Seminar Ekspos Hasil Penelitian Kuantitatif Islam di Ibukota dengan tema “Memperkuat Peran Masjid Perkantoran dalam Peningkatan Kualitas Spiritualitas dan Akhlak Jama`ahnya” pada hari Sabtu, 15 Desember 2012 bertempat di Aula Perwakilan BPKP DKI Jakarta yang diselenggarakan oleh Jakarta Islamic Centre (JIC) bekerjasama dengan Forum Silaturahim Masjid Perkantoran Jakarta (Forsimpta) dan Masjid Ar-Raqiib BPKP dengan nara sumber Prof. Dr. Azyumardi Azra, KH. Wahfiudin Sakam, SE, MBA, dan Ustadz Abuzar Al-Ghifari (Ketua Harian Forsimpta), memberikan masukkan yang berharga bagi umat, khususnya bagi para peserta yang nota bene adalah para pengurus masjid perkantoran di DKI Jakarta.
Seminar Ekspos Hasil Penelitian Kuantitatif Islam di Ibukota dengan tema “Memperkuat Peran Masjid Perkantoran dalam Peningkatan Kualitas Spiritualitas dan Akhlak Jama`ahnya” pada hari Sabtu, 15 Desember 2012 bertempat di Aula Perwakilan BPKP DKI Jakarta yang diselenggarakan oleh Jakarta Islamic Centre (JIC) bekerjasama dengan Forum Silaturahim Masjid Perkantoran Jakarta (Forsimpta) dan Masjid Ar-Raqiib BPKP dengan nara sumber Prof. Dr. Azyumardi Azra, KH. Wahfiudin Sakam, SE, MBA, dan Ustadz Abuzar Al-Ghifari (Ketua Harian Forsimpta), memberikan masukkan yang berharga bagi umat, khususnya bagi para peserta yang nota bene adalah para pengurus masjid perkantoran di DKI Jakarta.
Seminar diawali dengan paparan hasil sensus atau inventarisasi masjid perkantoran di DKI Jakarta tahap pertama oleh Rakhmad Zailani Kiki selaku kettua pelaksana penelitian. Walaupun data yang diperoleh masih merupakan data sementara, namun dapat memberikan gambaran tentang kondisi masjid perkantoran di DKI Jakarta dalam tiga hal, yaitu sebaran, kegiatan yang diselenggarakan di luar shalat wajib dan atau Jum`atan, dan paham keagamaan yang dianut mayoritas jama`ahnya.
Untuk sebaran masjid perkantoran di DKI Jakarta, terbanyak adalah di Jakarta Pusat (46%), menyusul kemudian Jakarta Selatan (32%).
Untuk kegiatan yang diselenggarakan oleh masjid perkantoran di DKI Jakarta di luar shalat wajib dan atau Jum`atan, terbanyak adalah kegiatan majelis taklim/kajian (52%), menyusul kegiatan Perayaan Hari Besari Islam/PHBI (18%), kemudian kegiatan sosial (15%), bimbingan Al-Qur`an (11%), dzikir (2%), dan bimbingan bahasa Arab (2%).
Sedangkan untuk paham keagamaan yang mayoritas dianut jama`ah masjid perkantoran di DKI Jakarta adalah umum atau netral (86%) menyusul berpaham Nahdlatul Ulama/NU (14%).
Tentu sekali lagi, hasil di atas merupakan hasil sementara karena belum keseluruhan data yang masuk; dan kegiatan sensus atau inventarisasi di bawah bimbingan Prof. Dr. Azyumardi Azra ini terus dilakukan dengan aspek-aspek yang lebih banyak dan lebih komprehensif agar masjid perkantoran di DKI Jakarta dapat terpetakan dengan baik sehingga memudahkan semua pihak terkait untuk pemberdayaan masjid perkantoran, masjid yang dapat menjadi tempat peningkatan spiritualitas dan pembinaan akhlak jama`ahnya.
