CINTA FUDHAIL BIN ‘IYADH MENGANTARNYA PADA PINTU PERTAUBATAN

0
581

JIC – Dia adalah Abu Ali, Fudhail bin’ ‘Iyadh bin Mas’ud bin Basyar At-Tamimi. Lahir di kota Khurasan, tepatnya di daerah Muru. Ayahnya dikenal sebagai seorang yang takut kepada Allah. la mempunyai dua orang anak, Ali dan Abu Ubaidah, yang dinyatakan olehnya, “Aku benar-benar mencintainya karena ia mendampingiku saat aku telah tua.” Ia juga memiliki pembantu yang pandai bernama Ibrahim bin Al-Asy’ats.

Fadhl bin Musa berkata, Fudhail bin ‘Iyadh dulunya adalah seorang penyamun (perampok) yang cukup ditakuti. Ia biasa merampok orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Namun kemudian ia bertaubat. Sebab pertaubatannya adalah ia mencintai seorang wanita. Ketika sedang menaiki sebuah dinding untuk menemui kekasihnya itu, tiba-tiba ia mendengar seseorang sedang membaca ayat, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun [kepada mereka].” (QS. al-Hadid: 16) Ketika mendengar itu, ia menjawab, “Tentu wahai Tuhanku, telah tiba saatnya.”

la pun segera pulang, namun malam membawanya singgah di sebuah bangunan runtuh yang ternyata di dalamnya terdapat beberapa orang yang juga kemalaman. Salah seorang dari mereka berkata kepada yang lainnya, “Mari kita melanjutkan perjalanan.” Temannya menyahut, “Bagaimana kalau di tengah perjalanan ada Fudhail?” Fudhail mendengar percakapan itu. la merenungkannya lantas berkata, “Namaku disebut-sebut di malam hari dalam kemaksiatan sedangkan mereka merasa takut kepadaku. Tidaklah Allah menunjukkanku kepada mereka, melainkan agar aku sadar. Ya Allah, kini aku bertaubat kepada-Mu.”

Lalu Fudhail pergi ke Kufah untuk menuntut ilmu. Dia pun akhirnya menjadi seorang yang ahli dalam Hadits. Fudhail berpaling dari kemewahan duniawi. Sekalipun ribuan dinar di sodorkan kepadanya dari para penguasa dan raja, namun ia menolaknya. Ia tidak ingin memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali yang jelas-jelas halal karena mengamalkan firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang halal dan yang baik dari apa yang ada di bumi.”

Pada akhirnya, Fudhail bin ‘Iyadh menjelma menjadi seorang ulama terkemuka, ahli fikih dan ahli hadis. Fudhail bin ‘lyadh adalah seorang cerdas, kuat hafalannya dan wara’. Tiga sifat ini merupakan modal utama seorang ahli hadis. Ia paham betul sabda Rasulullah SAW, “Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja, bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka.” (HR al-Bukhari). Karena itu tidak aneh jika menurut Sufyan bin Uyainah, “Fudhail adalah orang yang tsiqah (terpercaya).” Dan Imam an-Nawawi pun berkomentar, “Hadis-hadis yang diriwayatkan Fudhail itu sahih.”

Fudhail bin ‘Iyadh pun dikenal karena ketekunan dan kekhusukannya dalam beribadah hingga dijuluki ‘Abid al-Haramayn (Ahli Ibadah Makkah dan Madinah). Jika malam mulai datang, Fudhail bin ‘Iyadh biasa menggelar sejadahnya untuk menunaikan qiyâmul-layl. Ia terus dalam keadaan shalat hingga rasa kantuknya datang tak tertahankan. Ia pun berbaring sebentar, untuk kemudian kembali shalat. Saat kembali kantuknya datang tak tertahankan, ia kembali berbaring sebentar. Kemudian ia pun kembali bangkit untuk shalat. Begitu seterusnya hingga datang waktu subuh.

Terkait shalat malam ini, Fudhail pernah berkata, “Jika kamu merasa begitu berat untuk menunaikan qiyâmul-layl dan berpuasa di siang hari, ketahuilah, sesungguhnya dirimu telah terbelenggu oleh dosa dan maksiat yang kamu perbuat.” Wajah Fudhail pun sering tampak seperti bekas menangis karena kesedihan dan rasa takutnya kepada Allah SWT. Tentang ini Ishaq bin Ibrahim ath-Thabari pernah menuturkan. “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih memperlihatkan rasa takutnya kepada Allah SWT selain Fudhail. Saat ia membaca al-Quran, kitab itu ia baca dengan lembut, syahdu dan begitu menyentuh hati; seolah ia sedang berbicara dengan seseorang.”

Fudhail bin Iyadh banyak memberikan nasihat bijak dan bernas. Tentang ikhlas, misalnya, Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Meninggalkan amal shalih karena manusia adalah riya. Beramal shalih karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah keterbebasan dari keduanya.” (An-Nawawi, Al-Adzkâr, hlm. 7). Tentang tawaduk, Fudhail berkata, “Tawaduk itu engkau tunduk dan patuh pada kebenaran, dari mana pun datangnya.” Tentang bagaimana wujud sabar dalam menghadapi musibah, Fudhail berkata, “Dengan tidak menceritakannya.” (Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliyâ’, 8/91).

Adapun tentang iman yang sempurna, Fudhail berkata, “Seorang hamba tidak akan menggapai hakikat iman kecuali setelah menganggap musibah sebagai nikmat dan nikmat sebagai musibah (Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliya’, 8/94).

Seseorang pernah berkunjung kepada Fudhail untuk meminta nasihat. Ia pun berkata, “Kosongkan hatimu dari yang lain kecuali rasa takut dan tangismu kepada Allah SWT. Jika keduanya sudah bersarang di hatimu, takut dan tangis itu akan membentengi kamu dari melakukan maksiat dan menjauhkan dirimu dari api neraka.”

Ia pun pernah berkata, ”Manusia yang paling dekat dengan Allah adalah yang paling takut kepada-Nya. Manusia tidak akan sempurna hingga agamanya mampu mengalahkan nafsunya. Manusia tidak akan binasa hingga nafsunya mengalahkan agamanya.” (Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam as-Salaf).

Fudhail bin ‘Iyadh termasuk ulama yang berusaha menjauhi para penguasa. Terkait sikapnya ini ia pernah berkata, “Seseorang mendekati bangkai yang berbau busuk jauh lebih baik daripada mendekati para penguasa.”

Namun demikian, terkait para penguasa pula, Fudhail pernah berkata, “Jika aku punya doa mustajab, doa itu akan kupakai untuk mendoakan penguasa.” Orang-orang bertanya, “Mengapa begitu, wahai Abu Ali?” Jawab Fudhail, “Jika doa mustajab tersebut kupakai untuk diriku sendiri, aku tidak akan mendapatkan balasan. Namun, jika kupakai untuk mendoakan penguasa maka baiknya penguasa akan berdampak baik bagi rakyat dan negeri.” (Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliyâ’, 8/91).

Ini kisah seorang yang terbiasa melakukan perbuatan dosa namun ada sedikit celah di hatinya untuk merenung dan mengingat akan kekuasaan Allah SWT. Dan kemudian Allah bersihkan hatinya dari noda-noda hitam sehingga ia pun kini menjadi seorang hamba yang ahli ibadah. Walahu’alam bishawab.

Sumber: Pelbagai sumber

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

sixteen − 12 =