SEJAUH MANA ISU PALESTINA DI MATA MUSLIM AMERIKA SERIKAT?

0
621

JIC – Komunitas Muslim diAmerika Serikattidak pernah berhenti untuk menyuarakan kemerdekaan terhadap bangsa Palestina. Mereka mempunyai cara tersendiri di tegah kenyataan sebagai komunitas minoritas di negara itu. Pada sisi lain Muslim Amerika pun terus membangun komunikasi dan dialog dengan komunitas agama lainnya tak terkecuali dengan Yahudi. Seperti apa Muslim Amerika menyikapi Isu-isu tentang Palestina?

Berikut ulasan Imam Besar Masjid New York yang juga Presiden Nusantara Foundation, Ustadz Shamsi Ali melalui pesan singkat yang diterimaRepublika.co.id pada Ahad (14/2).

Satu hal yang boleh jadi kurang dipahami saudara-saudara Muslim kita di luar Amerika Serikat adalah bahwa bagi komunitas Muslim di Amerika Serikat masalah Palestina adalah masalah yang sensitif, dan sekaligus kompleks. Masalahnya bukan saja masalah global melainkan sekaligus bisa menjadi isu domestik di Amerika Serikat.

Menyikapi isu Palestina bagi warga Muslim Amerika Serikat bagaikan makan buah simalakama. Maju kena, mundur juga kena. Dan karenanya pilihannya bisa maju dan siap dengan konsekuensinya. Tapi juga bisa mundur dan juga siap dengan konsekuensinya.

Hal pertama yang harus dipahami adalah bahwa masyarakat Yahudi pada tingkatan tertentu telah berhasil menjadikan Isu Israel sebagai Isu Yahudi. Bahkan oleh sebagian, zionisme itu sendiri adalah agama Yahudi itu juga.  Konsekuensinya ketika Komunitas Muslim menyampaikan resistensi kepada Israel atau kebijakan pemerintah Israel, maka resistensi itu akan dipahami sebagai kebencian kepada masyarakat Yahudi. Demikian pula ketika masyarakat Muslim mengkeritik zionisme maka hal itu bisa dipahami sebagai kritikan kepada masyarakat Yahudi.

Di Amerika Serikat serangan kepada Yahudi, yang dikenal dengan anti-semitisme, sudah disahkan oleh UU sebagai kejahatan (crime). Sehingga dengan sendirinya kritikan kepada Israel bisa dipahami sebagai anti semitisme yang dipahami sebagai tindakan kejahatan. Sebaliknya bagi Komunitas Muslim Amerika, isu Palestina, khususnya Jerusalem dan Masjid Al-Aqsa, adalah masalah agama. Jerusalem adalah kota suci ketiga Umat Islam.

Dan Masjid Al-Aqsa adalah “masraa” (tempat persinggahan Isra dan Mi’raj) Rasulullah SAW. Dan karenanya membiarkannya terjajah menjadi seolah membiarkan agama direndahkan oleh orang lain. Dengan kenyataan seperti itu Komunitas Muslim Amerika Serikat mengambil sikap yang berhati-hati, imbang dan penuh perhitungan. Di satu sisi tetap membangun kekritisan dan resistensi kepada penjajahan dan kebijakan pemerintahan Israel yang seringkali penuh ketidakadilan dan refresif. Namun di sisi lain sadar bahwa sikap itu boleh jadi membawa konsekuensi yang kurang nyaman.

Hal lain yang menjadi pertimbangan bagi masyarakat Muslim adalah kenyataan bahwa secara domestik di Amerika Serikat masyarakat Yahudi banyak yang bersahabat, bahkan memberikan dukungan dan pembelaan bagi warga Muslim Amerika Serikat melawan Islamofobia yang meninggi.

Kenyataan itu semakin jelas di zaman pemerintahan Donald Trump. Bahkan terjadi sebuah paradoks nyata. Di satu sisi Donald Trump memberikan pembelaan kepada Yahudi Israel dengan mengakui Yerusalem sebagai Ibukota, bahkan memindahkan Kedutaan Amerika Serikat ke Jerusalem. Tapi di sisi lain, dengan karakter Nazis (white supremacy) Yahudi banyak mendapat serangan di Amerika Serikat.

Kenyataan dalam negeri Amerika Serikat itulah yang menjadikan Komunitas Muslim dan Yahudi kemudian membangun relasi yang cukup baik. Di mana kedua Komunitas mengalami tekanan yang luar biasa. Islamofobia dan Anti Semitisme sama-sama meninggi di zaman pemerintahan Donald Trump.

Bahkan ada sebuah motto yang terbangun di antara kedua komunitas itu. Yaitu “fighting for one another”. Artinya masyarakat Muslim tidak tanggung-tanggung membela Yahudi di saat diserang anti Semitic. Dan masyarakat Yahudi juga tidak ragu-ragu membela warga Muslim di saat diserang para Islamofobik.

Itulah yang terjadi pada 2017 lalu. Saat itu Donald Trump mengeluarkan aturan yang sangat tidak populer, Muslim Ban. Pada saat itu saya memimpin demonstrasi besar-besaran bersama teman saya, Rabbi Marc Shcneier dan Russel Simmons (Hollywood figure) di Time Square dengan tema “Today I am a Muslim too”.  

Saya sendiri memang banyak terlibat dalam dialog Muslim-Yahudi ini sejak tragedi 9/11 2001 lalu. Bahkan menulis buku “Sons of Abraham” bersama seorang Rabbi Schneier, serta keliling Amerika Serikat bahkan ke beberapa negara untuk mengkampanyekan pentingnya Dialog Yahudi-Muslim.

Satu contoh kolaborasi kami yang nyata adalah pemberhentian pelarangan penyembelian “halal dan kosher” oleh Konsil Eropa (European Council) di tahun 2013 lalu. Saat itu teman saya, Rabbi Schneier dan saya, ke Austria berbicara di Parlemen Austria tentang Halal dan Kosher. Kami diterima oleh tokoh-tokoh agama, dan juga para politisi di negara itu.

Kini buku yang kami berdua tulis itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Anak-Anak Ibrahim: isu-isu yang menyatukan dan memisahkan Yahudi dan Muslim”. Saat ini juga sedang diproses penerjemahannya ke dalam bahasa Arab, Hebrew dan Rusia.

Intinya permasalahan Palestina-Israel bagi kami warga Muslim Amerika Serikat akan terus disikapi secara kritis. Tapi semua itu tidak akan mengurangi upaya kami untuk terus membangun komunikasi dan dialog dengan masyarakat Yahudi. Tentu dengan pertimbangan bahwa baik kekritisan atau sebaliknya dialog bertujuan untuk mendukung kepentingan (interest) Umat dan kemanusiaan secara umum.

Lalu Bagaimana menyikapi masalah Palestina yang tampaknya semakin suram belakangan ini? Apakah sikap imbang Komunitas Muslim itu justru sejalan dengan keputusan sebagian negara-negara mayoritas Islam membangun hubungan dengan Israel?

Atau jangan-jangan memang masanya mencoba berpikir lebih jernih, jauh dari sikap emosi, dan melihat jika perjuangan untuk mendukung Palestina memerlukan alternatif lain?

Sumber : republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

7 − 2 =