INVESTIGASI BBC: BOCAH-BOCAH ROHINGYA DIJUAL UNTUK PROSTITUSI

0
367

JIC– Sejumlah bocah perempuan berusia pra-remaja di beberapa kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh diperdagangkan untuk bisnis prostitusi. Orang-orang asing yang ingin berhubungan seks dapat dengan mudah menemui anak-anak yang melarikan dari konflik di Myanmar.

Anwara berusia 14 tahun. Setelah keluarganya dibunuh di Myanmar, dia memutuskan untuk meminta tolong di pinggir jalan yang mengarah ke Bangladesh.

“Seorang perempuan datang menggunakan mobil van. Dia bertanya, apakah saya ingin ikut.”

Anwara mengangguk setuju dan naiklah dia ke mobil itu berbekal janji bahwa dirinya akan mendapat kehidupan baru. Namun, dia ternyata dibawa pergi ke kota terdekat di Bangladesh, Cox’s Bazar.

“Tak lama setelah itu mereka membawa dua anak laki-laki ke hadapan saya. Mereka memperlihatkan sebilah pisau dan menonjok saya di bagian perut dan memukuli saya karena saya tidak menurut. Kedua anak laki-laki itu lalu memerkosa saya. Saya tidak mau berhubungan seks tapi mereka terus memaksa.”

Rohingya refugee camp in Bangladesh
Image captionSebanyak hampir 700.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar sejak Agustus 2017 lalu.

Kisah perdagangan perempuan untuk bisnis prostitusi marak di kamp-kamp pengungsian Rohingya. Perempuan dewasa dan anak-anak menjadi korban utama. Mereka dipancing keluar dari kamp pengungsian untuk kemudian dilacurkan.

Tim BBC bersama Foundation Sentinel—sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan melatih dan mendampingi aparat hukum dalam memerangi eksploitasi anak—menuju Bangladesh guna menyelidiki jaringan di balik perdagangan anak yang santer terdengar.

Sejumlah anak dan orang tua mengatakan kepada kami bahwa mereka tadinya ditawari pekerjaan di luar negeri dan di Dhaka—ibu kota Bangladesh—sebagai pembantu rumah tangga, staf hotel, dan asisten di dapur.

Menawarkan kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik kepada para pengungsi yang dilanda keputusasaan merupakan taktik keji yang dilancarkan para pelaku perdagangan manusia. Terbukti, taktik semacam itu efektif untuk memancing bocah perempuan Rohingya terjun ke bisnis prostitusi.

Masuda, 14, yang kini mendapat bantuan dari lembaga amal setempat, memaparkan bagaimana dia diperdagangkan.

“Dari awal saya tahu apa yang akan terjadi pada saya. Perempuan yang menawarkan saya pekerjaan sudah diketahui banyak orang bahwa dia menyalurkan perempuan-perempuan ke bisnis seks. Dia adalah orang Rohingya dan sudah berada di sini sejak lama, kami mengenalnya. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Tidak ada apa-apa bagi saya di sini.

“Keluarga saya menghilang. Saya tidak punya uang. Saya pernah diperkosa di Myanmar. Dulu saya suka bermain di hutan bersama kakak dan adik. Sekarang saya tidak ingat lagi bagaimana rasanya bermain.”

Beberapa orang tua menangis jika anak mereka keluar dari kamp pengungsian karena khawatir tidak bisa berjumpa lagi. Namun, ada juga orang tua yang menyambut baik kesempatan hidup lebih baik, walau tidak pernah lagi mendengar kabar dari anak-anak mereka.

Seorang ibu bahkan berkata “di manapun lebih baik” dibanding kamp pengungsian.

Rohingya refugee camp in Bangladesh
Image captionKondisi kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh memudahkan akses jaringan perdagangan manusia.

Tapi, ke manakah anak-anak ini dibawa? Dan oleh siapa?

Dengan menyamar sebagai orang asing yang baru tiba di Bangladesh dan mencari perempuan untuk berhubungan seks, tim investigasi BBC berupaya menyelidiki.

Hanya dalam kurun 48 jam setelah bertanya kepada pemilik hotel kelas melati yang dikenal menjadi tempat esek-esek, kami mendapat nomor telepon dari sejumlah mucikari.

Kami kemudian bertanya kepada mucikari-mucikari ini apakah mereka punya gadis muda untuk orang asing, khususnya gadis Rohingya. Tanpa diketahui mereka, kami berkabar dengan kepolisian Bangladesh.

“Kami punya gadis-gadis muda, tapi mengapa kamu mau gadis Rohingya? Mereka paling kumuh,” kata seorang pria.

Ucapan seperti itu terus berulang selama penyelidikan kami. Dalam hierarki prostitusi di Cox’s Bazar, gadis-gadis Rohingya dianggap sebagai yang paling murah dan paling tidak diinginkan.

Selama negosiasi, kami menekankan bahwa kami ingin bermalam dengan gadis-gadis tersebut secepatnya karena kami tidak ingin menciptakan permintaan pasar.

Foto-foto sejumlah gadis pun bermunculan dan kami diberitahu bahwa mereka berusia antara 13 sampai 17 tahun. Jumlah gadis yang tersedia dan ukuran jaringan ini mengejutkan. Jika kami tidak suka dengan gadis-gadis pada foto yang disediakan, para mucikari ini menyodorkan banyak lainnya.

Sebagian besar gadis-gadis ini hidup bersama keluarga mucikari. Ketika mereka tidak melayani pelanggan, mereka kerap memasak atau bersih-bersih.

“Kami tidak menahan gadis-gadis ini untuk jangka waktu lama. Kebanyakan pria Bangladesh akan mendatangi mereka. Setelah beberapa waktu mereka bosan. Gadis-gadis muda menimbulkan banyak keruwetan, jadi kami membuang mereka,” ujar seorang mucikari.

Hasil rekaman dan pengamatan ini kemudian kami tunjukkan kepada kepolisian setempat. Sebuah tim lalu dibentuk guna melakukan penggerebekan.

Seorang mucikari langsung dikenali aparat. “Saya tahu dia. Kami sangat mengenalnya,” ujar seorang polisi. Tidak jelas apa maksud polisi tersebut, apakah sang mucikari informan atau bandit kambuhan.

Sumber : bbcindonesia.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

17 − two =