ISLAM DAN KEBEBASAN BERPIKIR

0
629

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre

            JIC – Menurut Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, Machasin,akar dari munculnya kelompok seperti Gafatar adalah akibat dari kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir itu sendiri, menurutnya, bukanlah sesuatu yang negatif jika dilakukan secara bertanggung jawab. Tetapi akan menjadi persoalan ketika logika berpikir yang dipandang keluar dari pemahaman mainstream (arus utama) itu kemudian disebarkan kepada orang lain dan menimbulkan kegaduhan.

Sedangkan kebebasan berpikir terkait erat dengan filsafat. Salah seorang ulama Betawi terkemuka saat ini yang menaruh perhatian khusus terhadap filsafat, termasuk kebebasan berpikir, adalah K.H. Saifuddin Amsir. Dari penampilannya dan pengajaran kitab-kitab kuning yang diberikannya serta posisinya sebagai pengurus MUI Pusat dan salah seorang Rais Syuriah PB NU, tidak ada yang menyangka jika dia adalah seorang dosen bidang filsafat di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kecintaannya pada filsafat sudah ada sejak ia masih remaja sehingga mendorongnya untuk masuk kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan filsafat. Walau kemudian ia menjadi dosen filsafat, filsafat tidak memberikan alasan untuk menjadikannya sebagai dosen filsafat yang bebas “nilai” dan norma serta menjauhkannya dari tasawuf dan praktik-praktiknya, wa bil khusus menjahuhkannya dari aktivitas dzikir.

            Filsafat justru digunakannya sebagai senjata yang paling tajam untuk menaklukan pemikiran-pemikiran sesat yang lahir dari rahim filsafat itu sendiri, lahir dari kebebasan berpikir tanpa nilai dan norma, bahkan dari ijtihad falsafati para sarjana Muslim yang pendidikan dan kepakarannya di bidang ilmu-ilmu keislaman tidak diragukan lagi.

Imunitasnya ini dia dapatkan karena dalam pandangannya, filsafat tetap berada dalam logika benar dan salah walau etika dan moralitas menjadi bagiannya. Disinilah titik krusial ketidakpercayaannya terhadap filsafat itu terjadi. Apalagi dalam sejarahnya yang modern sekalipun, dalam epistimologi dan aksiologinya, filsafat yang bebas nilai tentunya telah melahirkan banyak tragedi kemanusiaan. Lihatlah Jerman, masa dimana para filosof terkemuka yang menjadi kiblat para filosof dunia tinggal dan sangat produktif melahirkan ide-ide filsafatnya, justru menjadi lahan subur lahirnya rasisme, melahirkan Hitler. Menyusul di Amerika yang melanggengkan rasialisme, ras putih dan ras hitam dan terhapus bukan karena perjuangan para filosof yang berkulit putih itu, tapi karena peran para politikus dan kaum Afro-Amerika yang tertindas selama ratusan tahun.

Tapi, lihatlah tasawuf yang cikal-bakalnya lahir dari kemulian akhlak manusia yang paling cerdas sampai akhir zaman, Rasulullah Muhammad SAW! Ia, tasawuf, melahirkan kesejukan, kedamaian dengan bahasa yang terang benderang, seterang cahaya matahari karena memang ia lahir dari manusia paripurna yang bercahaya, tidak rumit, kabur dan berputar-putar seperti yang keluar dari lidah para filosof yang bebas nilai dan norma itu. Ia tidak hanya berkutat pada nilai dan moralitas, ia juga berlogika. Logika yang sanggup menjangkau baik dan buruk dalam lingkup yang universal dan tercermin dalam rangkaian kata rahmatan lil`alamin. Kecemerlangannya juga tercermin dan teruji dengan polemik cerdas yang terabadikan dalam tinta emas sejarah filsafat dunia antara Ibnu Rusyd dan Imam al-Ghazali. Namun, tasawuf tetaplah sebuah metode, di dalamnya terdapat dzikir. Dan dzikir merupakan inti dari tawasuf, inti dari rasa keagamaan kaum sufi. Wajar jika ada yang berpendapat bahwa induk ilmu itu filsafat dan induk filsafat adalah dzikir!

            Walhasil, K.H. Saifuddin Amsir betul-betul menikmati profesinya sebagai dosen filisafat karena berdasarkan pengamalannya, dengan filsafat, dia mampu berdzikir dengan baik. Semakin dia berfilsafat, semakin kuat dia berdzikir. Kenikmatan inilah yang selalu ingin dia bagikan kepada mahasiswa, murid-muridnya atau kepada siapapun agar dzikir-dzikir yang dilakukan tidak hanya membersihkan qalbu mereka, tetapi juga mencerdaskan akal mereka. Kenikmatan inilah yang dia yakini dirasakan juga oleh Imam Al-Ghazali dan para filosof Muslim lainnya yang juga bertasawuf, berdzikir!

Namun tentu seorang filosof Muslim tidak hanya cukup berfilsafat dan bertasawuf saja, berdzikir saja, tetapi juga harus kuat dalam menjalankan syariat Islam, kuat dalam fikih. Seperti sosok K.H. Saifuddin Amsir yang bukan seorang dosen filsafat, menguasai tasawuf, tetapi juga seorang ulama di bidang fikih. Imam Malik, pendiri Mazhab Fikih Maliki, berkata: ”Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq (menampakan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya); barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasiq (orang yang keluar dari ketataan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya);barang siapa menggabungkan keduanya maka dia akan sampai pada hakikat.”

Akhir kalam, kelompok Gafatar dan aliran sejenisnya menjadi kelompok sesat karena melakukan kebebasan berpikir yang minim atau salah dalam berdzikir dan lepas dari fikih, menjadi kelompok zindiq dan fasiq. Islam tidak melarang seorang Muslim untuk bebas berpikir, berfilsafat, namun hendaknya dalam kebebasan berpikir harus tetap berpegang kepada nilai, norma dan ajaran Islam. Selain itu, salah satu faktor kemunduran dan kelemahan umat Islam sekarang ini juga bukan karena umat Islam malas berpikir, tetapi karena dalam berpikir sebagian umat Islam menjauhkan diri dari ajaran Islam, terpukau dengan ajaran-ajaran di luar Islam, dikarenakan kebebasan berpikir yang menempatkan akal di atas Al-Qur`an dan Al-Hadits. Padahal, Imam Syafi`i, pendiri Mazhab Fikih Syafi`i, sudah mengatakan“Sesungguhnya akal itu memiliki batas sebagaimana pandangan mata juga memiliki batas”. Kelemahan umat Islam ini juga telah diteliti dan diketahui sejak lama oleh Brian S. Turner, pakar sosiologi, yang menulis dalam bukunya yang berjudul :Max Weber and Islam”. Dia menyatakan:” Christians are strong because they are not really Christians, Moslem are weak because they are not reallly Moslem.” orang Kristen kuat (maju) sebab mereka meninggalkan Kristen tapi orang Islam lemah karena mereka meninggalkan Islam. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

14 − one =