Antara Takdir & Kebebasan

0
723

(No.11 Tahun 5, Oktober 2009)

Qadha dan Qadar adalah ketentuan Allah swt yang bersifat azali. Ketentuan itu merupakan hak prerogratif Allah sebagai Dzat Pencipta. Dia menentukan ketentuan yang baik atau yang buruk untuk setiap makhluk yang diciptakan-Nya jauh sebelum mereka diciptakan.

ANTARA TAKDIR DAN KEBEBASAN

Oleh : Dr. KH. Zakky Mubarak, MA

عَنْ طَاوُسٍ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى فَقَالَ لَهُ مُوسَى يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ لَهُ آدَمُ يَا مُوسَى اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى ثَلَاثًا (رواه البخاري ومسلم )

Artinya    : Diriwayatkan dari Thawus, aku mendengar Abu Hurairah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda, “Adam dan Musa berdebat. Berkatalah Musa kepadanya, “Wahai Adam, engkau adalah bapak kami. Engkau telah menjadikan kami merugi dan keluar dari surga.” Adam menjawab, “Wahai Musa, Allah telah memilih engkau (untuk berdialog langsung) dengan Kalam-Nya. Dia telah menuliskan (Taurat) untukmu dengan tangan-Nya. Apakah engkau mencacimakiku atas perkara yang sudah Allah tentukan kepadaku sebelum Dia menciptakanku empat puluh tahun? (Jawaban) Adam membuat Musa kalah berdebat, (jawaban) Adam membuat Musa kalah berdebat, dan (Jawaban) Adam membuat Musa kalah berdebat (sebanyak tiga kali).” (HR. al-Bukhari: 6124, dan Muslim: 4793)

Dalam hadis lainnya disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ (رواه مسلم ابن ماجه وأحمد)

Artinya    : Dari Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah. Masing-masing (baik kuat maupun lemah) terdapat kebaikan. Bersungguh-sungguhlah mengerjakan apa yang bermanfaat bagimu (taat), mintalah pertolongan kepada Allah (agar kuat melakukannya), dan janganlah kamu lemah (malas)! Jika ada sesuatu yang (tidak diinginkan) terjadi padamu, janganlah kamu mengatakan “seandainya aku melakukan ini dan itu (tentu tidak begini dan begitu), tetapi katakanlah “Ketentuan Allah-lah yang menghendaki itu semua”, karena sesungguhnya perkataan “seandainya” dapat membuka peluang bagi setan untuk menggoda.” (HR. Muslim: 7816, Ibnu Majah: 76, dan Ahmad: 8436).

1.     Uraian Kata

Istilah “Kuat” dalam hadis di atas, adalah jiwa yang kuat dan konsisten dalam menapaki hidupnya demi akherat. Orang yang memiliki sifat ini tidak memiliki rasa takut dan gentar sedikit pun dalam berjihad. Ia pun bertekad kuat untuk beramar makruf dan nahi mungkar. Dalam menghadapi kegetiran, ia senantiasa bersabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah. Ia juga rajin mengerjakan shalat, puasa, berdzikir, dan ibadah-ibadah lainnya.

Sedangkan istilah “lemah” adalah mengacu pada orang mukmin yang frekuensi ibadahnya lemah. Kendati demikian, Nabi s.a.w. menegaskan bahwa antara “mukmin yang kuat” dan “mukmin yang lemah” keduanya bagus, sebab masing-masing memiliki keimanan.

Adapun kata “Lau” (seandainya) sebagaiman Nabi s.a.w. melarang untuk menggunakannya, menurut Al-Qadhi Iyadh adalah berkenaan untuk orang yang meyakininya secara pasti. Artinya, seandainya ia melakukan hal itu, pasti hal yang tidak diinginkannya itu tidak akan terjadi. Sedangkan orang yang mengembalikan itu semua kepada kehendak Allah, meskipun menggunakan redaksi “Lau”, maka itu tidak termasuk dalam pembahasan ini.

