WASPADALAH KETIKA TANPA SADAR MENDUAKAN ALLAH

0
406

galIdFC_12112012_77148

JIC – Tak semua yang beriman kepada Allah benar-benar mengimani Allah secara murni. Mengimani Allah dengan menyisakan sedikit tempat di hati bagi yang “lain”  adalah sebagian bentuk kepalsuan iman.

Apa jadinya bila keimanan yang kita klaim ternyata dinyatakan ilegal oleh Allah swt. alias tidak diakui-Nya? Al-Quran menyebutkan tentang orang-orang yang mengklaim beriman akan tetapi Allah tidak mengakuinya. Allah berfirman: “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (Yusuf : 106)

Alangkah merugi dan celakanya jika kita telah merasa beriman namun oleh Allah iman kita dinilai palsu. Sebab dengan demikian segala janji Allah bagi orang beriman tentulah tidak akan berlaku. Karena janji Allah hanya akan terjadi manakala syarat-syaratnya dipenuhi, sebagaimana Allah menjanjikan bagi orang yang beriman dan bertakwa, keberkahan di dunia dengan firman-Nya:  “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al A’raf : 96)

Sedang di akhirat Allah menjanjikan surga dengan segala keindahan dan kenyamannya:

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan:’Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu’…”  (Al Baqarah : 25)

Namun, sekali lagi segala apa yang Allah janjikan itu tidak akan terjadi manakala ternyata iman kita dipandang oleh Allah swt. sebagai iman palsu. Maka menjadi amat penting bagi kita untuk mengenali “iman” macam apa yang oleh Allah dinyatakan sebagai iman yang palsu itu.

Tengoklah contoh Abu Jahal dan Abu Lahab, dua musuh besar dakwah Islam yang Allah sebutkan dengan surat Yusuf : 106 di atas. Kedua orang yang dipastikan Allah menempati neraka ini nyatanya bukanlah orang yang tidak percaya adanya Allah. Bahkan mereka percaya dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah adalah Pencipta, Allah adalah Yang Menghidupkan dan Mematikan, Allah adalah Pemberi rezeki, Allah adalah Pengatur alam semesta. Mereka juga percaya dengan seyakin-yakinnya bahwa apa dan siapa pun yang mereka sembah tidak lain adalah makhluk Allah.

Mereka ini, secara sadar mengesakan Allah dalam posisi Allah sebagai Rabb. Mereka juga yakin bahwa dalam pekerjaan-pekerjaan itu Allah tidak mempunyai sekutu. Sebagaimana Allah firmankan dalam beberapa ayat:

“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” (Al ‘Ankabut : 61)

“Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’, Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (Al ‘Ankabut : 63)

“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Allah’. Maka Katakanlah, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?’” (Yunus : 31)

Lewat ayat yang begitu gamblang dan tegas ini, tak bisa terbantahkan lagi kenyataan bahwa orang kafir di zaman Rasulullah  tidak menduakan Allah dalam hal yang terkait dengan penciptaan, penguasaan, pemeliharaan dan pengendalian alam semesta. Bahkan dalam kondisi tertentu mereka juga menyeru dan memohon hanya kepada Allah:

“Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (Al ‘Ankabut : 65)

Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang Lembut (dengan mengatakan: “Sesungguhnya jika dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur” Katakanlah: “Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, Kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya.” (Al An’am : 63-64)

Ayat-ayat di atas menuturkan bagaimana orang-orang musyrik, apabila dihadapkan pada bahaya, otomatis melupakan sembahan-sembahan mereka untuk kemudian secara spontan memurnikan ketundukan mereka kepada Allah dan mengarahkan doa hanya pada-Nya.

Mereka hanya menggantungkan harapan hanya kepada-Nya. Mereka secara pasti meyakini bahwa yang biasa mereka seru selain Allah nyatanya terlalu lemah untuk mereka mintai pertolongan dan untuk mengenyahkan segala kesulitan dan malapetaka dari mereka.

Mereka tahu persis bahwa patung-patung yang biasa mereka sembah-sembah sama sekali tidak dapat mendengar teriakan apa lagi keluhan mereka. Kesimpulannya, mereka yakin bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan mereka dari segala musibah, bencana, kesulitan dan tidak seorang pun yang dapat memenuhi segala keinginan dan harapan mereka selain Allah semata.

Namun, mereka kemudian berdalih, bahwa segala patung, berhala, maupun benda-benda lain yang mereka puja-puja tidaklah mereka sembah – seperti pengakuan mereka – melainkan  sekedar untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah. Quran menjelaskan:

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Az Zumar: 3)

Maka berkacalah. Dengan keyakinan yang sangat yakinnya kepada keesaan Allah, kepada Mahapenciptanya Allah, dengan segala pengharapan dan doa yang tinggi kepada Allah, dengan segala ketergantungan kepada Allah, dua tokoh ternama ini berikut kawan-kawannya sesama kafir quraisy lainnya, toh tetap saja dikategorikan sebagai orang-orang musyrik alias menyekutukan Allah. Lalu bagaimana dengan umat Islam saat ini? Fenomena mendua hati ini tentulah harus kita waspadai.

Sebagian orang di tengah kaum muslimin masa Indonesia misalnya, begitu akrab dengan kuburan tertentu. Kalau datang ke kuburan itu dalam rangka mengingatkan diri akan kematian (dzikrul-maut), sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah saw., tentu saja itu baik. Tetapi persoalannya kemudian: pertama, jika datang ke kuburan dalam rangka dzikrul-maut tentu kuburan mana pun posisinya sama saja.

Kedua, kenyataannya di atas kubur orang tertentu yang dianggap memiliki tingkat kesalehan luar biasa itu, orang-orang ini lantas memohon sesuatu yang hanya Allah sajalah yang dapat melakukannya, seperti meminta rezeki, jodoh, keselamatan, kenaikan pangkat, jabatan, dan sebagainya. Ada yang langsung meminta kepada orang yang sudah menjadi tanah tersebut dan tak sedikit yang menjadikannya sekedar perantara untuk “mendekatkan hubungan” kepada Allah.

Melihat fenomena ini, dalam hal tertentu orang-orang musyrik masa lalu masih “lebih baik”. Karena mereka menyekutukan Allah di saat mereka berada dalam kondisi aman dan bahagia. Sedangkan sekarang, tidak sedikit orang yang mengaku bertauhid, tetapi tak ragu menyekutukan Allah di kala senang sekaligus di kala tengah dirundung  duka, lara, nestapa dan musibah. Hingga tak ada kata lebih baik untuk ini kecuali na’udzubillahi min dzalik…

Sumber ; Ummi-online.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

15 + six =