“(Yaitu) pada hari harta dan anak laki-laki tiada berguna, kecuali bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
(QS Asy-Syu’araa: 88—89)
JIC– Marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt, Zat yang akan membangkitkan manusia di negeri akhirat pada suatu hari ketika manusia tidak lagi dapat berdusta, pada hari ketika harta kekayaan, kedudukan, pangkat jabatan, serta orang tua, anak, dan istri tidak lagi berguna. Pada hari itu hanya orang yang hatinya bersihlah yang wajahnya nampak berseri-seri penuh rasa syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Dalam kitab Ighootsatul Lahfaan hal 7, Ibn Qoyyim Al Jauziyah menulis beberapa pengertian hati yang bersih. Salah satunya bersih dari setiap syahwat/keinginan yang bertentangan dengan perintah dan larangan Allah. Juga bersih dari setiap syubhat (kesamaran) yang bertentangan dengan khobar (nas)-Nya sehingga bersih dari beribadah kepada selain-Nya dan dari berhukum dengan selain Rasul-Nya.”
Syahwat yang bertentangan dengan perintah dan larangan Allah dapat berasal dari wanita, anak, dan kekayaan harta. Allah Swt. berfirman, “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS Ali Imran: 14).
Sungguh, kecintaan terhadap wanita kadang mengotori hati sehingga membuat kita melanggar larangan Allah Swt, mulai dari memandang auratnya, walaupun tanpa syahwat, apalagi dengan syahwat, berkhalwat, melakukan perbuatan yang mendekati zina atau berzina.
Begitu pula anak dan harta dapat membutakan hati kita. Banyaknya kasus korupsi, suap, dan kecurangan lain adalah akibat kotornya hati karena tergoda oleh harta.
Tanda lain bersihnya hati adalah terbebas dari syubhat. Syubhat bukanlah alasan bagi seorang muslim untuk melakukan atau mengucapkan sesuatu. Bahkan tidak boleh kita membenarkan, mengucapkan, atau melakukan sesuatu yang belum kita pahami kebenarannya.
Diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir ra. bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara haram itu pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka siapa yang menjaga diri dari perkara syubhat, ia telah bebas (dari kecaman) untuk agamanya dan kehormatannya dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat, berarti ia telah terjerumus ke dalam perkara haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar kawasan terlarang, maka kemungkinan besar binatangnya akan memasuki kawasan tersebut. Ingatlah! Sesungguhnya setiap penguasa (kerajaan) memiliki daerah terlarang. Ingatlah! Sesungguhnya daerah terlarangnya Allah adalah apa saja yang diharamkan-Nya. Ingatlah! Sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan jikalau ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Tidak lain dan tidak bukan itulah yang dikatakan kalbu.” (HR Bukhari-Muslim).
Dari hadis ini jelas bahwa tanda kebaikan agama seseorang dan kebersihan hatinya adalah apabila ia melakukan yang halal, meninggalkan yang haram, dan menjaga diri dari melakukan yang syubhat. Orang yang membersihkan dan menyelamatkan hatinya adalah orang yang bersungguh-sungguh berusaha merealisasikan syariat-Nya dalam kehidupan pribadi dan lingkungannya, serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adalah tanda kotornya hati jika ikut-ikutan berkata, “Ah, yang penting kan hatinya bersih. Masalah sesuai dengan aturan Allah atau tidak itu kan tergantung niatnya.” Lebih parah lagi jika berkeyakinan kalau hatinya sudah bersih, boleh saja melanggar aturan Allah Taala. Ingatlah, Rasulullah saw. memalingkan mukanya tatkala melihat Asma’ binti Abu Bakar yang masuk rumah beliau dengan memakai pakaian tipis. Beliau juga begitu bergegas ketika datang perintah Allah, padahal beliau adalah orang yang hatinya paling bersih.
Adalah tanda kotornya hati jika merasa tidak masalah melihat yang diharamkan Allah, misalnya merasa tidak bersalah melihat aurat wanita atau melihat yang porno. Ia rela melihat kemungkaran dan hukum-hukum Allah diingkari. Bahkan kalau sekadar tidak rela tetapi diam saja, itu dikatakan Rasulullah sebagai selemah-lemahnya iman.
Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dicegah dengan lidahnya. Kemudian kalau tidak mampu juga, hendaklah dicegah dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasaai, Ahmad, Ibn Majah).
Semoga Allah Swt. membersihkan hati kita, mengisinya dengan iman, ilmu, dan hikmah karena hanya Dia sebaik-baik pembersih hati, serta pemimpin dan pembolak-balik hati kita.
Penulis: Ustaz M. Taufik N.T