Sudah sampai di mana RUU PKS?
JIC, JAKARTA— Rapat Paripurna DPR (25/07) menyepakati perpanjangan pembahasan RUU PKS hingga akhir masa periode DPR tahun ini, yakni pada 30 September 2019.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang, yang membahas RUU PKS, mengatakan RUU itu ditargetkan untuk disahkan pada tanggal 27 September.
Marwan, kader PKB ini mengatakan, sejumlah hambatan menghalangi disahkannya RUU ini.

“UU ini agak kontroversi, banyak masyarakat di luar DPR yang menolak. Kekhawatirannya karena terlalu liberal dan ditakutkan akan menjadi pintu masuk LGBT,” ujarnya.
Sebelumnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah partai yang juga mempermasalahkan isi RUU ini.
Marwan mengatakan dia mencoba menengahi aspirasi kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dengan meminta masukan banyak pihak tentang frasa-frasa yang sebaiknya dipakai untuk meminimalisasi kecurigaan tentang RUU tersebut.
Dia menegaskan RUU itu perlu disahkan karena mendesak.

“Kita nggak mau anak kita dilecehkan kan? Istrinya dilecehkan? Artinya UU ini penting” katanya.
Meski begitu, Marwan mengatakan RUU PKS tidak bisa disahkan lebih dahulu jika RUU KUHP belum disahkan.
Bab pemidanaan di RUU PKS itu, ujarnya, harus berdasarkan ketentuan mengenai perzinahan, pemerkosaan, dan percabulan yang diatur dalam KUHP yang baru.
Politikus PDIP yang juga anggora DPR, Rieke Diah Pitaloka, yang mendampingi Baiq Nuril dalam perjalanan kasusnya, tidak menerima argumen itu.

“Nggak masalah, nggak ada yang nggak bisa dibicarakan. Tidak ada sesuatu yang tidak bisa diubah. Kalau itu demi kepentingan keadilan yang lebih luas, mari kita punya komitmen juga,” kata Rieke.
Jika pun RUU ini tidak bisa disahkan di periode ini, Rieke menambahkan, dia akan tetap memperjuangkan RUU itu disahkan pada periode DPR mendatang.
Jejak perkara
Kasus tersebut berlangsung pada 2012 saat Baiq Nuril masih menjadi staf honorer di SMAN 7 Mataram.
Baiq Nuril mengaku sebagai korban pelecehan seksual oleh pria berinisial M yang kala itu masih menjabat sebagai Kepala SMAN 7 Mataram.
Setelah kasus itu terungkap, kepala sekolah dimutasi dan dia melaporkan Nuril ke polisi atas tuduhan menyebarkan rekaman elektronik.

Akibatnya ibu tiga anak itu ditahan polisi pada Maret 2017 dan diadili. Ia menghabiskan masa tahanan selama dua bulan tiga hari.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Mataram, terungkap pembicaraan M dengan Baiq Nuril via telepon.
Eks atasan Baiq Nuril itu kerap menceritakan hubungan badannya dengan wanita lain yang bukan istrinya. Merasa dilecehkan, Baiq Nuril pun merekam percakapan itu lewat ponsel miliknya.
Pada sidang 26 Juli 2017, hakim membebaskannya. Namun, jaksa mengajukan banding atas kasus itu, di mana Pengadilan Tinggi lagi-lagi memenangkan Baiq Nuril.
Tak puas dengan itu, kejaksaan membawa kasus itu ke ranah Mahkamah Agung, di mana Baiq kemudian dinyatakan bersalah.
Baiq Nuril dihukum enam bulan penjara dan denda Rp500 juta setelah dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam kasus penyebaran informasi percakapan mesum kepala sekolah tempat ia pernah bekerja.
Hakim kasasi MA menyatakan Nuril bersalah atas sangkaan “mendistribusikan atau mentransmisikan konten kesusilaan” yang tertera dalam pasal 27 ayat 1 UU ITE. Eksekusi mantan guru honorer di Mataram ini ditunda oleh kejaksaan dan saat ini masih bebas.
Nuril juga kembali dinyatakan bersalah oleh MA saat ia melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi tersebut.
sumbert : bbcindonesia.com