MAQASHID ASY-SYARIAH, HAJI DAN PANDEMI COVID-19 (1)

0
237

Maqashid Asy-Syariah, Haji dan Pandemi Covid-19 (ilustrasi).                          Foto: AP/STR/SPA

Haji di masa Pandemi Covid 19 menjadikan umat Islam dilema untuk melaksanakannya.

JIC, Jakarta,– Pandemi Covid 19 menyebabkan perubahan ke dalam sejumlah hal, salah satunya adalah pembatalan ibadah haji 2021. Kamis 03 Juni 2021, pemerintah melalui Kementerian Agama RI, menyampaikan keputusan untuk tidak memberangkatkan jemaah Indonesia pada musim haji 2021 M/ 1442 H. Keputusan itu secara resmi di sampaikan oleh Yaqut Cholil Qoumas selaku Menteri Agama RI yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nmor 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Ibadah Haji 1442 H/ 2021 M.

Pembatalan ibadah haji di masa pandemi ini bukan pertama yang terjadi, pada tahun 2020 misalnya, pemerintah melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 1 Tahun 2020 dengan berat hati harus membatalkan pelaksanaan ibadah haji.

Meski demikian pahit, kebijakan ini sudah tepat. Keputusan Menteri Agama ini lalu diapresiasi secara postif oleh beberapa kalangan, seperti Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Menurut hemat penulis, keputusan Menteri Agama itu memang tepat untuk diambil. Meski ini memiliki konsekuensi pada semakin bertambahnya masa tunggu jemaah haji Indonesia, akan tetapi keputusan ini memang harus segera di ambil. Untuk itu, melalui tulisan ini penulis bermaksud untuk membedah diktum (pertimbangan) yang disampaikan oleh Menteri Agama RI melalui perspektif Qawaidh Fiqhiyyah dan Maqashid Shari’ah.

Pelaksanaan ibadah haji di masa Pandemi Covid 19 menjadikan umat Islam dilema untuk melaksanakannya, ibarat memakan buah simalakama, boleh dan tidaknya pelaksanan ibadah haji di masa pandemi akan berdampak kepada segala hal. Bila tidak melaksanakannya rukun Islam seseorang terpaksa harus tertunda dan bila tetap melaksanakannya dikhawatirkan rantai penyebaran Covid 19 tidak akan terputus.

Mesraini (akademisi UIN Jakarta) menyebut, teks-teks dalam ajaran Islam menunjukan bahwa sebuah syariat itu disebabkan karena adanya Illat (faktor penyebab ditetapkannya sebuah hukum). Dalam pandangan al-Syatibi, ternyata Illat hukum itu bermuara kepada kemaslahatan manusia sendiri, baik secara global (baca Qs. Al-Anbiya: 107) maupun secara parsial (baca Qs. Al-Maidah: 6).oleh karenanya kemaslahatan manusia menjadi dasar sebuah hukum.

Sumber : Republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

11 − ten =