TERINGAT SAAT NYANTRI, AKBAR BATAL GABUNG ISIS

0
202

Presiden Singapura, Halimah Yacob (tengah) saat bertemu dengan sutradara film Jihad Selfie, Noor Huda Ismail (kiri) dan pemeran film Jihad Selfie, Teuku Akbar Maulana (kanan).  Foto: dokpri

Akbar ragu dengan doktrin ISIS tentang berjihad tanpa izin orang tua.

JIC— Jauh dari orang tua membuat Teuku Akbar Maulana (20 tahun) minim pengawasan. Memang Akbar sehari-hari tinggal di asrama di Kota Kayseri, Turki. Namun, karena ada sekitar 600-an siswa dari berbagai negara, termasuk Turki dan sebanyak 20 siswa asal Indonesia, membuat pengawasan yang dilakukan petugas yang mengurus asrama menjadi tidak terlalu ketat.

Sebagai siswa cerdas yang hapal Alquran dan lihai berbahasa Arab, Akbar mendapat beasiswa untuk menempuh jenjang setingkat sekolah menengah atas (SMA) di International Anatolian Mustafa Germirli Imam Khatip High School (2013-2017).

Sekolah Akbar cukup terkenal lantaran melahirkan salah satu alumnus yang terkenal, yaitu Presiden Turki Recep Thayyip Erdogan. Sebagai siswa asal Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh, Akbar memang harus berpisah dengan kedua orang tuanya demi mendapatkan pendidikan terbaik dari Pemerintah Turki.

Akbar mengatakan, berbeda dengan konsep pondok pesantren (ponpes), di asrama mahasiswa yang berstatus internasional itu penghuninya dibebaskan memiliki dan menggunakan handphone. Dengan catatan, mereka tidak melanggar aturan asrama dan aktivitasnya tak mengganggu siswa lainnya. Hal itu berbeda jika memasuki jam sekolah maka siswa dikenakan aturan ketat untuk mengikuti tata tertib yang diberlakukan pihak sekolah, termasuk juga dilarang membawa ponsel.

Lambat laun, kebebasan yang dinikmati Akbar itu ternyata malah membawanya berkenalan dengan jaringan ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) yang sedang kuat-kuatnya bertempur di Suriah dan Irak. Dia mengaku, setiap harinya terus membuka aplikasi Skype, WhatsApp, atau Yahoo Messenger, yang lebih sering menggunakan ponsel untuk berkomunikasi dengan seseorang di seberang. Tidak main-main, orang yang dikenal Akbar secara daring adalah anggota ISIS yang bertugas merekrut anak-anak muda untuk bergabung dalam jihad yang berlangsung di Suriah.

Sebagai siswa remaja yang masih mencari jati diri, Akbar merasa kerap penasaran ketika mengobrol dengan orang yang setiap harinya berkomunikasi dengannya secara daring (online) itu. “Saya bisa bebas berkomunikasi karena di asrama itu tidak ada pengawasan yang ketat. Kami bisa bebas memakai ponsel atau komputer,” ujar Akbar mengisahkan jalinan pertautannya dengan ISIS pada medio 2014 kepada Republika, belum lama ini.

Uniknya, kata dia, orang yang berkomunikasi dengannya itu hanya akan membalas atau merespons kalau yang mengirimkan pesan itu ia sendiri. Akbar pernah mencoba berkirim pesan menggunakan nomor lain, namun orang itu tidak merespon sama sekali dan hanya membaca pesan yang dikirimnya itu.

Anggota ISIS yang menjalin komunikasi itu seolah memiliki kode tertentu yang bisa memastikan bahwa orang yang diajak komunikasi adalah Akbar, bukan orang lain. Dari situ, Akbar berkesimpulan, orang yang mengenal sosok milisi ISIS asal Indonesia, yaitu Aman Abdurrahman, itu hanya fokus kepada targetnya saja dan tidak sembarangan orang bisa menjalin kontak dengannya.

 

photo

Gerakan ISIS

Akbar menuturkan, ketika kerap berhubungan secara daring dengan orang yang belum pernah ditemuinya tersebut, ia selalu dikirimi hadis berisi ajakan perang untuk membela agama Islam. Akibat terus didoktrin dengan ajakan untuk berjihad dan dicecoki perjuangan milisi ISIS yang ingin mendirikan sebuah negara Islam, Akbar lama-lama bersimpati dan tertarik untuk bergabung dengan pasukan ISIS.

