ANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAYA/NZ
JIC,– Jumlah penerima anggaran perlindungan sosial Covid-19 akan diperluas menjadi 29 juta orang, dari sebelumnya 10-20 juta orang penerima program-program bantuan sosial. Namun, hasil riset lembaga kajian kebijakan publik baru-baru ini mendapati bahwa penyaluran bantuan selama ini ‘belum sepenuhnya tepat’.
Senin (27/07) pagi, Presiden Joko Widodo memimpin rapat pengarahan bagi komite yang baru dibentuknya, Komite Penanganan Pemulihan Ekonomi Nasional dan Penanganan Covid-19.
Rapat dibuka dengan pengantar meminta ‘aura krisis tidak hilang, semangat menangani krisis tidak hilang’.
Dan lagi-lagi, yang jadi sorotan presiden adalah serapan anggaran bantuan sosial yang dinilainya lambat.
“Mengenai penyerapan stimulus penanganan Covid-19 masih belum optimal dan kecepatannya masih kurang,” kata Jokowi.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/ARIF FIRMANSYAH/PRAS
Ia meminta komite melakukan langkah-langkah terobosan, bergerak lebih cepat ,”Kalau masalahnya ada di regulasi yang menghambat penyerapan anggaran, direvisi agar ada percepatan, lakukan short cut, lakukan perbaikan jangan sampai ada ego sektoral, ego daerah. Ini (penyerapan anggaran) penting segera diselesaikan agar aura dalam menangani krisis itu ada betul,” tegas Presiden Jokowi.
Hingga 22 Juli 2020, Anggaran Perlindungan Sosial terkait Covid-19 yang telah direalisasikan sekitar Rp77 triliun atau sebesar 38% dari total anggaran tersebut, demikian menurut Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet terbatas.
Sejauh ini, di antara pos-pos Anggaran Perlindungan Sosial, alokasi terbesar adalah;
- Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp 37,4 triliun
- Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau Program Sembako sebesar 43,6 triliun.
PKH diberikan kepada 10 juta keluarga termiskin di Indonesia, sementara sembako dibagikan kepada 20 juta keluarga miskin, termasuk mereka yang menerima PKH.
Dengan demikian, penerima PKH, yang bantuannya berupa uang dengan jumlah beragam, otomatis akan menerima bantuan sembako setiap bulannya di tengah pandemi. Namun praktik di lapangan tidak selalu demikian.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance-INDEF menyorot masalah-masalah yang terjadi dalam realiasasi anggaran bantuan sosial terkait pandemi Covid-19.
“Masalah kita yang pertama adalah data, datanya tidak akurat sehingga akurasinya memperlambat penyaluran bansos. Yang kedua prosedurnya berlapis-lapis,” kata Esther Sri Astuti, peneliti INDEF.
Kisah penyaluran bantuan di lapangan
Mursidi, Sekretaris RW 5, Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan menuturkan pengalamannya, mulai dari data penerima yang harus disusulkan hingga pasangan suami istri yang sama-sama menerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) walau terdata dalam satu kartu keluarga.
“Karena itu kan dihitungnya per jiwa. Jadi satu keluarga itu bisa suami dapat, istri dapat, kemudian suami dan istri dapat, itu yang kadang-kadang kita harus jelaskan ke masyarakat karena masyarakat tidak tahu ini dapat bantuan yang mana, padahal itu memang khusus data PKH dan [jumlah penerima di RW kami] itu tidak banyak,” kata Mursidi.
Sekitar 25% dari 1.208 warga di RW yang dipimpinnya adalah penerima bantuan sosial, kata Mursidi.
“Kalau sekarang sudah menerima semua, karena yang belum menerima [datanya] kita susulkan sudah. Pada tahap awal [penyaluran bantuan] iya ada [yang belum menerima], kalau sekarang sudah semua menerima. Untuk wilayah RW 5, seluruh warga sudah kita distribusikan, jadi tidak ada yang tidak kebagian,” ujarnya.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/ARIF FIRMANSYAH/PRAS
Sementara, lembaga riset SMERU Research Institute -yang menggelar studi kualitatif di lima kabupaten atau kota dalam periode akhir April hingga pertengahan Mei- mengatakan ada masalah sosialisasi, penargetan, dan penyaluran bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), atau penyaluran sembako.
Dari aspek sosialisasi, sebagian rumah tangga yang diwawancarai periset mengaku “belum tahu secara persis informasi tentang program” bantuan yang mereka dapatkan, atau besaran bantuan yang seharusnya mereka terima, kata Hastuti, salah seorang peneliti SMERU.
“Lalu dalam hal penargetan, itu masih belum tepat sasaran, masih ditemukan rumah tangga yang tidak layak [menerima bantuan], yang sudah meninggal atau sudah pindah didaftarkan sebagai penerima manfaat tambahan,” ujarnya.
Menurut Hastuti, di satu kecamatan studi, SMERU mencatat ada 458 dari 2.343 keluarga penerima manfaat sembako yang tidak layak menerima bantuan “karena, pertama, sudah meninggal, sudah pindah alamat, atau kondisi sosial ekonominya tidak memenuhi [syarat], bukan rumah tangga yang miskin atau rentan.”
