AGAR TIDAK SEPERTI BAL’AM BIN BA’URA

0
248
Ilustrasi

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخْلَدَ إِلَى ٱلْأَرْضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ ۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلْقَوْمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا ۚ فَٱقْصُصِ ٱلْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir [al’A’raf (7) : 176]

Fenomena masyarakat yang banyak meninggalkan agama, menanggalkan identitas sebagai muslim atau muslimah, serta meninggalkan tanggung jawab kolektif sebagai mukmin atau mukminah untuk terus menyuarakan dakwah.

Kisah Bal’am bin Ba’ura ini seakan-akan hadir kembali di tengah-tengah potret masyarakat dan umat, ketika mereka meninggalkan ibadah-ibadah sebagai wujud penghambaan kepada Allah dengan lebih mengutamakan kehidupan dunia, serta menanggalkan ikatan-ikatan hukum agama (syariah) dalam keseharian. Dan bagi para pendakwah atau aktifis dakwah tercermin dalam gerak aktifitasnya dengan mendahulukan kepentingan-kepentingan pribadi dan keluarga mereka ketimbang mengusahakannya beragam solusi bagi problema-problema masyarakat dan umat.

Di ayat 176 al-A’raf ini Allah swt hendak memberikan seorang hamba manfaat dari ayat-ayat itu di dunia dan niscaya Allah akan mengangkat derajat dengan memberinya bimbingan untuk mengamalkannya, sehingga derajatnya terangkat di dunia dan di akhirat. Akan tetapi ia memilih sesuatu yang membuat martabatnya jatuh tatkala ia lebih cenderung kepada kesenangan duniawi. Ia lebih mengutamakan kepentingan dunianya daripada kepentingan akhiratnya. Ia memilih mengikuti kesenangan hawa nafsunya yang batil. Kerakusannya terhadap dunia tak ubahnya seperti anjing yang terus-menerus menjulurkan lidahnya, seekor anjing saat posisi duduk akan menjulurkan lidahnya, dan ketika dihalau pun akan menjulurkan lidahnya. Itulah perumpamaan bagi orang-orang sesat yang mendustakan ayat-ayat Allah swt. Di akhir ayat Allah meminta kepada Rasulullah saw mengisahkan kepada mereka yang sesat agar mereka berpikir dan mau meninggalkan kekafiran serta kesesatan mereka.

Ada pendapat lain mengatakan maknanya adalah apabila kita menasehatinya niscaya dia akan tetap tersesat, dan apabila kita tidak menasehatinya dia juga akan tersesat; karena dia dalam kesesatan yang terus-menerus sebab ia berlepas diri dari ayat-ayat Tuhannya. Dia bagaikan seekor anjing yang apabila ia berlutut, ia menjulurkan lidahnya, dan apabila ia lari diusir ia juga menjulurkan lidahnya.

Ayat ini merupakan lanjutan dari ayat 175 sebelumnya yang turun berkenaan dengan Bal’am bin Ba’ura menurut Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan Mujahid, yaitu,

وَٱتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ٱلَّذِىٓ ءَاتَيْنَٰهُ ءَايَٰتِنَا فَٱنسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ ٱلشَّيْطَٰنُ فَكَانَ مِنَ ٱلْغَاوِينَ

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.

Bal’am bin Ba’ura seorang ulama dalam kalangan Bani Israil. Ada yang mengatakan ia berasal dari kalangan Kan’an.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia adalah seorang laki-laki dari kalangan Yaman. Namanya Bal’am bin Ba’ura. Ia memiliki ilmu sebagian kitab yang Allah turunkan, namun kemudian ia menjauhi ayat-ayat itu bahkan kafir terhadap ayat-ayat Allah SWT dan membuangnya jauh-jauh.

Menurut Malik bin Dinar sebagaimana dimuat di dalam Tafsir Ar-Razi 15/54, la adalah salah seorang ulama Bani Israil. Do’anya sangat mustajab. Kaum Bani Israil selalu mengedepankannya setiap kali terjadi musibah atau bencana. Ia pernah diutus Nabi Musa menemui raja Madyan untuk menyerunya menyembah Allah SWT. Namun raja Madyan itu justru memberinya harta dan jabatan. Akhirnya, Bal’am mengikuti agama raja tersebut dan meninggalkan agama Nabi Musa as.

Digunakan kata فَٱنسَلَخَ, insilakh, melepaskan diri menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili untuk menunjukkan bahwa ia memang benar-benar telah lepas dari ayat-ayat Allah SWT setelah sebelumnya hubungan dengan ayat-ayat itu sangat erat.
Dalam konteks aktifis dakwah, insilakh dimaknai sebagai keluar atau melepaskan diri seorang aktifis dari organisasi atau komunitas dakwah. Mungkin karena jenuh dan ingin suasana lain, mungkin karena ada kepentingan duniawi ansich yang ingin diraih, atau mungkin ada pergeseran visi hidup.

Agar setiap muslim tidak seperti Bal’am bin Ba’ura, seorang ‘alim yang sesat dan melenceng dari ilmu yang bermanfaat, dan kerap mengulurkan lidahnya demi syahwat kejinya. Pertama, menjadikan dunia hanya sebagai tempat persinggahan, bukan terminal akhir kehidupan. Kedua, mengokohkan visi hidup sebagai hamba Allah swt dan berjuang untuk meraih ridha-Nya. Ketiga, menjadikan ilmu yang dimiliki sebagai wasilah, sarana untuk menambah ketaatan kepada Allah. Tambah ilmu tambah taat. Keempat, menyebarkan ilmu sebagai cabang iman ke delapan belas dan menunjukkan bahwa ilmu itu harus terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekedar teori saja. Kelima, memiliki teman yang baik atau lingkungan pergaulan yang baik dan kondusif agar ilmu tinggi yang dimiliki senantiasa terkontrol dan terjaga dalam kebaikan.

عَنْ أَبِي مُوسَى رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
«إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً».
[متفق عليه] – [صحيح مسلم: 2628

Abu Musa ra meriwayatkan dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda,
Perumpamaan teman bergaul yang saleh dan teman bergaul yang buruk adalah bagaikan penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi itu antara dia akan memberimu atau engkau akan membeli darinya, atau paling tidak engkau bisa mendapatkan darinya aroma yang wangi. Sedangkan pandai besi, bisa jadi dia akan membakar pakaianmu atau engkau akan mendapatkan aroma tidak sedap darinya
[Muttafaq ‘alaihi] – [Sahih Muslim- 2628]

Jakarta, 11 Muharram 1447H / 7 Juli 2025
Arief Rahman Hakim, M.Ag.
Kepala Sub Divisi Pendidikan dan Pelatihan PPPIJ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

11 − five =