Akbar mengatakan, sebagai anak muda yang sedang mencari jati diri, ia semakin tertantang ketika bisa berselancar di dunia maya mendapati video pasukan ISIS yang menenteng senjata api dan bertempur untuk memperebutkan suatu wilayah. Dalam suatu waktu, ia sampai pada kesimpulan terkagum-kagum saat mendapati teman seasrama di Kayseri, Yazid mengunggah foto berpose memegang AK-47. Akbar pun akhirnya memahami, kalau Yazid yang merupakan kakak kelasnya di SMA dan belakangan diketahui tidak aktif sekolah, ternyata sudah berada di Suriah untuk ikut berperang.

Akbar mengaku, niatan bergabung dengan ISIS itu lantaran selama ini merasa jenuh dengan aktivitas sekolah yang dijalaninya. Apalagi, pelajaran yang diajarkan di sekolah sebagian ada yang sudah dipelajarinya di sekolah menengah pertama (SMP) Islam YPUI Darul Ulum Jambo Tape, Kota Banda Aceh (2010–2013), yang juga menjadi tempat nyantri. Sebagai pelariannya, Akbar setiap hari membuka Facebook dan akun media sosial (medsos), dan mendapati beragam informasi tentang pasukan ISIS yang sedang berperang.

Lama-lama, karena terus terpapar informasi tersebut, ia terpicu untuk untuk tertarik bergabung memanggul senjata. Hingga pada medio 2014, ia mencapai kesepakatan dengan anggota ISIS yang mengontaknya itu, dan meminta dijemput di suatu lokasi yang sudah disepakati di Kayseri, untuk menyeberang ke Suriah.

“Saya pas waktu mau berangkat menyeberang itu masih ragu, karena ada dua pilihan, balik ke Aceh atau ke Suriah, karena juga sudah memegang tiket pulang kampung karena sekolah memasuki liburan. Tapi, keraguan saya kalau menyeberang, karena belum mendapat izin orang tua,” kata mahasiswa semester dua Jurusan Hubungan Internasional Erciyes University, Kota Kayseri, yang berstatus cuti dan sementara ini merintis pendirian ponpes di kampung halamannya ini.

Mendekati hari keberangkatan, perasaannya semakin bimbang. Akbar kembali berkomunikasi dengan anggota ISIS itu tentang niatannya yang belum mantap untuk bergabung dengan ISIS. Namun, oleh orang itu, Akbar kembali dikirimi ayat yang berisi ajakan jihad tidak perlu mendapatkan izin orang tua. Pun ia juga diberi pilihan hidup mulia atau mati syahid, yang bisa didapatkan Akbar kalau bergabung dengan ISIS di Suriah.

Mendapat pesan seperti itu, ia pun kembali yakin untuk meninggalkan Turki. Namun, tidak lama kemudian, hati kecilnya malah mempertanyakan motivasinya yang ingin meninggalkan sekolah untuk pergi ke negara yang tidak dikenalinya itu.

Pergulatan pikiran terus dialami Akbar, lantaran ia bisa mengidentifikasi bahwa hadis atau ayat yang dikirimkan anggota ISIS itu kepadanya ada yang tidak tepat. Bahkan, pesan yang disampaikannya kadang bermuatan propaganda dan mengandung hal yang dilebih-lebihkan, seperti berperang demi membela agama, yang dianggapnya sebagai hal yang patut diuji kebenarannya.

Karena itu, kadang Akbar pun merasa perlu memfilter informasi yang diterimanya dengan menyandingkannya dengan pelajaran agama yang selama ini didapatkannya ketika mengaji di rumah dan sekolah selama berada di Tanah Air.

“Karena pas SMP di Aceh saya juga pernah di pesantren jadi tahu hadis semuanya harus mendapat izin orang tua. Dari situ saya jadi ragu juga dengan doktrin ISIS yang mengajak berjihad tidak usah izin orang tua. Saya telepon guru, dan diingatkan tentang ridha Allah tergantung ridha orang tua. Di situ saya berlinang air mata,” kata Akbar.

Namun, karena intensitas berhubungan dengan jaringan ISIS lebih sering dilakukan Akbar dibandingkan dengan keluarganya di Aceh, kondisi itu membuatnya tetap bertekad untuk pergi ke Suriah. Pada hari keberangkatan, kegalauan Akbar semakin menjadi-jadi. Dia sudah memiliki tiket untuk menyeberang ke Suriah dengan naik bus sekitar lima sampai enam jam. Dengan menggunakan jasa agen bus yang sudah terkoneksi dengan milisi ISIS, Akbar rencananya dijemput di suatu lokasi ketika sudah masuk wilayah Suriah.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Erik Purnama Putra*

 

 

sumber : Republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

8 − 2 =