Larangan berpendapat, termasuk meretweet cuitan orang
JIC, JAKARTA– Menurut Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN), Muhammad Ridwan, status ASN melekat pada setiap individu terkait hingga ke dalam kehidupan sehari-hari. Alhasil, setiap tindakan ASN harus merujuk pada regulasi yang mengaturnya.
“ASN itu fungsinya sebagai, satu, pelaksana kebijakan publik, yang kedua pelayan publik, dan ketiga perekat dan pemersatu bangsa,” ujar Ridwan kepada BBC News Indonesia, Rabu (16/10).
Dengan ketiga fungsi tersebut, Ridwan menilai seorang ASN tidak patut mengkritik pemerintah di ruang publik. Bahkan, tindakan demikian dianggap bentuk pelanggaran sejumlah peraturan perundangan.
“Yang dilanggar adalah, misalnya, PP 42 (tahun) 2004 tentang Kode Etik PNS.”

Dalam peraturan pemerintah tersebut, tak ada satu pun pasal yang mengatur tata cara penyampaian pendapat kepada pemerintah, baik saran maupun kritik, yang bisa dilakukan ASN.
Beleid yang paling mendekati aturan tentang hal itu, setidaknya, terdapat pada Pasal 11 yang berbunyi “Jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar”.
Sementara dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, seorang ASN berkewajiban untuk “menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan”.
Sedangkan pada Mei 2018, Kepala BKN mengeluarkan surat edaran kepada pejabat pembina kepegawaian, baik di pusat maupun daerah, untuk mencegah apa yang mereka sebut potensi gangguan ketertiban dalam pelaksanaan tugas dan fungsi PNS.
Beberapa poin di antaranya melarang penyampaian pendapat di muka umum, baik secara lisan maupun tulisan, baik secara langsung maupun media sosial – termasuk share, broadcast, upload, retweet, regram dan sejenisnya- yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan pemerintah.
Ia menyarankan kepada ASN yang ingin memberikan masukan kepada pemerintah untuk menggunakan saluran-saluran informasi dan pengaduan yang terdapat di masing-masing kementerian/lembaga, bukannya di ruang publik seperti media sosial.
“Kalau kita lakukan di muka umum intensinya apa? Mau jadi grup penekan pemerintah? Atau pressure group yang lain, seperti halnya lembaga swadaya masyarakat, NGO? Apakah ingin mengaktualisasikan diri sendiri? mengekspresikan kepakaran masing-masing? Mau meng-exercise apa? Kan nggak jelas kalau tujuannya hanya untuk di media sosial,” cecar Ridwan.
Ia menekankan bahwa tindakan tersebut tidak bertentangan dengan semangat kebebasan berbicara, sesuatu yang tegas disanggah peneliti sekaligus Deputi Direktur Riset ELSAM, Wahyudi Djafar.
“Undang-Undang Dasar itu kan menekankan pada semua saluran itu harus dibuka, entah saluran internal, entah saluran eksternal, itu tidak dibatasi,” ungkap Wahyudi.
“Yang penting tadi, dasarnya (kritik) adalah informasi yang valid, informasi yang terverifikasi, yang betul.”

Wahyudi menyoroti pengkritik yang menggunakan data-data tidak valid, bermuatan hoaks bahkan mengandung unsur ujaran kebencian. Kalaupun ada ASN yang demikian, Wahyudi menganggap ada andil pemerintah dalam pernyataan sikap tersebut.
“Ada kegagalan di pemerintah sendiri ketika dia belum secara tepat, secara baik, melakukan literasi informasi maupun literasi digital – dalam konteks yang lebih luas – terhadap ASN itu sendiri,” katanya.
Wahyudi justru menuntut pemerintah untuk menggalakkan proses literasi informasi dan digital bagi ASN, ketimbang mengeluarkan edaran tentang larangan kritik.
“Jangan kemudian karena alasan bahwa selama ini bayak ujaran kebencian, bukan berarti alasan itu menjadi argumentasi bagi pemerintah untuk melarang kritik menggunakan sarana-sarana di luar sarana internal yang disediakan oleh pemerintah sendiri,” katanya.
sumber : bbcindonesia.com