BAGAIMANA ISLAM MEMANDANG TRADISI DAN BUDAYA

0
8806

JIC- Dalam  hukum  Islam,  tradisi  dikenal  dengan istilah ‘Urf, yang secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat.” Al-Jurjānī dalam kitabnya at-Ta’rīfāt mendefiniskan kata ‘Urf sebagai berikut:

اَلْعُرْفُ مَا اسْتَقَرَّتْ النُّفُوْسُ عَلَيْهِ بِشَهَادَةِ اْلعُقُوْلِ، وَتَلَقَّتْهُ الطَّبَائِعُ بِالقَبُوْلِ

‘Urf adalah sesuatu yang teguh di jiwa karena dapat diterima akal sehat dan sejalan dengan tabiat manusia.”

Menurut ulama Ushūl al-Fiqh, secara terminologi, istilah ‘Urf mangandung makna:

مَا اِعْتَادَهُ النَّاسُ وَسَارُوْا عَلَيْهِ مِنْ كُلِّ فِعْلٍ شَاعَ بَيْنَهُمْ، أَوْ لَفْظٍ تَعَارَفُوْا إِطْلاَقَهُ عَلَى مَعْنَى خَاصٍّ لاَ تَأْلَفُهُ اللُّغَةُ وَلَا يَتَبَادَرُ غَيْرُهُ عِنْدَ سِمَاعِهِ

“Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain”.

Dari kedua definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa, istilah ‘Urf sama dengan istilah al-’ādah (tradisi) yang ada dalam istilah Ushūl Fiqh. Para ulama juga menyatakannya seperti itu.

Al-Qur`an dan Hadis Mengakui Tradisi

Para ulama menjelaskan bahwa, dalil yang menunjukan kepada ke-hujjahan ‘Urf (tradisi) sebagai bagian dari hukum Islam adalah firman Allah s.w.t. yang berbunyi:

“خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ.”

“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raaf [7]: 199.)

Ada beberapa contoh ayat al-Qur’an dan Hadis yang secara tegas mengakomodir tradisi menjadi suatu hukum, di antaranya adalah ayat-ayat berikut:

1.”وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا”

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah [2]: 233)

Ayat di atas tidak menentukan berapa banyaknya nafkah yang harus diberikan? Tradisi-lah yang menentukan batasannya berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat. Di sini tradisi memiliki peran penting dalam mengeksekusi perintah Allah s.w.t., sedangkan teks al-Qur’an hanya berbicara secara global saja.

  1. “وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُتَّقِينَ.”

“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 241)

Ayat ini berbicara tentang pemberian hak kepada perempuan yang dicerai berupa pemberian yang ma’ruf. Lalu apa itu ma’ruf? ma’ruf adalah “maa ta’arafa an-nasu ‘alaih (apa yang menjadi kebiasaan masyarakat setempat) yaitu berupa uang yang wajar, masuk akal dan pantas menurut manusia. Adapun Alquran tidak memberikan batasan secara tegas, melainkan meninggalkan urusan itu kepada tradisi dan kebiasaan masyarakat. Maka pada kasus ini, tradisi menjadi hukum dalam menentukan ukuran nafkah untuk wanita yang dicerai.

  1. “الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا، وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا. (متفق عليه)

“Dua orang yang bertransaksi jual beli itu punya hak khiyar (memilih) selama belum berpisah. Bila keduanya jujur dan menerangkan (apa adanya), maka keduanya akan diberi barakah dalam jual belinya. Tapi bila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat) maka akan dihilangkan keberkahan jual beli atas keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas berbicara tentang “berpisah” dari majelis jual beli. Lalu, bagaimana kita bisa tahu, kalau transaksi jual beli itu sudah selesai, atau sudah “berpisah”? Di sini, peran tradisi sangat diperlukan.

