WAJAH ISLAM DI JAWA PASCA TRAGEDI G30S PKI

0
570

Suasana kajian rutin Malam Kamis di Pesantren Darush Sholihin, Gunung Kidul.                          Foto: Pesantren Darush Sholihin

Ketika Jawa semakin Islam pasca tragedi pertarungan berdarah 1965.
JIC, — Sengit dan berdarahnya pertarungan antara umat Islam (santri) melawan komunis yang terindikasi mulai terjadi pada awal 1920-an, kemudian memuncak pada peristiwa berdarah yakni meletusnya tragedi G30S/PKI di 1965.

Setelah itu di Jawa Tengah dan Timur dalam tiga bulan ke depan terjadi peristiwa pembunuhan hebat. Rakyat konflik tak terkendali. Saling babat. Muslim yang dibantu tentara angkatan darat yang oleh sejarawan MC Ricklefs disebut semenjak Pemberontakan PKI Madiun 1948 sangat anti komunis karena merasa mereka menusuk negara dalam situasi sangat genting, kala itu melakukan pembersihan besar-besaran kepada para pengikut PKI.

Pada saat yang sama rezim Soekarno lumpuh. Dia tidak bisa berbuat apa-apa karena sejak 1 Oktober 1965 kekuasaannya menjadi tumpul. DN Aidit yang melarikan diri ke Jawa Tengah dengan naik kapal udara dari lapangan terbang Halim Perdana Kusuma tak lama kemudian tertangkap. Begitu juga para elit gerakan penculikan para jendral seperti Untung pun tertangkap dalam sebuah pelarian di Jawa Tengah. Bahkan dia tertangkap lebih dahulu dari Aidit.

‘’Ya saya suasana saat itu kaya perang sipil dengan ‘wild west’-nya di Amerika Serikat. Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti wilayah yang tak bertuan. Rakyat masing-masing mempersenjatai diri karena pertarungan sudah antara ‘hidup dan mati’, kata DR Nastir Tamara ketika bercakap soal suasana waktu itu di Jawa.

Uniknya, memang kemudian umat Islam ‘menang’ dalam pertarungan berdarah itu. Namun di balik itu pada sisi lain mereka juga menerima ‘kekalahan’ atau imbas buruk, terutama dari sentimen anti Muslim yang selama ini disebarluaskan oleh kader PKI. Banyak kemudian akibat tragedi itu kaum ‘Islam minimalis’ (abangan) —atau mungkin yang hanya pihak yang ikutan terimbas dengan sekedar dituduh pengikut PKI — kemudian pindah agama. Ini sesuai dengan apa yang ditulis kajian asing Robert Crib yang mengkaji soal peristwa di sekitar taregdi tahun 1965.

Apa yang ditulis Robert Crib ini bersesuaian dengan kajian yang dilakukan Direktur Pusat Studi Peradaban Islam/PSPI Solo, Arif Wibowo, (Republika/ 17 September 2015). Menurutnya, meskipun PKI mengalami kekalahan pada Pemberontakan 1965, bukan berarti umat Islam tidak menderita kerugian.

“Euforia menyambut Rezim Orde Baru yang menggusur PKI dan komunisme, juga diikuti dengan penggusuran aspirasi politik Islam di Indonesia. Itu ditambah lagi dengan kerugian demografi keagamaan penduduk Indonesia,’’ katanya.

Sejarawan asing Australia M.C Ricklef juga mencatat hal sama. Adanya rivalitas dalam tensi tinggi antara politik Islam dengan komunisme pasca G-30S/PKI menyebabkan yang berpindah ke agama lain, karena banyak di antara para pengikut PKI yang kebanyakan berasal dari kaum abangan dan kejawen, kemudian menjatuhkan pilihan keagamaannya kepada Kristen Protestan dan Katolik. Dengan kata yang sederhana di beberapa daerah di Jawa terjadi ‘Pembastisan Massal’.

