CERITA IMAM MASJID NEW YORK SOAL RASIAL DAN YAHUDI ERA TRUMP

0
38

Imam Masjid di New York, AS, asal Indonesia, Shamsi Ali. (CNN Indonesia/Denny Armandhanu)

Jakarta, JIC — Menjadi golongan minoritas di Amerika Serikat tidak mudah. Apalagi saat ini sentimen terhadap kelompok itu semakin meningkat di era Presiden Donald Trump.

Warga Indonesia sekaligus Imam Masjid Jamaica Center di New York, AS, Shamsi Ali, membenarkan kondisi itu. Menurut dia, kelompok minoritas di Negeri Paman Sam memang dijamin dalam undang-undang dasar.

Namun, tekanan terhadap mereka semakin besar, terutama dari kelompok penganut supremasi kulit putih. Belum lagi kebijakan imigrasi yang diterapkan Trump membuat kelompok pendatang merasa resah.

Meski demikian, Ali menyatakan hal itu justru menjadi perekat di antara mereka.

“Kini kami orang Muslim semakin akrab dengan warga minoritas seperti orang keturunan Meksiko, orang kulit hitam, bahkan dengan Yahudi,” kata Ali saat ditemui di Jakarta, Kamis (4/9).

Ali menyatakan dia turut terlibat mengkritik Trump. Dua tahun lalu Trump memutuskan melarang masuk warga dari Suriah, Iran, Irak, Sudan, Libya, Somalia, dan Yaman dengan alasan negara-negara itu identik dengan Muslim yang berideologi radikal. Ali ikut berunjuk rasa di Times Square di New York saat itu.

Ketika itu dia bersama warga yang anti-Trump turut menentang kebijakan tersebut. Sebab, hal itu dianggap bentuk diskriminasi. Jika ingin adil, maka Trump seharusnya juga bersikap sama dengan pemeluk agama lain.

“Beruntung karena lembaga negara dan praktik pemisahan kekuasaan dalam demokrasi di AS sudah kuat, keputusan itu akhirnya dibatalkan Mahkamah Agung karena mereka mematuhi konstitusi,” kata Ali.

Di sisi lain, Ali mengaku kini warga Yahudi mulai merapat kepada umat Muslim setempat. Menurut dia, warga Yahudi mengatakan semakin khawatir dengan meningkatnya sentimen terhadap mereka dari kelompok masyarakat yang berpaham sayap kanan.

Hal itu dibuktikan dengan sejumlah kejadian penembakan yang menargetkan warga Yahudi. Salah satunya terjadi di sebuah sinagoge di Pittsburgh beberapa waktu lalu.

“Warga Yahudi di Amerika Serikat ada sekitar 5 juta orang. Posisi mereka kuat, tetapi mereka kini mendekat dan mengatakan hanya orang Muslim yang bisa melindungi mereka,” ujar Ali.

Meski demikian, Ali mengatakan situasi itu bukan menjadi penghalang untuk mendakwahkan Islam di hadapan masyarakat AS. Bahkan, dia juga didapuk menjadi instruktur dan penghubung dengan lembaga penegak hukum AS seperti Biro Penyelidik Federal (FBI), untuk berbagi ilmu soal budaya Islam.

Ilmu Kritik dari AS

Ali mengaku belajar bagaimana saling menghormati di antara warga AS. Sebagai bagian kelompok minoritas, dia harus menghormati jumlah penduduk yang lebih besar.

Sedangkan yang mayoritas juga tidak sewenang-wenang dengan minoritas. Sebab, UUD AS menjamin hal itu.

Selain itu, Ali juga menyatakan kritik masyarakat adalah nilai dasar demokrasi. Sebab, menurut dia, jika masyarakat sudah enggan mengkritik, maka penguasa bakal lupa diri dan bersikap semaunya karena tidak ada kendali.

“Substansi demokrasi juga ada dalam Islam. Di Amerika Serikat, kritik itu justru diperlukan untuk membuktikan bahwa praktik demokrasi masih hidup dan berjalan,” kata Ali.

Ali mengatakan kerap mengkritik Trump dan pemerintah setempat. Malah dia mengaku mendapat penghargaan dari wali kota dan DPRD New York atas kritiknya yang dianggap turut merawat demokrasi.

“Jadi kalau ada orang mengkritik lantas diperkarakan, maka pemerintahan itu sudah memperlihatkan benih-benih diktator. Kritik itu perlu dalam kehidupan supaya kita bisa membenahi diri,” ujar Ali. (ayp/ayp)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here