Harapan agar masjid perkantoran dapat menjadi tempat pembinaan akhlak jama`ahnya terdeskripsikan dengan sangat baik dari paparan Prof. Dr. Azyumardi Azra di seminar tersebut yang membawakan makalah berjudul “ Kantor, Dakwah dan Akhlak Mulia”. Menurutnya, di Indonesia, masjid tidak hanya terdapat di lingkungan pertanggaan masyarakat Muslim. Sejak masa kemerdekaan, khususnya pada masa pasca-Presiden Soekarno berikutan tumbangnya PKI, masjid secara fenomenal tumbuh menjadi bagian integral dari kehidupan publik. Berbarengan dengan kebebasan mengekspresikan identitas Islam sejak 1970, kian banyak masjid yang didirikan di lingkungan kantor baik pemerintah maupun swasta; di kawasan pendidikan; juga di lingkungan pabrik, dan kemudian pula di mall, tempat rekreasi keluarga dan seterusnya.
Gejala pertumbuhan masjid demikian merupakan fenomena unik Indonesia yang sulit ditemukan di banyak Dunia Islam lain, khususnya di kawasan Arab. Di Dunia Arab dan banyak kawasan Muslim lain di mancanegara, masjid umumnya adalah Masjid Jami’ di lingkungan pertetanggaan; karena itu sangat sulit menemukan masjid atau mushala di lingkungan kantor. Sebab itu, tidak heran kalau kita pernah menyaksikan sendiri atau di layar kaca, ada Muslim di kawasan-kawasan tersebut shalat di pinggir jalan atau tempat terbuka lain.
Kenyataan ini berkaitan dengan kenyataan, bahwa di Dunia Arab umumnya dan banyak kawasan Muslim lainnya Jumat adalah hari libur. Karena itu para pegawai pemerintah maupun swasta berdiam di rumah atau pergi berlibur sehingga tiada kebutuhan adanya masjid di lingkungan kantor. Jika mau Jumatan, mereka cukup pergi ke masjid jami’ di lingkungan pertanggaan mereka sendiri.
Sebaliknya di Indonesia, Jumat bukanlah hari libur. Lembaga dan instansi pemerintah dan swasta tetap bekerja normal—dengan waktu istirahat sedikit lebih panjang pada hari Jumat tersebut. Karena itu, jelas perlu adanya masjid di lingkungan kantor, pabrik, kampus, sekolah dan seterusnya di samping masjid di pertanggaan. Jika masjid hanya tersedia di lingkungan pertetanggaan, bisa dibayangkan, banyak pegawai, karyawan, mahasiswa dan siswa harus keluar dari lingkungan mereka masing-masing dengan kemungkinan terlambat kembali ke tempat mereka bekerja atau belajar.
Itulah hikmah dan blessing in disguise dari kenyataan bahwa Jumat bukan hari libur di Indonesia. Kenyataan ini patut disyukuri sebesar-besarnya bagi kaum Muslim Indonesia; dan rasa syukur itu patut diwujudkan dengan memaksimal pemanfaatan masjid untuk pembinaan keimanan-keislaman, ketaqwaan, dan akhlaq al-karimah. Dan sebaliknya, tidak menggunakan masjid, khususnya di lingkungan perkantoran untuk tujuan-tujuan yang tidak sesuai dengan ketinggian Islam. Kegiatan-kegiatan di masjid perkantoran khususnya semacam khutbah Jumat, ceramah dhuha, majelis ta’lim dan sebagainya mesti sejalan pula dengan prinsip-prinsip dakwah yang diajarkan Islam: dengan hikmah dan bijak; pengajaran yang baik (maw’izhah hasanah), dan diskusi yang baik (mujadalah) pula.
Sebab itu, takmir masjid, khususnya di perkantoran berkewajiban memelihara kesucian dan fungsi masjid yang mulia dengan menjaga masjid dari infiltrasi orang-orang atau kelompok tertentu yang ingin menggunakan masjid untuk kepentingan relijio-politik mereka sendiri. Gejala seperti ini—sebagaimana diungkapkan di bawah—perlu dicermati, karena jelas tidak menguntungkan bagi masjid perkantoran itu sendiri, para jamaah dan umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Karena itu, kaum Muslimin Indonesia memikul tugas suci untuk memberi contoh kepada umat Islam di tempat-tempat lain tentang memelihara kesucian masjid dan sekaligus menjadikannya sebagai pusat keagamaan, sosial, dan budaya Islam Indonesia. ***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Koordinator Pengkajian JIC