CERITA TENTANG KAPAL NIAGA YANG ANGKUT JAMAAH HAJI PERTAMA INDONESIA

0
406

_0f9d53e0-0e0c-42f5-9b88-c81eace260f4_169

JIC, Jakarta — Abad ke-16 merupakan masa permulaan haji di Indonesia. Saat itu, pada umumnya mereka pergi ke Makkah menggunakan kapal niaga milik domestik maupun milik asing.

Meski jumlahnya masih sedikit, catatan dalam buku “Historiografi Sejarah Haji di Indonesia” karya Saleh Putuhena dapat dijumpai kapal-kapal niaga milik orang Arab, Persia, Turki dan Indonesia yang beroperasi di Indonesia. Namun, memasuki pertengahan abad ke-16 kapal-kapal Nusantara justru lebih dominan keberadaannya dibanding dengan kapal asing.

Kapal-kapal itu biasanya melayari jalur perdagangan Samudera India sampai ke Jazirah Arab. Saat itu juga tercatat Nusantara telah memiliki armada perdagangan internasional, mengingat di Jepara terdapat industri kapal yang keberadaannya dikagumi bangsa Portugis.

“Sebagian besar kapal ini memang kebanyakan termasuk dalam kategori kapal kecil dengan daya jelajah terbatas hanya sampai India dan Filipina. Namun meski sedikit, ada juga kapal dengan muatan besar yang dapat menjelajah hingga Spanyol,” sebut Schrieke dalam bukunya yang berjudul “Indonesian Sociological Studies”.

Diketahui, armada kapal milik ulama Aceh yang pertama kali sampai ke Jeddah pada tahun 1556 juga dibeli dari Jawa dan Pegu. Begitu pula dengan beberapa wilayah lainnya di Nusantara, Sultan Mansyur Syah dari Malaka ketika ingin berhaji juga memesan kapal di tempat yang sama.

Selain di Jepara dan Jawa, industri kapal niaga juga terdapat di Banjarmasin, Lawe, dan Tanjungpura. Dari sini dapat disimpulkan bahwa industri kapal niaga Nusantara telah menunjang armada niaga internasional yang sering digunakan oleh mereka yang bermaksud pergi ke Tanah Haram.

Berbeda dengan abad sebelumnya, memasuki abad ke 17 kapal niaga yang menjelajah samudera Hindia mulai mendapat saingan dari kapal-kapal Eropa. Sambil berlayar untuk berdagang ke Jeddah, dengan menumpang kapal ini orang Nusantara untuk menimba ilmu sekaligus berhaji.

“Salah satu peristiwa pemberangkatan jamaah haji Nusantara ke Makkah dengan kapal Eropa adalah atas jaminan Sultan Ageng suatu utusan kerajaan Mataram berangkat ke Makkah dengan kapal Inggris,” ungkap Johan Eisenberger dalam disertasinya yang berjudul “Indie and de Bedevaart naar Mekka.

_121027181947-976

Berlayar Melalui Samudera Hindia Hingga Laut Merah untuk Berhaji

Permulaan musim haji di Nusantara, pada umumnya orang pribumi yang ingin pergi ke Mekkah menggunakan transportasi laut berupa kapal niaga. Bagaimana rute pelayaran mereka?

Awalnya mereka yang berangkat ke Hijaz belum melalui satu pelabuhan embarkasi tertentu. Pada abad ke-16 sampai 17 para pengunjung Haramain dari Nusantara memulai perjalannya dari suatu pelabuhan perdagangan menuju Pasai dan Malaka.

Namun, lantaran pada tahun 1511 Malaka ditaklukkan oleh Portugis, maka Pasai menjadi satu-satunya pintu gerbang menuju Mekkah. Hal itu yang kemudian menjadi sejarah di balik julukan Aceh kini yaitu Serambi Mekkah.

Namun seiring kemudian mundurnya perdagangan, Pasai kemudian tak lama menjadi pelabuhan pintu gerbang menuju Haramain. Memasuki abad ke-18 , mereka yang ingin ke Mekkah lebih memilih bertolak dari Batavia atau pelabuhan lainnya di Tanah Semenanjung.

Dalam catatan pemerintah Belanda “Resolutie van den Gouveumeur Generaal van Nederlandsche Indie” yang diterbitkan Oktober tahun 1825, 200 orang pribumi yang berasal dari Batavia dan residen lainnya menghadap polisi Belanda untuk meminta paspor jalan ibadah haji. Mereka melaporkan ingin berhaji bersama kapal Magbar milik Syaikh Umar Bugis.

Pemerintah Belanda pun mengizinkan dengan mengeluarkan resolusinya.

“Dengan disposisi ini untuk pengesahan kepada mereka yang telah menghadap polisi untuk memperoleh paspor ke Mekkah dengan kapal Magbar telah diizinkan berangkat ke sana,” kutipan terjemahan dari bahasa Belanda dari Resolutie van den Gouveumeur Generaal van Nederlandsche Indie yang diterbitkan Oktober tahun 1825.

Bergeser ke abad 19, perjalanan haji dimulai dari Batavia, Padang, Singapura dan Penang. Sampai dengan tahun 1870, Pemerintah Hindia-Belanda belum menentukan pelabuhan tertentu sebagai pelabuhan embarkasi haji.

Melalui staatblaad (laporan negara) tahun 1872 No. 172 mengatur tentang pengangkutan pribumi keluar dari Hindia-Belanda ditetapkan bahwa pelabuhan embarkasi hanya dilakukan pada pelabuhan Batavia, Surabaya, Semarang.

Dari pelabuhan-pelabuhan ini jamaah haji Nusantara berangkat ke Jeddah. Ketika masih menggunakan kapal layar dan kapal niaga perjalanan ke Jeddah melewati pelabuhan tertentu di Samudra Hindia dan Laut Merah. Tidak terdapat jalur tertentu yang harus dilalui.

Penetapan pelabuhan transit sangat ditentukan oleh nahkoda kapal. Ia biasanya dapat menganalisa keadaan angin untuk navigasi. Selain itu, cara lainnya dalam menentukan pelabuhan transit adalah dengan melihat pasar bagi komoditas yang diangkut atau diperlukan.

Sumber ; detiknews.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

12 − 11 =