  1. “مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ، وَمَا أَكَلَتِ الْعَافِيَةُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ.” (رواه البخاري وأبو داود وأحمد)

“Barangsiapa yang membuka lahan mati, dia mendapatkan pahala. Apapun yang dimakan oleh makhluk hidup (dari hasil olahannya) bernilai sedekah bagi dia.” (HR. Bukhari, Abu Daud, Ahmad, dan lainnya)

Begitu juga tentang lamanya masa tenggang maksimum bagi tanah yang ditelantarkan oleh pemilik pertama, untuk bolehnya orang lain menggarap tanah tersebut (ihya’ al-mawāt), di tentukan oleh ‘urf yang berlaku dalam masyarakat. Apakah itu yang dimaksud dengan ihya al-mawāt? Apakah cukup dengan membuatkan tanda pagar di sekelilingnya yang menunjukan tanah itu masih ada yang mengurusnya? atau dengan membuat sumur di dalamnya? atau dengan menanaminya? ataukah dengan membangun rumah di dalamnya? Maka, tradisi-lah yang bisa menjawabnya. Jika ada seseorang meletakkan barang di depan rumahnya di pinggir jalan, lalu ada orang lain datang mengambilnya, apakah pengambil barang di pinggir jalan tersebut dipotong tangannya, ataukah tidak? Apakah barang tersebut termasuk dalam kategori hirz (dijaga), ataukah tidak? Lantas siapa yang memberikan batasan dijaga? Apakah di depan rumah? Di dalam pagar? Di atas meja? Atau di dalam rumah? Maka tradisi dan kebiasaan masyarakatlah yang menentukan makna hirz (dijaga) yang menjadi syarat potong tangan. Begitu juga dengan makna al-qabdh (memiliki). Sama halnya dengan kasus kepemilikan rumah, apakah cukup hanya dengan memiliki kuncinya saja, lalu menempatinya? Ataukah disertai dengan kepemilikan surat sertifikat rumahnya? Tradisi masyarakat yang menentukan itu, karena 200 tahun lalu kepemilikan rumah ditandai hanya dengan kepemilikan kunci rumahnya, berbeda dengan zaman sekarang yang harus disertai surat-surat resmi.

Apakah Tradisi Nenek Moyang Pasti Sesat?

Sebagian orang beranggapan bahwa, ajaran nenek moyang itu pasti sesat dan menyesatkan, tidak boleh diikuti apalagi diwarisi, meskipun ajaran itu kelihatannya baik. Dalam menyikapi hal semacam itu, al-Qur’an telah menjelaskan bahwa, apa yang diwarisi oleh nenek moyang suatu kaum belum tentu salah, apalagi jika nenek moyangnya adalah orang-orang Islam. Dalam kaitan ini, ada beberapa ayat al-Qur’an yang justru mengajarkan umatnya untuk tetap berbegang teguh kepada ajaran nenek moyang, jika nenek moyangnya adalah orang-orang Islam. Berikut ini di antara ayat-ayat tersebut:

  1. أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Adakah kalian hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kalian sembah sepeninggalku?” mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. al-Baqarah [2]: 133)

  1. لا إِلَهَ إِلا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الأوَّلِينَ

“Tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, (Dialah) Tuhan kalian dan Tuhan nenek moyang kalian yang terdahulu.” (QS. ad-Dukhan [44]: 8)

  1. وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ مَا كَانَ لَنَا أَنْ نُشْرِكَ بِاللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ذَلِكَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَشْكُرُونَ

“Dan aku mengikuti agama nenek moyangku: Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi Kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada Kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya).” (QS. Yusuf [12]: 38)[1]

Ketiga ayat al-Qur’an tersebut mengajarkan umat Islam untuk mengikuti tradisi nenek moyang yang muslim dalam hal menyembah. Bahkan, pada surat ad-Dukhan ayat 8 tersebut ditegaskan bahwa, Allah adalah tuhan para leluhur dan nenek moyang umat Islam terdahulu.

