Tiga perempuan muda Muslim membagikan pengertian mereka soal makna ibadah termasuk ‘jihad’ dalam konteks yang mereka pahami.
JIC, — Pada bulan Maret dan April lalu, sejumlah anak muda yang masuk kelompok umur milenial disebut polisi sebagai pihak yang terlibat dalam serangan terorisme di Gereja Katedral Makassar dan rencana penyerangan di Mabes Polri.
Salah satunya Zakiah Aini, 26, yang dilaporkan hendak melakukan aksi teror demi apa yang dia sebut “jihad”.
Namun, tiga perempuan muda yang diwawancarai BBC tak sependapat dengan pemahaman jihad seperti itu.
Ajeng Satiti Ayuningtyas, 30, misalnya, memilih untuk berjihad dengan membagikan ilmu bagi para anak-anak jalanan.
“Saya sebagai perempuan, terlepas kita ibu atau bukan, kita punya rahim. Saya percaya Allah memberi kita kekuatan untuk menghidupkan peradaban, bukan mematikan peradaban.
“Itu yang saya yakini, kita bisa melahirkan kebaikan di mana saja,” ujarnya.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan perempuan serta mereka yang berusia milenial lebih berpotensi terpapar radikalisme.

Jadi Kamtib hingga Satpol PP
Ajeng Satiti Ayuningtyas memahami jihad sebagai cara melakukan kebaikan di jalan Tuhan.
“[Jihad] tidak melulu dilekatkan dengan permusuhan, peperangan. Jihad itu tidak berarti pakai pedang dan senjata, tapi bisa pakai ilmu,” ujar Ajeng.
Ia memilih untuk berjuang dengan memberikan kesempatan bagi anak-anak jalanan untuk mengembangkan diri, melalui gerakan yang didirikannya Sekolah Cinta Anak Indonesia (Sekoci- sebelumnya bernama Sekolah Kolong Cikini).

SUMBER GAMBAR,AJENG AYUNINGTYAS
Di sekolah itu dia mencoba membuka mata anak jalanan bahwa mereka pun berhak bercita-cita tinggi.
Jika di sekolah formal, anak-anak biasa bercita-cita menjadi dokter, arsitek, atau pilot, di Sekoci, cita-cita anak-anak yang diasuhnya lebih beragam.
“Ada yang mau jadi [petugas] kamtib, satpol PP, ada yang mau jadi kenek bus. Ya nggak bisa disalahkan, karena sehari-hari lekat dengan profesi tersebut.
“Jadi kami berikan perspektif berbeda. Ada berbagai profesi lainnya yang bisa kalian lihat. Harapannya mereka punya daya atau kemampuan untuk mencapai cita-cita itu,” ujar Ajeng.

SUMBER GAMBAR,SEKOCI
Mereka yang diajar di Sekoci kebanyakan anak-anak pekerja informal di Jakarta, seperti pedagang asongan, supir kendaraan umum, hingga pemulung.
Anak-anak ini menghabiskan waktu di jalanan, kebanyakan sebagai pengamen.
Meski tidak kalah pintarnya dengan anak-anak lain, mereka yang besar di jalanan seringkali tak bisa mencapai cita-cita yang tinggi karena sejumlah hal, salah satunya karena putus sekolah, kata Ajeng.

SUMBER GAMBAR,SEKOCI
Salah satu anak didik Sekoci, misalnya, yang akan diikutkan olimpiade matematika di sekolahnya, tiba-tiba putus sekolah tanpa alasan jelas.
“Kami sampai datangi sekolahnya. Ini anak kemana? Sekolahnya malah mau mengeluarkan anak ini. Kami cari anak itu kemana-mana,” ujar Ajeng.
Baru belakangan, ia tahu anak seorang pengemudi bajaj itu dibawa oleh ibunya ke kota lain secara tiba-tiba.
Alhasil, fasilitas pendidikan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang diterimanya putus.
“Putus lagi sekolah… Ini seperti rantai yang tak putus,” kata Ajeng.

SUMBER GAMBAR,SEKOCI
Kini, anak itu telah kembali bersekolah, tapi Ajeng masih berupaya mengaktifkan kembali KJP anak itu.
Ia juga berupaya membantu anak-anak putus sekolah lainnya mengikuti program kejar paket.
Sekoci, yang menyelenggarakan sejumlah kegiatan seperti membaca, menghitung, hingga bermain, didirikan Ajeng di tahun 2015.
Sebagian besar dari anak didik Sekoci menjalani sekolah formal, sehingga kegiatan Sekoci diperuntukkan untuk melengkapi pendidikan anak-anak tersebut.
Gerakan itu juga memberi penekanan khusus pada perilaku, mengingat jalanan bukan tempat yang ramah anak.
Ajeng bercerita Sekoci didirikannya karena ia merasa resah dengan apa yang didengarnya tentang anak jalanan.

SUMBER GAMBAR,SEKOCI
Ibunya dulu tinggal di kawasan padat penduduk di Jakarta Pusat yang kerap menyaksikan bagaimana anak jalanan terlibat kekerasan dan narkoba.
Saudaranya sendiri pernah mengalami perlakuan kasar dari anak jalanan.
Atas dasar itu, ia memutuskan bergerak untuk menjangkau dan mengedukasi anak-anak jalanan.
Di masa pandemi Covid-19, anak-anak itu menghadapi tantangan lebih berat karena Pembelajaran Jarak Jauh, khususnya yang orang tuanya tak memiliki ponsel.
Namun, meski sulit, belajar jarak jauh tetap dilakukan.

SUMBER GAMBAR,SEKOCI
Kini, kegiatan Sekoci pun sudah diperluas ke pendidikan pengasuhan anak, atau parenting, yang diberikan kepada sejumlah pekerja informal di Jakarta, seperti tukang sapu, penjaga keamanan, hingga para pengamen.
Ajeng mengatakan meski penuh tantangan, ia yakin apa yang diperbuatnya adalah salah satu wujud ibadahnya.
“Di agama diajarkan berbuat baik nggak usah jauh-jauh, yang deket-dekat ini sudah ibadah,” pungkasnya.
 Sumber : bbcindonesia.com