Al-Qadhi Iyadh mengcounter pendapat sebagian ulama yang membolehkan memakai istilah Lau  (seandainya) dengan menyandarkan pada perkataan Abu Bakar al-Shiddiq ketika berada di dalam gua, “Seandainya salah seorang mereka mengangkat kepalanya, niscaya ia akan melihat kami.”  Begitu pula sabda Nabi s.a.w. tentang bersiwak, “Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak.”  Menurut Al-Qadhi, argumentasi tersebut tidak bisa dijadikan sebagai pembenar penggunaan kata “Lau”. Sebab semuanya mengacu pada masa yang akan datang dan sama sekali tidak berkaitan dengan takdir. Katanya, lau yang dilarang oleh Nabi s.a.w. adalah berkaitan dengan masa yang telah terjadi dan sudah menjadi ketentuan Allah (takdir). Oleh karena itu, kata “seandainya”  berarti tidak menerimanya seorang makhluk atas ketentuan yang sudah digariskan oleh Tuhannya. Dan itu menjadi sasaran setan untuk menggoda keimanannya.

Selanjutnya, Al-Qadhi Iyadh menjelaskan bahwa hadis di atas dipahami secara zhahir dan berlaku umum. Karenanya, maksud larangan “lau” ini adalah berkenaan dengan keyakinan yang mengenyampingkan campurtangan Tuhan. Seorang yang berkata “lau” biasanya meyakini bahwa seandainya dia tidak begitu, tentu kejadiannya tidak begitu. Hal ini seolah-olah, dialah yang berkuasa penuh untuk menentukan nasibnya. Kendati demikian, larangan ini bukan berarti tahrim, melainkan makruh tanzih. (al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim).

2.     Hakikat Takdir

Qadha dan Qadar adalah ketentuan Allah swt yang bersifat azali. Ketentuan itu merupakan hak prerogratif Allah sebagai Dzat Pencipta. Dia menentukan ketentuan yang baik atau yang buruk untuk setiap makhluk yang diciptakan-Nya jauh sebelum mereka diciptakan. Dan Islam memasukkan percaya kepada ketentuan Allah ini sebagai rukun iman yang harus diimani oleh setiap umat Islam.

Para ulama salaf shalih yang tergolong pada generasi awal, berdasarkan keyakinan dan pengetahuannya yang mendalam telah menyatakan, bahwa iman kepada Qadha dan Qadar, sama sekali tidak menghambat pekerjaan dan usaha manusia, juga tidak menghalangi kemajuan-kemajuan. Kepercayaan kepada Qadha dan Qadar tidak berarti bersikap fatalisme, rela menerima kehidupan yang rendah dan hina, enggan berusaha, tetapi kepercayaan itu justru harus menggerakkan manusia muslim agar bekerja bersungguh-sungguh, kreatif dan ikhlas, tanpa pamrih, tanpa harus memaki zaman, membenci kehidupan atau berputus asa.

Keyakinan kepada Qadha dan Qadar, apabila pemahamannya lurus dan benar, sesuai dengan yang dipahami ulama salaf dan mengacu pada pemahaman Jamaluddin al Afghani, bahwa Sunnatullah (hukum alam) tidak akan menghambat kemajuan, merintangi kebebasan atau menimbulkan kelesuan dalam menjangkau cita-cita yang luhur.

Dikisahkan dari sahabat Abdullah Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Umar bin Khattab dan rombongannya, suatu saat berangkat ke negeri Syam (daerah Syiria sekarang). Waktu akan memasuki wilayah itu, para pembesar negeri Syam melaporkan kepada Umar, bahwa daerah itu sedang berjangkit wabah penyakit menular. Umar Ibn Khattab kemudian bermusyawarah dengan para sahabat Muhajirin dan Ansar untuk mencari way out yang baik dari masalah itu. Umar dan rombongan sepakat untuk kembali ke Madinah, tidak memasuki daerah yang berbahaya itu. Tiba-tiba Abu Ubaidah bin Jarrah, salah seorang anggota rombongan tampil dan melontarkan satu pertanyaan kepada Umar:

أَفِرَارًا مِنْ قَدَرِ اللَّهِ ؟

Artinya    : “Apakah kita hendak lari menghindari takdir Allah?”

