BAGAIMANA ISLAM MEMANDANG REKLAMASI?

0
363

0_0_1000_666_e6c0fcf48078a0afafe207488cc198a3b64f9b8f

JIC – Kontroversi reklamasi di Teluk Jakarta belum juga berakhir. Meski pemerintah pusat dan provinsi bersama swasta sepakat untuk melakukan moratorium, praktik di lapangan berbeda.

Kapal-kapal pengeruk pasir reklamasi masih berjalan. Tak hanya itu, Presiden Joko Widodo melalui Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengungkapkan akan melanjutkan proyek bernilai Rp 500 triliun itu.

Lantas, bagaimana Islam memandang reklamasi? Dalam artikel opini yang dimuat di Harian Republika, Rahmat Rizqi Kurniawan dan Ai Nur Bayinah, Dosen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI, menjelaskan, reklamasi dimungkinkan bila ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan masyarakat melalui upaya pembaruan lingkungan hidup agar lebih berdaya guna.  

Sebagaimana terdapat pada pembahasan Abu Ubaid dalam kitabnya Kitabulamwal halaman 362 terkait konteks menghidupkan tanah yang mati (ihyaul al-aradhin) atau (ihyaul mawaat) atau (istishlahul al-araadly). 

Dalam wacana kekinian, hal tersebut bukan hanya atas wilayah tanah saja, tapi juga tepi sungai seperti yang dilakukan Pemerintah Mesir atau bahkan laut. Atau lebih dikenal sebagai reklamasi pantai atau laut (istishlahul al-araadly al-bahriyyah). Yakni, mengelola wilayah yang tadinya tidak bisa dimanfaatkan menjadi bermanfaat. Meski biasanya digunakan untuk menambah lahan untuk wilayah pertanian. 

Hanya, penulis memberi syarat jika tujuannya untuk maslahat umat, yaitu menghidupkan dan memakmurkan suatu wilayah, maka reklamasi diperbolehkan bahkan dianjurkan oleh Islam. Bahkan, berdasarkan survei sementara, sebenarnya seluruh nelayan juga tidak menentang pembangunan pesisir bila memang berpihak pada rakyat kecil.

Namun faktanya, peraturan yang ada belum jelas bahkan saling tumpang tindih. Reklamasi bukan lagi menjadi solusi yang menambah penghidupan, bahkan sebaliknya, mematikan yang hidup.

Saat ini ikan tangkapan semakin berkurang dan ketersediaannya semakin menipis karena jangkauan lokasi tangkapan semakin jauh. Padahal mestinya ada hak bagi warga setidaknya 15 persen dari lahan reklamasi yang harus diperhatikan. Sehingga para nelayan yang memiliki mata pencarian di laut dan pesisir pantai tidak berkurang penghasilannya, ekosistem laut tetap terjaga dan tidak tercemar.

Sebagai dasar acuan pelaksanan reklamasi, para ulama bersepakat ihyaaul mawaat hanya dibolehkan pada wilayah yang tidak dimiliki dan belum ada yang menghidupkan serta memakmurkannya. Dengan batasan yang dibenarkan oleh syariah Islam, yakni tidak melanggar hak orang lain dan tidak menimbulkan bahaya serta ada maslahat atas pemanfaatannya.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah an-Nisaa: 29 dan hadis Rasulullah SAW, juga kaidah “tidak menghilangkan mudharat dengan mudharat lainnya” seperti disebutkan dalam al-Asybah wan Nazhair karya Imam Suyuthi halaman 176. Selain itu reklamasi juga harus mendapat izin pemerintah dan dalam hal ini peraturan yang dibuat harus secara jelas menjaga hak-hak masyarakat umum.

Dengan demikian, yang ditekankan dalam aturan syariah terkait reklamasi adalah adanya pertumbuhan (Al-Imran) sebagaimana tercantum pula dalam kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq yang memberikan kesejahteraan terutama bagi masyarakat lokal. Sebaliknya, manakala hal tersebut hilang menunjukkan manfaat reklamasi juga terhapus dari harapan awal dibentuknya dan dapat dibatalkan.

Dalam hal ini, pemerintah perlu memberikan sosialiasi dan edukasi terlebih dahulu terkait manfaat dan dampak lain dari reklamasi agar tidak menjadi ancaman bagi nelayan, bahkan mereka merupakan pemain utama yang dipentingkan dalam kegiatan ini. Seharusnya yang menjadi perhatian pemerintah adalah agar masyarakat kecil di daerah pesisir tidak semakin marginal. Wilayah mereka menjadi lebih maju karena membuka akses ekonomi yang menghubungkan masyarakat dengan pasar di berbagai wilayah bahkan negara.

Sebaliknya, jika tujuan reklamasi hanya untuk dijadikan sebagai kawasan khusus komersial, dengan alasan kebutuhan terhadap lahan hunian yang sangat mendesak. Lantas justru mengundang warga lain masuk ke Ibu Kota dan memperparah urbanisasi. Maka hal ini justru memperburuk kepadatan penduduk yang sama sekali tidak menawarkan solusi komprehensif.

Sumber : Pusat Data Republika

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

three + 11 =