Kerusuhan buruk ini mengulang perestia yang sama pada tahun 1947.
JIC — “Mereka telah melepaskan kekuatan yang tidak dapat sepenuhnya dikendalikan,” kata Ashutosh Varshney, seorang profesor ilmu politik di Brown University. “Apakah Tuan Modi dan [menteri dalam negeri Amit] Shah dapat memeriksa kekuatan-kekuatan ini masih harus dilihat. Para perusuh itu pajurit yang berjalan kaki di atas tanah yang dipenuhi dengan semangat ideologis yang telah mengebor hari mereka, yakni dengan kiasan bahwa nasionalisme Hindu yang melihat Muslim sebagai musuh India. ”
Masalah memilukan ini ternyata meluas ke berbagai di daerah di India. Pada hari Minggu Kapil Mishra, seorang politisi pemimpin partai BJP garis keras, mengancam umat Islam yang memblokir jalan dalam protes damai akan dikenai pidana akibat hukum kewarganegaraan. Saat itu dia berbicara kepada orang-orang Hindu sayap kanan terkait kunjungan Presiden AS tersebut. Dia memperingatkan bahwa jika para pengunjuk rasa tidak pergi pada saat kunjungan Trump selesai, mereka akan mengambil masalah yang berasal dari tangan mereka sendiri.
Dan tak lama setelah itu, kata saksi, kelompok-kelompok Hindu dan Muslim mulai saling melempari batu. Alhasil, pada hari Senin, banyak daerah besar di India berada dalam cengkeraman kerusuhan dalam skala penuh. Gerombolan orang Hindu, membawa senjata api, bom bensin dan batang besi, merampok melalui jalan-jalan yang padat di daerah itu. Mereka juga menyerang orang yang lewat dan membakar properti yang mereka curigai sebagai milik orang Muslim India.

“Mereka meminta kartu identitas untuk melihat apakah mereka Hindu atau Muslim. Dan jika mereka melihat orang Muslim mereka akan memukulnya,” kata Abul Kalam, seorang salesman berusia 60 tahun yang mengendarai sepeda motornya dengan seorang rekan Hindu ketika mereka menemukan para perusuh.
Bila menengok sejarah India, peristiwa rusuh sektarian ini seolah mengilang kembalai hal yang sama di peristiwa rusuh yang kejam pada tahun 1947. Saat itu hingga 2 juta orang diperkirakan telah meninggal akibat hal yang sama. Perusuh saat itu mempertanyakan orang-orang tentang agama mereka, menuntut mereka melafalkan doa, menunjukkan simbol-simbol agama atau bahkan menarik celana mereka.
“Jika seseorang memiliki janggut atau berpenampilan Muslim, mereka meminta orang membuka celana mereka dan membuktikan bahwa mereka Hindu,” kata seorang aktivis sosial berkisah sal sejarah buruk tersebut.
Sementara itu, para saksi mata lainnya mengatakan polisi tampaknya tidak berbuat banyak untuk menghentikan para perusuh. Mazid, seorang pemilik toko berusia 32 tahun, mengatakan ia dan tetangganya yang tinggal di sebuah ruas jalan campuran Hindu-Muslim kala itu sempat berjuang bersama berusaha melindungi rumah mereka dari amukan massa. Dan pada Selasa malam itu mereka melihat kerumunan massa yang disertai oleh petugas polisi datang ke arah mereka.
“Polisi bersama mereka dan kami pikir mungkin mereka akan menghentikan kekerasan, tetapi kemudian [seseorang] melepaskan tembakan,” kata Mazid. Tak hanya itu akibat tembakan itu saudaranya pun terbunuh dan dua tetangga terluka.
Imbas rusuh itu, ada hari Rabu pagi berikutnya, perdana menteri Modi, yang memiliki kendali atas kepolisian dan bertanggung jawab atas keamanan di ibukota, mengerahkan ribuan polisi paramiliter tambahan ke daerah-daerah yang dilanda kerusuhan untuk mencoba memulihkan ketertiban. Bahkan sore harinya, Modi mengunggah himbauan di Twitter untuk memohon perdamaian, Bagi publik Muslim ini merupakan – pengakuan publik pertamanya tentang kekerasan.
Meski perdana menteri Modi tengah mengeluarkan himbauan, bahkan di sertai kehadiran aparat polisi yang kuat, ketegangan di India tetap tinggi. Banyak keluarga Muslim dan HIndu yang tetap memutuskan melarikan diri untuk mencari perlindungan dengan kerabat di tempat lain.
“Orang-orang takut – mereka meninggalkan rumah mereka,” kata Shankar Thakur, seorang guru berusia 28 tahun. “Massa yang datang, polisi tidak memiliki kekuatan untuk mengalahkan mereka.”
Bahkan banyak juga yang mempertanyakan mengapa pemerintah perlu waktu begitu lama untuk mengatasinya. “Secara historis, kekerasan komunal di India tidak pernah merupakan hasil dari lemahnya kapasitas negara,” kata Gilles Verniers, seorang profesor ilmu politik di Universitas Ashoka, dekat Delhi.
“Negara cenderung mencegah kekerasan meletus bila negara memiliki niat untuk menghentikannya,” Katanya lagi.

*****
Para analis India mengatakan kerusuhan itu mungkin tidak separah kekerasan perkotaan lainnya yang selama ini kerap mengguncang India. Tetapi toleransi pemerintah yang jelas atas dua hari pertumpahan darah yang tidak berhasil diatasi telah mengirimkan sinyal kuat kepada komunitas Muslim yang sudah merasa dikepung, kata mereka.
“Kekerasan telah mencapai tujuannya,” kata Mr Verniers. “Ini telah menegaskan dominasi Hindu dan mengklaim kepemilikan ruang publik.”