Umar menjawab:

نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ

Artinya    : “Benar, kita menghindari suatu takdir Allah dan menuju takdir Allah yang lain”.

Untuk meyakinkan sahabatnya, Umar memberikan contoh yang sangat tepat. Kata Umar:

أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ إِبِلٌ فَهَبَطَتْ وَادِيًا لَهُ عُدْوَتَانِ إِحْدَاهُمَا خَصِبَةٌ وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصِبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ

Artinya    : “Sekiranya engkau sedang menggembalakan ternakmu, unta atau kambing, kamu dapati ada dua lembah, yang keduanya merupakan takdir Allah. Lembah pertama merupakan padang rumput yang hijau dan subur, sedang lembah kedua merupakan bukit-bukit berbatu yang gersang, tidak ada rumput atau tumbuhan lain. Apakah kamu akan membawa ternakmu ke lembah yang gersang itu? Tentu tidak, tetapi akan membawanya ke lembah yang pertama yang subur itu. Bila anda pergi ke lembah yang subur itu berarti anda mengikuti takdir Allah, demikian pula bila anda menuju lembah yang gersang itu”.

Kemudian datanglah Abdurrahman bin Auf, seraya berkata: “Dalam masalah ini, aku mendapat sebuah pengetahuan, suatu kali aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

Artinya    : “Apabila kamu mendengar di daerah ada wabah, maka janganlah mendekatinya. Dan jika ada wabah sedangkan kamu lagi berada di daerah itu, maka janganlah kalian keluar dari daerah itu untuk menghindarinya.”

Mendengar penuturan Abdurrahman tersebut, Umar memuji syukur kepada Allah lalu pergi. (HR. Bukhari: No.5288 dan Muslim: No.4114)

Berdasarkan riwayat di atas, dengan mudah dapat difahami bahwa kepercayaan pada takdir Allah, tidak berarti menafikan kebebasan manusia, juga tidak merupakan paksaan atau tekanan. Karena Qadha dan Qadar itu ada dalam ilmu Allah SWT yang Qadim dan Azali. Setiap diri manusia tidak ada yang mengetahui, apa yang akan dikerjakannya atau yang ditinggalkannya pada masa yang akan datang secara hakiki.

Yang jelas, dalam pandangan ajaran Islam, manusia diberikan oleh Allah kebebasan untuk berbuat, kebebasan memilih, free will atau free act. Untuk menentukan sendiri pekerjaan dan pilihannya. Mereka yang berbuat baik, akan memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat, dan sebaliknya mereka yang berbuat keburukan dan kejahatan akan memperoleh kehinaan di dunia dan akhirat.

Artinya    : “Bila kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu pula….”. (QS. Al Isra’ [17]: 7).

Banyak sekali ayat al-Qur’an yang menjelaskan ajaran yang senada dengan uraian yang disebutkan di atas, di antaranya:

Artinya    : “…..Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (QS. al-Thur [52]: 21).

Artinya    : “Siapa yang mengerjakan amal kebajikan maka balasannya untuk dirinya sendiri dan siapa yang berbuat jahat, maka kejahatan itu akan menimpa dirinya sendiri, dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya”. (Q.S. Fushshilat [41]: 46).

Artinya    : “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar”. (QS. Al Syura, 42:30).

Ayat-ayat lain yang senada dengan itu adalah QS. Yunus [10]: 38, QS. Al An’am [6]: 164, QS. Al Zumar [39]: 70, QS Al Zilzalah [99]: 7-8, dan sebagainya.