Ayat-ayat al-Qur’an ini menjelaskan bahwa, mengikuti tradisi nenek moyang belum tentu salah. Anak-anak Nabi Ya’kub menyatakan akan mengikuti tradisi nenek moyangnya dalam beribadah. Bahkan ditegaskan oleh Allah s.w.t. dalam surat ad-Dukhan ayat 8 di atas bahwa, nenek moyang kita dahulu bertuhankan Allah s.w.t. Pengakuan al-Qur’an itu bertentangan dengan ajaran kelompok tertentu yang selalu mengatakan, umat Islam saat ini banyak yang keliru karena telah mengikuti tradisi nenek moyang. Seharusnya dibedakan, nenek moyang yang mana dulu, nenek moyang muslim yang ahli ibadah atau nenek moyang kafir yang tidak beriman?

Oleh karena itu, hukum tradisi dalam Islam sangat terkait erat dengan teks al-Qur’an, Hadis, Ijma dan Qiyas. Maka tradisi yang dibolehkan dalam Islam adalah tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang lain, seperti prinsip keesaan Allah (tauhīd), prinsip kemaslahatan umum (mashlahah āmah), prinsip manfaat dan bahaya (ad-dharar yuzāl), prinsip ekonomis (adam at-tabdzīr), prinsip halal dan haram, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, para ulama Ushūl Fiqh menegaskan dalam kaidahnya:

“اَلأَصْلُ فِي اْلعَادَاتِ اِلإبَاحَةُ إلاَّ مَا وَرَدَ عَنِ الشَّارِعِ تَحْرِيْمُهُ.”

“Hukum asal dalam tradisi adalah boleh kecuali ada teks agama yang mengharamkannya.” (Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di, Risālah Lathīfah fi Ushūl al-Fiqh, Dar Ibnu Hazm, cet. ke-1, Beirut: Lebanon, tahun 1997 M/1418 H, hal. 13)

Imam as-Suyuthi berkata dalam kitab al-Asybāh wa an-Nazhā`ir:

“قَالَ الْفُقَهَاءُ: كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقاً، وَلاَ ضَابِطَ لَهُ فِيْهِ، وَلاَ فِي اللُّغَةِ يُرْجَعُ فِيْهِ إِلَى الْعُرْفِ.”

“Para ulama Fikih berkata, semua ketentuan syara’ yang bersifat umum, dan belum ada batasannya sama sekali, sekalipun dari sisi bahasa, maka ketentuannya dikembalikan kepada tradisi.”

Sehingga dari segi penerapannya pun, ‘Urf dikenal menjadi dua macam, yaitu: al-’urf al-shahih (tradisi yang benar) dan al-’urf al-fāsid (tradisi yang dianggap rusak). Suatu ‘Urf dianggap rusak jika bertentangan dengan nash agama, namun jika tidak bertentangan, maka ‘Urf dapat dibenarkan.

Terkait dengan contoh ‘Urf atau al-’Ādah dalam kehidupan sehari-hari, Imam al-Ghazālī dalam karya magnum opusnya, Iyā Ulūmuddīn pada pembahasan Kitāb Ādāb al-Akli (tatakrama makan dan minum) membahas beberapa sikap sementara orang yang kaku ketika melihat saudara muslimnya makan menggunakan sendok dan garfu, serta makan di atas meja makan.

Bagi sebagian orang itu, makan menggunakan sendok dan garfu atau makan di atas meja makan dianggap khilāf as-sunnah (tidak sesuai sunnah Nabi s.a.w.). Kemudian dihukumi bukan hanya sekedar khilāf as-sunnah, bahkan dianggap berdosa, karena tidak makan seperti cara Nabi s.a.w., dimana cara makannya menggunakan tangan kanan dan di atas gelaran menggunakan sufrah, bahan semacam kain/karpet/plastik, sambil duduk lesehan dengan posisi salah satu kaki di lipat ke atas. Dalam menyikapi pandangan sebagian orang ini, Imam al-Ghazali dalam kitabnya itu mengatakan bahwa, berarti orang-orang tersebut belum mengerti kaidah Ushul Fiqh yang telah diakui oleh seluruh kalangan ulama mazhab dalam Islam, yaitu kaidah al-’ādah muakkamah (tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat islam menjadi bagian dari syariat Islam).