Di salah satu kecamatan di Jakarta Timur, ada sekitar 30% penerima PKH yang tidak menjadi penerima Program Sembako.
“Program PKH itu kan program bantuan sosial yang paling bawah, harusnya keluarga yang mendapatkan PKH itu mendapatkan bansos yang menjadi komplementernya, salah satunya program sembako.
“Tapi ternyata kemarin itu kita dapatkan…di Jakarta dan di Bekasi cukup banyak rumah tangga penerima PKH yang tidak menerima program sembako.”

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/ARIF FIRMANSYAH/PRAS.
Program PKH dan program penyaluran sembako atau BPNT itu juga “terlambat” disalurkan ke masyarakat yang membutuhkan, secara umum baru disalurkan ke penerima satu atau dua minggu setelah bantuan tiba.
“Terlambatnya memang hanya 1-2 minggu di empat lokasi survei, tapi dalam masa seperti ini, ketika masyarakat butuh bantuan cepat, itu cukup berpengaruh untuk mereka,” tambahnya.
“Kalau menurut informasi di tingkat pusat, secara nasional, sekitar 10% dari 10 juta penerima PKH, atau 1 juta keluarga, tidak menerima sembako melalui BPNT. Walaupun hanya 10 persen, tapi itu satu juta, jumlah yang cukup banyak untuk program yang seharusnya berjalan beriringan, apalagi itu dipegang oleh satu kementerian,” kata Hastuti, periset di lembaga riset kebijakan publik SMERU Research Institute.
Akurasi data penerima bansos
Temuan SMERU sejalan dengan kesimpulan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti.
“Masalah kita yang pertama adalah data, datanya tidak akurat sehingga akurasinya memperlambat penyaluran bansos. Yang kedua prosedurnya berlapis-lapis,” kata Esther.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/ARIF FIRMANSYAH/PRAS.
Ia mengusulkan pemerintah untuk menyatukan data-data penerima bantuan sosial, yang dipegang oleh beberapa kementerian seperti Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Sosial, dan institusi keuangan seperti bank agar penyalurannya lebih efektif.
“Harus integrasi [data], kuncinya koordinasi, bukan hanya data dari Kemenaker, kan mereka tahu siapa yang terdampak, siapa yang dirumahkan atau di-PHK, tapi kita libatkan Kementerian Desa. Jadi yang terkait yang punya data yang benar-benar bisa mendapatkan bansos itu, termasuk bank yang punya coverage area sampai ke desa-desa,” ujarnya.
“Kerja sama dengan kantor-kantor cabang terdekat dan kelurahan, jadi mereka yang benar-benar miskin dan berhak mendapatkan bansos itu yang harus diupayakan,” kata Esther.
Penerima bansos ditambah dan diperluas
Di tengah situasi ini, jumlah penerima bantuan sosial rencananya akan ditambah dan diperluas. Dari sebelumnya 10-20 juta penduduk menjadi 29 juta penduduk.
“Akan kami [perluas] hingga 29 juta yang mencakup seluruh masyarakat baik di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah acara bertema keuangan pada Sabtu (25/07).
Hastuti dari SMERU memuji rencana pemerintah untuk memperluas cakupan penerima bantuan sosial, asalkan bantuan tersebut benar-benar sampai ke 40% keluarga termiskin di Indonesia, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 29 juta.
“Ada bantuan itu akan membantu, cuma yang perlu diperhatikan adalah pendataannya. Saat ini Data Terpadu Kesejahteraan Sosial itu memang cukup baik, tapi belum valid sepenuhnya. Kemarin kita ke daerah melakukan penelitian itu masih ditemukan di data itu keluarga yang tidak layak, tapi masih masuk, atau keluarga yang sudah menurut daerah tidak masuk dalam 40% [keluarga dengan ekonomi] terbawah, tapi masih masuk daftar itu,” ujar Hastuti.
Rahayu Puspasari, juru bicara Kementerian Keuangan mengatakan pemerintah akan memperbaiki data penerima bantuan sosial yang dimiliki pemerintah.
“Harapan kita dari perbaikan data ini maka kita bisa menjangkau 29 juta keluarga ini. Ini juga diharapkan bisa menjaring mereka yang belum ter-cover, dan dengan demikian potensi untuk bisa menjaring mereka yang belum terdaftar dan belum dapat [bantuan] itu semakin bisa kita identifikasi,” ujarnya.
Rahayu menambahkan pemerintah terus ‘bersinergi untuk menyempurnakan data’ dengan kementerian atau lembaga-lembaga terkait.
“Oleh karenanya untuk perbaikan ke depan, dan ini sudah dilakukan, adalah bagaimana sinergi dilakukan untuk menyempurnakan data. Pemerintah melakukan apa yang disebut verifikasi/validasi, di mana Kementerian Sosial dalam hal ini berkoordinasi dengan Kementerian Desa, dan desa-desa untuk mengecek keberadaan jumlah orang miskin. Kalau itu belum terdaftar maka akan disusulkan secara berjenjang ke Dinas Sosial dan seterusnya,” jelasnya.
Sumber : bbcindonesia.com