3.     Kesimpulan:

1.      Takdir dan kebebasan yang meliputi diri manusia merupakan ketetapan Allah s.w.t. karena itu setiap diri manusia harus beriman pada takdir-Nya, dan harus berusaha semaksimal mungkin untuk menjalani dan mengusahakan kehidupannya yang layak.

2.      Keyakinan terhadap takdir Allah s.w.t. tidak akan mempengaruhi semangat berusaha dan bekerja bagi setiap orang muslim untuk meraih kesuksesan di dunia dan ahkirat.

3.      Setiap manusia mukmin harus menerima dengan tulus segala takdir dan ketetapan Allah yang diberikan kepadanya, dengan demikian ia akan mencapai kesempurnaan dan ketenangan dalam hidup dan kehidupannya.

SABAR

Oleh : H. Ali Irfan, M.Ag

Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah “Shabara”, yang membentuk infinitif (masdar) menjadi “shabran”. Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah, Menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Firman Allah s.w.t.

”Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi [18] : 28)

Ayat di atas adalah perintah untuk bersabar, menahan diri dari keingingan ”keluar” dari orang-orang yang menyeru Allah s.w.t. serta selalu mengharap keridhaanNya sekaligus juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah s.w.t.

Secara keseluruhan, terdapat 103 kali disebut dalam Al Qur’an kata-kata yang menggunakan kata dasar sabar; baik berbentuk isim maupun fi’ilnya. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi perhatian Allah s.w.t. yang Allah tekankan kepada hamba-hamba-Nya. Dari ayat-ayat yang ada, para ulama mengklasifikasikan sabar sebagai berikut:

1.      Sabar merupakan perintah Allah s.w.t. “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah [2]: 153). Ayat yang serupa mengenai perintah untuk bersabar terdapat dalam Al Qur’an QS. Ali Imran [3]: 200,  QS. Al Anfal [8]: 46, QS. Yunus [10]:109, QS. Hud [11]: 115 dan QS. An Nahl [16]: 127.

2.      Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar, “Dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah [2]: 177)

3.      Allah s.w.t. akan mencintai orang-orang yang sabar, “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran [3]: 146)

4.      Kebersamaan Allah dengan orang-orang yang sabar. “Dan bersabarlah kamu, karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfal [8]: 46)

5.      Mendapatkan pahala surga dari Allah, “(yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun `alaikum bima shabartum” (keselamatan bagi kalian, atas kesabaran yang kalian lakukan). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar Ra’d [13]: 23 – 24);

6.      Larangan tidak sabar  (isti’jal),  “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka…” (QS. Al Ahqaf [46]: 35)

Sebagaimana dalam Al Qur’an, dalam hadis pun juga banyak sabda Rasulullah mengenai kesabaran. Imam Nawawi, Dalam kitab Riyadhus Shalihin, mencantumkan 29 hadis yang bertemakan sabar. Secara garis besar, hadis-hadis tersebut menggambarkan kesabaran sebagai berikut;

1.      Kesabaran merupakan sesuatu yang perlu diusahakan dan dilatih secara optimal. “…barang siapa yang mensabar-sabarkan diri (berusaha untuk sabar), maka Allah akan menjadikannya seorang yang sabar…” (HR. Bukhari)

2.      Kesabaran merupakan “dhiya’ ” (cahaya yang amat terang). Karena dengan kesabaran inilah, seseorang akan mampu menyingkap kegelapan. “…dan kesabaran merupakan cahaya yang terang…” (HR. Muslim)

3.      Kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang mu’min, “Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (ia mengatahui) bahwa hal tersebut adalah memang baik baginya. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut adalah baik baginya.” (HR. Muslim)

4.      Kesabaran merupakan anugrah Allah yang paling baik. “…dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (Muttafaqun Alaih)

5.      Sabar merupakan sifat para nabi. Ibnu Mas’ud dalam sebuah riwayat pernah mengatakan, Dari Abdullan bin Mas’ud berkata, “Seakan-akan aku memandang Rasulullah menceritakan salah seorang nabi, yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah, kemudia ia mengusap darah dari wajahnya seraya berkata, ‘Ya Allah ampunilah dosa kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari)

