JIC – Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan bagi umat Islam menjadi catatan penting untuk dikaji di pengujung Tahun 2019 ini. Di satu sisi, ada ghirah persatuan umat namun di sisi lain tak sedikit rintangan yang dihadapi.
Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre, Rakhmad Zailani Kiki, membeberkan empat catatan mengenai peristiwa yang terjadi terkait persoalan umat Islam di Jakarta sepanjang tahun 2019.
Pertama, kata dia, di awal tahun 2019 sampai pascapemilihan presiden dan wakil presiden, umat Islam, mengalami polarisasi dalam dua kubu kepentingan politik.
“Ini sebuah konsekuensi yang wajar dalam sebuah kompetisi politik yang seharusnya berlangsung dalam kegembiraan dan semangat persaudaraan. Setelah kompetisinya berakhir harusnya semua kembali menyatu,” kata Rahmad, Senin (30/12).
Namun yang terjadi justeru sebaliknya, kompetisi penuh kemarahan dan kebencian dengan polarisasi yang merusak ukhuwah Islamiyah dan kerusakannya terus terjadi pascapilpres bahkan sampai saat ini. Menurut dia, jika ini dibiarkan, tentu sangat merugikan umat Islam itu sendiri.
“Karenanya, ini harus segera diakhiri dengan segera melakukan pertemuan-pertemuan bersama secara intensif yang efeknya sampai ke akar rumput dalam semangat untuk merajut kembali ukhuwah Islamiyah dan memperkuatnya,” jelasnya.
Kedua, terminologi radikalisme yang digunakan oleh pemerintah justeru memperparah ukhuwah Islamiyah yang sudah terkoyak, rusak, yang merupakan ekses dari Pilpres tahun 2019. Banyak pihak yang mengusulkan agar istilah radikalisme ini diganti dengan istilah lainnya, dicarikan istilah yang tidak mengundang polemik, seperti eskstremisme.
“Selain itu, dalam upaya penanggulangannya, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan aparat yang berwenang perlu melibatkan ormas-ormas Islam dan juga mengedepankan dialog serta pendekatan-pendekatan persuasif lainnya,” katanya.
Ketiga, ghirah umat Islam dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam begitu tinggi dan menyentuh hampir di seluruh aspek kehidupan, terutama aspek ekonomi. Gerakan hijrah dari praktik ekonomi ribawi menjadi tren umat Islam di Jakarta di tahun 2019 ini.
Sebagian mereka yang tergabung dalam gerakan hijrah ini dan terhimpun di berbagai wadah adalah para pengusaha yang terlilit persoalan kredit macet di perbankan konvensional dan para pelaku usaha atau konsumen yang terjerat pinjaman online. Pemerintah maupun ormas serta lembaga keuangan Islam, dapat cepat merespon gerakan hijrah ini.
Keempat, pembatalan pemberian penghargaan Adi Karya Wisata 2019 kepada diskotek Colosseum Club 1001 Jakarta oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ini merujuk rekomendasi dari Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) DKI Jakarta kepada Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) 10 Oktober 2019 patut diapresiasi dan menjadi momentum bagi pihak-pihak terkait untuk lebih menggalakan kembali upaya pencegahan dan penanggulangan narkoba di Ibu Kota.
“Terlebih di tahun 2019 ini, DKI masih menjadi provinsi dengan tingkat penyalahgunaan narkoba tertnggi di Indonesia,” ujar Rakhmad.
Dia mengusulkan agar BNNP Provinsi DKI Jakarta dapat lebih melibatkan alim ulama yang tergabung dalam Gerakan Nasional Anti Narkoba (Ganas Annar) MUI Provinsi DKI Jakarta, dimana pada tahun 2019 ini telah memiliki pengurus cabang di lima wilayah kota dan satu kabupaten. Sebab, alim ulama adalah pemimpin non formal yang hidup dan beraktivitas di tengah-tengah masyarakat. Ucapan mereka masih sangat didengar dan dipatuhi umat.
“Mereka dapat memberikan penyuluhan secara efektif kepada masyarakat tentang bahaya narkoba melalui berbagai ruang, media dan kesempatan yang mereka punya nyaris dua puluh empat jam, seperti khutbah Jumat, tabligh akbar, pengajian, dan lain lain,” katanya.
Sumber : indonesiainside.id