JIC, PALU- Adanya dualisme pandangan di kalangan umat Islam di Palu dan sekitarnya, menurutnya, membuktikan “agak sulit” untuk menghilangkan salah-satu diantaranya.
“(Karena) sekarang menjadi keyakinan di tingkat masyarakat,” ungkap Chalid, yang saat ini terlibat dalam jaringan relawan Koalisi Sulteng Bergerak untuk membantu pemulihan Palu dan sekitarnya pasca gempa.

Dia kemudian mengusulkan agar digelar dialog rutin untuk mempertemukan “sudut pandang” berbeda di kalangan masyarakat Palu itu agar tidak terjadi “benturan nilai” di antara orang-orang yang menjalani keyakinan itu.
“Harus ada pendekatan antropologis, ada pendekatan religius, ada dialog-dialog yang harus dibuka dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh adat, sehingga persoalan ini lebih jernih,” katanya.
Menurutnya, ini bisa dilakukan setelah Palu dan sekitarnya “pulih”.

Sementara, seorang pengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, program studi Biologi, Universitas Tadulako, Palu, Sulteng, Nadjamuddin Ramly, mengatakan, dirinya sebagai penganut Islam, meyakini adanya teks di Alquran dan Sunnah yang menyebutkan “syirik mempercepat datangnya musibah”.
“Bagi saya, keyakinan orang Palu (yang Muslim) itu meyakini ada unsur-unsur ritus budaya, khususnya ritus pengobatan orang sakit yang namanya Balia. Balia ini mengundang roh-roh di luar akal sehat kita,” ungkapnya memberi contoh.

Namun demikian, Nadjamuddin mengaku, dirinya juga meyakini fenomena pergeseran sesar Palu Koro yang disebutnya menjadi penyebab gempa di Sulteng. Dia menekannya adanya “kompabilitas” dua faktor tersebut.
“Secara saintifik rasional, dipercepat dengan perbuatan-perbuatan yang memang mengundang murka Allah SWT,” ungkap Nadjamudin yang juga Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud.
Sementara, mantan anggota Komnas HAM yang dilahirkan dan tumbuh besar di Kota Palu, Sulteng, Ridha Saleh, mengatakan, sebagian besar masyarakat Muslim di Palu tidak bisa melepaskan persoalan gempa dengan “kekuasaan Tuhan”.

“Walaupun secara sainstifik ada faktor Palu Koro, tapi secara subnatural, ada kelaziman lain yang oleh masyarakat dibenarkan,” kata Ridha.
“Saya kira antara faktor sainstifik dan kelaziman masyarakat menganggap bencana itu datang kepercayaan agama, itu tidak perlu dipertentangkan, karena dua-duanya fakta. Ada fakta sainstifik dan fakta sosiologi yang mereka percayai, yaitu dari Tuhan,” jelasnya.
Pengamat keislaman: ‘Harus di–counter, karena berbahaya sekali’
Pendapat berbeda ditunjukkan pemikir masalah keislaman, Budhy Munawar Rachman, yang menganggap cara berpikir yang menautkan gempa, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu dan sekitarnya, dengan apa yang disebut sebagai “hukuman Allah” sangat “berbahaya”.
“Kalau ada pendapat-pendapat seperti itu, saya kira pendapat itu harus di-counter, karena itu berbahaya sekali,” kata Budhy Munawar, pendiri Nurcholish Madjid Society, kepada BBC News Indonesia, Kamis (17/10) malam.

Dia mengkhawatirkan, apabila cara berpikir seperti itu dibiarkan, akan dijadikan alasan untuk menyerang kelompok-kelompok yang mempraktikkan “tradisi-tradisi lokal”.
Menurutnya, siapapun tidak bisa menghubungkan antara gempa bumi dengan hukuman atau peringatan dari Tuhan karena umat Islam dianggap sudah mempraktikkan syirik.

“Saya kira itu narasi itu harus ditolak, karena kita sudah mengerti lewat ilmu pengetahuan bahwa gempa bumi dan tsunami itu ada penyebab alaminya,” jelas pendiri dan pimpinan Project on Pluralism and Religious Tolerance, Center for Spirituality and Leadership (CSL) ini.
Budhy menjelaskan, di dalam Alquran memang ada narasi tentang peringatan atau hukuman Tuhan di balik bencana yang menimpa manusia, tetapi semuanya ada konteks atau latar kejadiannya.
“Memahami kitab suci atau memahami narasai agama tentang hukuman Allah itu selalu ada konteksnya. Dan yang penting itu adalah pesannya, yaitu apa yang ingin disampaikan narasi keagamaan itu,” jelas Budhy.
Lebih lanjut dia mengatakan: “Beragama itu tidak cuma dengan narasi, atau teologi keagaamaan, tapi juga memerlukan ilmu pengetahuan.”

Agama memerlukan pemahaman, dan agama yang tanpa pemahaman sebenarnya dia bukan agama yang sejati, kata Budhy.
“Agama yang sejati itu harus dimengerti. Tidak ada agama tanpa akal, begitu bunyi sebuah hadis,” tandasnya.
Dalam konteks inilah, menurutnya, masyarakat muslim perlu diberi pemahaman agar lebih mengkorelasikan semua gejala alam itu dengan ilmu pengetahuan, yang bisa “dimengerti”.
“Di sini tempatnya pendidikan di mana orang dalam beragama itu memerlukan pengertian, memerlukan ilmu pengetahuan.
“Jadi pendidikan agama itu, saya kira, harus memberi perhatian tentang pentingnya ilmu pengetahuan, dalam mengerti persoalan bencana,” tandasnya.
sumber : bbcindonesia.com