Bahwa Nabi s.a.w. ketika makan, beliau menggunakan tangan beliau, tidak menggunakan sendok atau garfu. Jika kita ingin mengikuti cara makan nabi kata imam ghazali, tentunya jika niatnya adalah dalam rangka ittiba’ mengikuti sunnah Nabi, kita akan mendapatkan pahala. Tapi jangan lantas dihukumi, orang yang makan dengan sendok atau garfu atau makan di atas meja makan sebagai haram atau bid’ah. Sebab nabi makan dengan tangan dikarenakan: tradisi Bangsa Arab saat itu makan menggunakan tangan, menunjukkan sifat tawadhu Nabi s.a.w., dan dalam keadaan tertentu makan menggunakan tangan lebih baik. Berikut ini di antara pernyataan Imam al-Ghazali dalam kitab Ihyā Ulūmuddīn terkait kebiasaan makan dan minum Nabi s.a.w.:

واعلم أنا وإن قلنا الأكل على السفرة أولى فلسنا نقول الأكل على المائدة منهي عنه نهي كراهة أو تحريم إذا لم يثبت فيه نهي وما يقال إنه أبدع بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم  فليس كل ما أبدع منهيا بل المنهي بدعة تضاد سنة ثابتة وترفع أمرا من الشرع مع بقاء علته بل الإبداع قد يجب في بعض الأحوال إذا تغيرت الأسباب.

“Dan ketahuilah, meskipun kami mengatakan, makan di atas sufrah (seperti: alas tikar, plastik atau karpet) itu lebih utama, tapi kami tidak mengatakan makan di atas meja makan itu dilarang dengan larangan makruh atau haram, sebab tidak ada larangan dalam masalah itu. Apa yang dikatakan (oleh segelintir orang) bahwa, itu bid’ah sepeninggal Rasulullah s.a.w. Maka (aku katakan) tidak semua bid’ah itu dilarang. Yang dilarang adalah bid’ah yang menyalahi sunnah dan bidah yang menghilangkan perkara agama namun alasannya masih tetap ada. Bahkan, terkadang bid’ah itu hukumnya wajib dalam sebagian kondisi, jika sebab-sebabnya berubah.”

Berdasarkan itu semua, jelas bahwa agama Islam yang ajarannya penuh dengan rahmah dan kasih sayang ini, serta selalu relevan dalam setiap waktu dan tempat, mengakui dan mengakomodir tradisi dan budaya suatu masyarakat di banyak belahan dunia, tentunya budaya dan tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Maka wajar, jika Islam mampu bertahan dalam bilangan abad hingga hari, menembus batas-batas waktu dan dimensi tempat. Jika saya Islam dipraktekkan dengan cara keras, kaku dan jumud, seperti pemahaman dan praktik segelintir orang saat ini, niscaya Islam telah punah dari muka bumi ini karena berbenturan dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat, bahkan akan menghadapi penolakan keras dari masyarakat dunia. Namun, telah terbukti, dalam rentang sejarah yang sangat panjang, Islam telah mampu berinteraksi dan beradaptasi dengan sangat baik dan elegan, dengan tetap menapaki jejak pertama Islam disebarkan oleh Rasulullah s.a.w. Itulah sebabnya, Islam diterima oleh masyarakat dunia dari berbagai latar belakang budaya dan etnis berbeda. Wallahu a’lam.

[1] Ketiga ayat al-Qur’an tersebut mengajarkan umat Islam untuk mengikuti tradisi nenek moyang yang muslim dalam hal menyembah. Bahkan, pada surat ad-Dukhan ayat 8 tersebut ditegaskan bahwa, Allah adalah tuhan para leluhur dan nenek moyang umat Islam terdahulu.

*Artikel dimabil dari tulisan yang berjudul  Islam Mengakomodir Tradisi dan Budaya yang ditulis oleh Dr. Marhadi Muhayar. Lc. MA.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

five + 4 =