6.      Seseorang yang sabar akan mendapatkan pahala surga. Dalam sebuah hadis digambarkan; Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa aku mendengar Rasulullah bersabda, Sesungguhnya Allah berfirman, “Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya, kemudian diabersabar, maka aku gantikan surga baginya.” (HR. Bukhari)

7.      Kesabaran merupakan ciri orang yang kuat, “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika marah.” (HR. Bukhari)

8.      Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut.” (HR. Bukhari  Muslim)

9.      Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana seseorang tidak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal yang terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik untukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari Muslim)

Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga hal:

1.      Sabar dalam ketaatan kepada Allah.

Secara tabiatnya, jiwa manusia enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ditinjau dari penyebabnya, terdapat tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk sabar. Pertama karena malas, seperti dalam melakukan ibadah shalat. Kedua karena bakhil (kikir), seperti menunaikan zakat dan infaq. Ketiga karena keduanya, (malas dan kikir), seperti haji dan jihad. Karenanya dalam merealisasikan ketaatan kepada Allah, membutuhkan kesabaran, dan diperlukan beberapa hal:

(1)  Dalam kondisi sebelum melakukan ibadah berupa memperbaiki niat, yaitu kikhlasan. Ikhlas merupakan kesabaran menghadapi duri-duri riya’.

(2)  Kondisi ketika melaksanakan ibadah, agar jangan sampai melupakan Allah di tengah melaksanakan ibadah tersebut, tidak malas dalam merealisasikan adab dan sunah-sunahnya.

(3)  Kondisi ketika telah selesai melaksanakan ibadah, yaitu untuk tidak membicarakan ibadah yang telah dilakukannya supaya diketahui atau dipuji orang lain.

2.      Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan.

Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca; ngerumpi), dusta, memandang sesuatu yang haram dsb. Karena kecendrungan jiwa insan, suka pada hal-hal yang buruk dan “menyenangkan”. Dan perbuatan maksiat identik dengan hal-hal yang “menyenangkan”.

3.      Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah, seperti mendapatkan musibah, baik yang bersifat materi ataupun inmateri; misalnya kehilangan harta, kehilangan orang yang dicintai dsb.

Dalam hadis-hadis Rasulullah, terdapat beberapa hadis yang secara spesifik menggambarkan aspek ataupun kondisi seseorang diharuskan untuk bersabar. Meskipun aspek tersebut bukan merupakan ”pembatasan” pada bidang kesabaran, melainkan hanya sebagai contoh dan penekanan yang memiliki nilai motivasi untuk lebih bersabar dalam menghadapi berbagai permasalahan lainnya. Diantara kondisi-kondisi yang ditekankan agar kita bersabar adalah :

1.      Sabar terhadap musibah.

Sabar terhadap musibah merupakan aspek kesabaran yang paling sering dinasehatkan banyak orang. Karena sabar dalam aspek ini merupakan bentuk sabar yang Dalam sebuah hadis diriwayatkan, Dari Anas bin Malik ra, bahwa suatu ketika Rasulullah melewati seorang wanita yang sedang menangis di dekat sebuah kuburan. Kemudian Rasulullah bersabda, ”Bertakwalah kepada Allah, dan bersabarlah.” Wanita tersebut menjawab, ”Menjauhlah dariku, karena sesungguhnya engkau tidak mengetahui dan tidak bisa merasakan musibah yang menimpaku.” Kemudian diberitahukan kepada wanita tersebut, bahwa orang yang menegurnya tadi adalah Rasulullah. Lalu ia mendatangi pintu Rasulullah dan ia tidak mendapatkan penjaganya. Kemudian ia berkata kepada Rasulullah, ”aku tadi tidak mengetahui engkau wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya sabar itu terdapat pada hentakan pertama.”  (HR. Bukhari Muslim)

2.      Sabar ketika menghadapi musuh (dalam berjihad).

Rasulullah bersabda, Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah bersabda, ”Janganlah kalian berangan-angan untuk menghadapi musuh. Namun jika kalian sudah menghadapinya maka bersabarlah (untuk menghadapinya).” (HR. Muslim).

