KISAH-DIRMAN-MELAWAN-LINGKARAN-SETAN-KEKERASAN-TERORISME (2)

0
246

Duta damai
Sudirman mampu mengalahkan dirinya sendiri untuk tidak menyerah. Berbagai kesulitan yang menimpanya dihadapinya dengan ikhlas. Baginya, ujian hidup merupakan proses untuk mencapai impian.

“Allah punya jalan, namun ujian itu tidak membuat saya untuk jatuh tapi justru bangkit kembali,” katanya.

Pada 2013, cerita hidup Sudirman menemukan arah baru. Bukan lagi menangisi teror, namun menjadi duta untuk perdamaian, melawan terorisme dengan menghentikan lingkaran setan kekerasan.

Saat itu, sebuah organisasi masyarakat sipil, Aliansi Damai Indonesia, menggandengnya untuk sebuah proyek percontohan melawan spiral kekerasan terorisme.

Sebuah upaya menyadarkan masyarakat Indonesia untuk menjauhi terorisme dan menjadikan masyarakat Indonesia yang damai. Sebuah agenda melawan terorisme.

Ia pun dipertemukan dengan seorang teroris yang sudah tobat, Ali Fauzi, di Klaten, bersama dengan para korban terorisme lainnya. Pertemuan yang sulit dibayangkan.

Ali Fauzi, merupakan adik dari para teroris Bom Bali I, Amrozi, Ali Gufron alias Mukhlas dan Ali Imron.

Ali Fauzi tidak terlibat langsung dalam Bom Bali I. Namun demikian, namanya masuk sebagai petinggi di jaringan teroris. Apalagi, dia merupakan pelatih untuk merakit bom.

Ali Fauzi mengatakan jabatan terakhirnya di jaringan Jamaah Islamiyah adalah Kepala Instruktur Perakitan Bom.

Ia mengakui, salah satu titik baliknya dan menjadi garda depan melawan terorisme adalah saat bertemu dengan korban. Hatinya meleleh ketika melihat korban teror yang harus merasakan kehilangan.

Pertemuan itu diakui oleh Sudirman terasa berat, dirinya seperti tidak siap, bertemu dengan seorang yang pernah menjadi pelaku teror.

“Jujur saya terlibat salah satu projeknya AIDA di tahun 2013 di Klaten ketika kami bertemu dengan Pak Ali Fauzi, dari Bali, dari Marriott, kami begitu marah, kami begitu benci, kenapa kami diperlakukan seperti ini, apa dosa kami, itu pertanyaan kami yang waktu itu kami tidak siap untuk bertemu kami tidak siap untuk berdiskusi dengan beliau,” paparnya.

Namun demikian, upaya AIDA untuk terus merangkul, dan juga interaksi dengan Ali Fauzi yang berlangsung terus menerus membuatnya luluh. Keduanya terlibat berbagi kisah masing-masing.

Ali Fauzi yang sudah tobat, kini menjadi salah satu garda depan melawan terorisme, melawan para sekutunya dulu.

Pertemuan demi pertemuan, interaksi demi interaksi, membuat keduanya pun saling menyelami. Dendam yang dirasakan pun luluh.

Pertemuan itu menjadi proses untuknya bertahan, menjadi proses untuk bangkit. Lewat pertemuan itu, keberanian untuk bicara tentang pengalamannya tumbuh. Trauma itu pun semakin memudar. Keberanian melawan terorisme pun tumbuh.

Kini ia pun menemukan tujuan baru hidupnya. Melawan terorisme, melawan lingkaran kekerasan. Melawan aksi teror yang membuat banyak orang sengsara.

Sebagai korban, ia berkeinginan untuk terus berkontribusi, melalui kisahnya, untuk kembali menyadarkan bahaya terorisme dan lingkaran kekerasan.

“Walaupun berat tapi saya pikir demi kedamaian, demi kehidupan kita yang lebih baik ke depannya, kenapa kami korban tidak bisa berperan untuk bangsa dan negara,” ujarnya.

Sumber : Antaranews.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

two × two =