ANALISIS : SOLIDARITAS SEMU UIGHUR DAN PUJIAN NEGARA MUSLIM BAGI CHINA (2)

0
252

Mitos solidaritas Muslim

JIC, JAKARTA— Selama beberapa dekade, sejumlah pemimpin Muslim berupaya mengadopsi moto solidaritas transnasional dalam beberapa isu, mulai dari Palestina hingga Islam di Kosovo. Namun, menurut Ibrahim, semua perkara tersebut memang “sangat pas bagi mereka secara politis.” Sementara itu, untuk urusan Uighur, biaya politiknya terlalu tinggi.

“Saya rasa tidak pernah ada yang namanya solidaritas Muslim, dan saya rasa isu ini secara khusus menggarisbawahi itu,” ujar Ibrahim.

Beberapa tahun belakangan, isu-isu global yang berkaitan dengan persekusi populasi Muslim dianggap selalu sekadar untuk memecah dunia Islam.

Sebut saja ketika Iran mendukung represi Presiden Suriah, Bashar al-Assad, terhadap perlawanan di negaranya, Arab Saudi dan sekutunya mendukung pemberontak [Yaman], termasuk beberapa elemen radikalnya.

Di Irak, Iran, Yaman, dan di beberapa penjuru lain, negara-negara Muslim selalu berada di tengah perselisihan, sering kali dengan dampak malapetaka. Terkait isu China, banyak negara Muslim terdengar menyanyikan nada sama.

“Perlakuan China terhadap sebagian populasi Muslim mereka bukanlah isu partisan di dunia Arab,” ujar HA Hellyer, peneliti senior di Royal United Services Institute, London, dan Atlantic Council di Washington.

“Walau mereka tak sepaham dalam beberapa isu lain, seperti krisis [Teluk Arab], Suriah, Yaman, Iran, dan lain-lain, tak ada pemimpin Muslim di dunia Arab atau kawasan yang lebih luas, termasuk Turki, tampak ragu berdiri di belakang Beijing,” katanya.

Puja-puji bagi China dan Mitos Solidaritas Muslim bagi UighurIlustrasi. (AFP PHOTO / OZAN KOSE)

Sebagai pemberi pinjaman terbesar di dunia, China memegang pengaruh besar. Pakistan yang selama ini dianggap sebagai jawara perjuangan Muslim menganggap mengkritik China sebagai hal tabu.

Predikat raksasa ekonomi terbukti membantu China terhindar dari sejumlah masalah. Negara mayoritas Muslim miskin lain, seperti Turkmenistan dan Tajikisan, pun ikut menandatangani surat pujian terhadap China tersebut.

Lain hal dengan Uni Emirat Arab dan Qatar. Meski kecil, negara mereka sangat kaya dan sangat berpengaruh. Mereka bisa saja menyuarakan pembelaan bagi Muslim di China.

Nyatanya, mereka juga membubuhkan tanda tangan di surat dukungan tersebut. Sejumlah pengamat menganggap mereka memiliki motivasi lain yang lebih menyangkut prinsip.

Dengan melawan balik upaya komunitas internasional untuk mempertanyakan kebijakan di Xinjiang dan menutup mata terhadap bukti penganiayaan, para sekutu China ini juga sebenarnya ingin mempertahankan “kekeramatan kedaulatan” mereka, terutama terkait HAM.

Kebanyakan negara yang menandatangani surat tersebut, termasuk Uni Emirat Arab dan Qatar, telah lama dituding melakukan pelanggaran HAM.

“Pemimpin otoriter pada umumnya memiliki kepentingan untuk mempertahankan gagasan bahwa negara bisa melakukan apa pun di dalam wilayah merek. Jika sesuatu terjadi di dalam wilayah mereka, itu masalah kedaulatan,” tutur Hellyer.

Ibrahim juga menganggap dengan membela China terkait isu Uighur, negara-negara Muslim itu memberikan kredibilitas tak ternilai bagi Beijing di tengah kecaman keras atas rekam jejak HAM-nya.

“[Negara-negara Muslim] juga terlihat. Mereka ingin membuat tameng untuk persekusi ini,” katanya.

Sementara itu, Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim menyatakan tidak mengecam dan mendukung China terkait isu Uighur. Pelaksana tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan Indonesia bukan negara yang lazim mengeluarkan pernyataan bersama.

“Namun di sisi lain membela posisi kita selama ini dalam konteks pembahasan HAM atau resolusi kita sangat tidak nyaman dengan yang sifatnya menuding suatu negara,” kata Teuku di kantor Kemlu, Jakarta, Kamis (18/7). (has/dea)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

one × 3 =