3.      Sabar berjamaah, terhadap amir yang tidak disukai.

Dalam sebuah riwayat digambarkan, Dari Ibnu Abbas ra beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, ”Barang siapa yang melihat pada amir (pemimpinnya) sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah ia bersabar. Karena siapa yang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal, kemudian ia mati. Maka ia mati dalam kondisi kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)

4.      Sabar terhadap jabatan & kedudukan.

Dari Usaid bin Hudhair bahwa seseorang dari kaum Anshar berkata kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulullah, engkau mengangkat (memberi kedudukan) si Fulan, namun tidak mengangkat (memberi kedudukan kepadaku). Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya kalian akan melihat setelahku yaitu setiap orang menganggap lebih baik dari yang lainnya, maka bersabarlah kalian hingga kalian menemuiku pada telagaku (kelak).” (HR. Turmudzi).

5.      Sabar dalam kehidupan sosial dan interaksi dengan masyarakat.

Rasulullah bersabda, ”Seorang muslim apabila ia berinteraksi dengan masyarakat serta bersabar terhadap dampak negatif mereka adalah lebih baik dari pada seorang muslim yang tidak berinteraksi dengan masyarakat serta tidak bersabar atas kenegatifan mereka.” (HR. Turmudzi)

6.      Sabar dalam kerasnya kehidupan dan himpitan ekonomi.

Dari Abdullah bin Umar ra berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda, ”Barang siapa yang bersabar atas kesulitan dan himpitan kehidupannya, maka aku akan menjadi saksi atau pemberi syafaat baginya pada hari kiamat.” (HR. Turmudzi).

Ketidaksabaran merupakan salah satu penyakit hati, yang seyogyanya diantisipasi dan diterapi sejak dini. karena itulah, diperlukan beberapa kiat, guna meningkatkan kesabaran. Diantara kiat-kiat tersebut adalah;

1.      Mengkikhlaskan niat kepada Allah s.w.t., bahwa ia semata-mata berbuat hanya untukNya.

2.      Memperbanyak membaca Al Qur’an, baik pada pagi, siang, sore ataupun malam hari.

3.      Memperbanyak puasa sunnah.

4.      Berusaha secara giat dan maksimal guna mengalahkan keinginan-keinginan jiwa yang cenderung suka pada hal-hal negatif.

5.      Mengingat kembali tujuan hidup di dunia. Apalagi jika merenungkan bahwa sesungguhnya Allah akan melihat “amalan” seseorang yang dilakukannya, dan bukan melihat pada hasilnya. (Lihat QS. At Taubah [9] : 105)

6.      Perlu mengadakan latihan-latihan untuk sabar secara pribadi.

7.      Membaca-baca kisah-kisah kesabaran para sahabat, tabi’in maupun tokoh-tokoh Islam lainnya. Karena hal ini juga akan menanamkan keteladanan yang patut dicontoh dalam kehidupan nyata di dunia.

Inilah sekelumit mengenai sabar  yang merupakan salah satu sifat dan karakter orang mu’min dan  harus dimiliki oleh setiap insan. Sabar tidak identik dengan kepasrahan dan menyerah pada kondisi yang ada, akan tetapi  sabar adalah sebuah sikap aktif untuk merubah kondisi yang ada, sehingga dapat menjadi lebih baik dan baik lagi. Marilah secara bersama kita berusaha untuk menggapai sikap ini. Insya Allah, Allah akan memberikan jalan bagi hamba-hamba-Nya yang berusaha di jalan-Nya.

Wallahu A’lam Bishshawab

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here