Satu per satu warga meninggal saat isolasi mandiri
JIC, JAKARTA,– Menurut Eny, warga yang menderita sakit sebagian memutuskan bertahan di rumah tanpa mengakses layanan kesehatan karena ada ketakutan tersendiri apabila menjalani tes usap. Bagi warga, jika sakit dan dipastikan positif Covid-19, itu berarti mereka harus menjalani perawatan di rumah sakit dan tak bisa bertemu keluarga.
”Ada ketakutan, kalau ketika mereka berobat di rumah sakit, lalu swab dan misalnya dinyatakan positif karena kondisinya parah, berarti harus dirawat di rumah sakit. Itu menjadi ketakutan mereka karena mereka menganggap itu hari terakhir mereka melihat keluarganya,” kata Eny.
Sebagian warga memutuskan bertahan di rumah tanpa menjalani tes usap. Sayangnya, sebagian dari mereka yang bertahan di rumah itu lalu tak tertolong dan meninggal. Di wilayah RW 019, Kelurahan Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara, saat ini ada 48 keluarga yang sedang menjalani isolasi mandiri di rumah setelah dinyatakan Covid-19.
Warga yang menjalani isolasi mandiri dan tiba-tiba mengalami perburukan dan butuh rujukan ke rumah sakit kesulitan untuk mendapatkan layanan ambulans.
”Ada warga yang sampai sesak napas, kami angkut pakai becak. Susah akses ambulans. Saya coba telepon ke rumah sakit supaya dapat ruang di ICU (tapi belum dapat juga) sampai akhirnya meninggal dunia,” kata Ketua RW 019 Kelurahan Tugu Utara, Ricardo Hutahean.
Di RW Ricardo, sudah tiga orang yang meninggal saat isolasi mandiri. Mereka meninggal akibat terjadi perburukan tiba-tiba karena terlambat atau sama sekali tak mendapat pertolongan medis.
Krisis tabung oksigen
Tak sedikit dari warga yang menjalani isolasi mandiri juga butuh bantuan pernapasan dari tabung oksigen. Upaya menolong warga yang menderita sesak napas dengan bantuan tabung oksigen ini juga tak mudah dilakukan.
Eny dalam minggu ini mencoba membantu warga yang membutuhkan oksigen setelah berhasil mendapatkan pinjaman tabung dari aktivis kemanusiaan, Sandiyawan Sumardi. Namun, untuk mengisi oksigen pun sangat sulit. ”Kami sudah dapat link dari mana-mana. Tapi saat coba dilacak oleh keluarga, tidak ada, semua kosong. Lalu, ketika dapat oksigen, antrenya seharian. Bisa dibayangkan, orang dalam keadaan sesak napas menunggu oksigen sampai seharian, padahal hitungan menit saja sudah megap-megap,” kata Eny.
Di wilayah padat penduduk Penjaringan, satu tabung oksigen yang didapatkan dari Sandiyawan digunakan bergilir oleh warga setempat.
Jelas saja, satu tabung itu sama sekali tak cukup untuk melayani kebutuhan orang-orang yang menderita sesak napas. Saat satu warga masih menggunakan tabung itu, warga lain juga mengiba mendapatkan giliran karena mengalami sesak napas. ”Sementara banyak yang teriak, butuh tabung,” katanya.
Dari berbagai kejadian yang terjadi pada warga di kampung-kampung Jakarta itu, JRMK berharap kepada pemerintah untuk tak sekadar mengutamakan sosialisasi dan penegakan hukum PPKM darurat.
Warga miskin kini membutuhkan solusi konkret dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ekonomi, sosial, dan persoalan kesehatan yang mendera warga. ”Orang sehat itu karena makan. Kita diminta tidak ke mana-mana untuk memutus mata rantai penularan. Tetapi, kebutuhan kita tidak dipenuhi. Jadi mesti imbang, yang sakit ditolong, yang sehat juga ditolong,” ucap Eny lagi.
Sumber : Kompas.com,