkan. Kembali kepada istilah Al-Khattabi, ilmu-ilmu yang ditulis para imam tersebut adalah ilmu agama yang tak patut ditutup-tutupi penyebarannya.
Sumber ; republika.co.id