Dalam catatan Ricklefs, data kependudukan antara tahun 1960 – 1971 menunjukkan, jumlah jemaat dari lima denominasi Protestan yang menjadi subjek kajian Willis tumbuh secara fenomenal dari 96.872 menjadi 311.778, sebuah peningkatan lebih dari 220 persen. Pada tahun 1965-7, tingkat pertumbuhan tahunannya adalah 27,6 pertumbuhan, sementara pada tahun 1968-1971, 13,7 persen.

Dan di samping adanya kerugian itu,  memang pada sisi lain, selanjutnya mulai tahun 1967 ada ‘angin baru’ bagi umat Islam (dan juga umat beragama lainnya) di Jawa dan umumnya di Indonesia. Mulai tahun itu, di sekolah-sekolah negeri seperti dicatat Rickles, di sediakan waktu dia atau tiga jam pelajaran wajib untuk pendidikan agama. Yang di maksud di sini, tentu saja adalah bentuk-bentuk ‘ortodoks’ dari agama yang diakui pemerintah.

Sebagai konsekuensi dari pengajaran agama ini keyaakinan atau kepercayaan seperti aliran kebatinan mulai kehilangan pengaruh bagi kaum muda. Bagi kalangan Islam santri pendidikan madrasah yang dahulunya di jalankan secara pribadi kini mulai dimasukkan ke sistem  pendidikan luas. Pada tahun 1975 pemerintah mulai mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa 70 persen dari kurikulum madrasah harus merupakan mata pelajaran ‘sekuler’ standar seperti sekolah negari  dan hanya 30 persen sisanya boleh digunakan untuk pendidikan keagamaan.

Uniknya, dari catatan Ricklefs tersebut di tengah-tengah revolusi pendidikan ini pesantren yang di kelola oleh kalangan Islam Tradisionalis kehilangan peransentral yang pernah mereka miliki atas pendidikan masyarakat pedesaan. Pada 1977, di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 335.870 siswa dilaporkan menimba ilmu di pesantren Tradisionalis. Di sekolah umum, terdapat 5.691,827 siswa — 16 kali lebih banyak. Juga jumlah siswa yang belajar di madrasah modern juga lebih banyak, yakni mencapai 1.394,990 orang.

*****

Alhasil, pada masa kemudian jaringan Islam Modernis mempunyai jaringan yang jauh lebih luas. Ini karena gaya pendidikannya dianggap tidak bertentangan dengan revolusi pendidikan yang digagas rezim pengganti zaman Sukarno, yakni rezim Orde Baru.

Imbas lainnya, maka tak aneh bila sosok seperti DR Nurcholish Madjid pada tahun 1990-an sempat mengatakan semenjak tahun 1980-an umat Islam Indonesia (termasuk Jawa) mengalami ‘booming’ intelektual Islam. Hal ini diakui juga oleh cendikiawan yang juga pendeta protestan, Victor Tanja.

Fenomena Islam itulah yang kini ada. Simbol Islam baru yang muncul dari campuran gaya moderen dominan. Misalnya gaya perempuan berjilbab meninggalan kerudung ala zaman dahulu (fenomena kerudung muncul semenjak awal 1980-an). Gaya keuangan moderen dengan bank syariah hingga filantropi keuangan zakat, infak, sedekah  dan wakaf pun kemudian ikut muncul pula menggantikan cara pengelolaan keuangan ala ‘nadzir’ di masa lalu.

Dan uniknya lagi, tanpa sadar di masa kini gaya baru ini diadposi pula oleh mereka yang selama ini kerap disebut Islam tradisionalis. Bahkan, hari-hari ini jarak itu —seperti juga antara sebutan pembedaan santri dan abangan— di Jawa kian melebur. Imbas pertarungan santri dan komunis pada 1965 ternyata telah merubah lanskap Indonesia masa kini. Bahkan bisa dibenarkan bila MC Ricklefs menyebut Jawa yang kian menjadi santri!

Penulis Jurnalis Republika : Muhammad Subarkah,

Sumber : Republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

sixteen − 3 =