DISRUPSI TERHADAP KELUARGA

0
39

(islamic-center.or.id) – Di dalam Tarbiyatul Aulad Fil Islam (Pendidikan Anak dalam Islam) Dr. Abdullah Nashih Ulwan menempatkan tanggung jawab pendidikan iman sebagai urutan teratas di dalam pendidikan dan pembinaan anak yang dilakukan oleh orangtua atau para guru dan pendamping anak-anak.

Ada wasiat Ibnu Sina yang disampaikan terkait pendidikan anak yaitu, Anak-anak di sekolah hendaknya memiliki teman sebaya yang terpuji budi pekertinya dan baik tradisinya. Karena seorang anak akan saling meniru kebiasaan anak yang lain, saling mencontoh dan saling menyayangi.

Disrupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah hal tercabut dari akarnya. Adapun makna secara umum adalah perubahan besar dan fundamental yang terjadi karena inovasi hebat (seringkali teknologi) yang mengganggu, menggantikan, atau mengubah sistem, tatanan, dan kebiasaan lama di berbagai bidang seperti bisnis, industri, pendidikan, hingga kehidupan masyarakat secara luas, sehingga memerlukan adaptasi dan strategi baru untuk bertahan.

Disrupsi terhadap keluarga yaitu ketika pola hubungan dalam tatanan keluarga mengalami pergeseran seiring dengan disrupsi global; komunikasi antara anggota keluarga lebih bersifat digital, adaptasi keluarga terhadap perkembangan teknologi, adanya kebiasaan-kebiasaan baru dalam berinteraksi dan berkomunikasi.

Lalu munculnya masalah-masalah baru seiring dengan perubahan perilaku dan potensi kriminalitas siber yaitu judi online, pinjaman online, adiksi gadget, nomophobia, parasocial relationship, dan lain-lain.

Allah swt berfirman,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

[luqman (31): 13]

Luqman al-Hakim memberikan nasehat kepada putranya an’am atau Asykam atau Matan atau Tsaran, agar hanya menyembah Allah swt dan tidak sekali-kali menyekutukan sesuatu dengan-Nya karena menyekutukan sesuatu dengan-Nya adalah kezaliman terbesar, karena syirik berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, kezaliman yang berkaitan dengan pokok akidah, menyamakan, menyepadankan dan mensetarakan antara Sang Khalik dengan makhluk, antara Zat Yang hanya Dia semata Yang Maha Pemberi nikmat dengan sesuatu yang sama sekali tidak kuasa memberi nikmat apa pun. Hal ini sebagaimana disampaikan Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam Tafsir Al-Munir.

Adapun Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi di dalam an-Nafahat Al-Makkiyah mengatakan, Wahai anakku ikhlaskan ibadah hanya kepada Allah dengan ketauhidan, dan janganlah engkau sekutukan dengan apapun dalam peribadatan kepada-Nya, ketahuilah bahwa syirik adalah kezaliman yang besar secara mutlak. Kezaliman adalah menempatkan sesuatu pada selain tempat yang semestinya. Ibadah kepada selain Allah dan menyekutukan-Nya dalam ibadah adalah menjadikan ibadah pada peribadatan yang tidak semestinya, ini adalah kezaliman yang paling zalim dan sebesar-besar kerusakan.

Pendidikan iman akan sangat berpengaruh di dalam sanubari anak-anak sehingga akan memegang teguh nilai-nilai Islam (baca; syariah) dalam keseharian dan melahirkan akhlak mulia terhadap lingkungan internal keluarga inti maupun eksternal seperti sekolah, sekitar tempat tinggal dan pertemanan.

Para ayah dan ibu perlu meresapi wasiat Ibnu Sina di atas agar anak-anak memiliki teman dekat yang bisa membawa kepada kondisi yang baik dan mengingatkan selalu kepada kebaikan agar anak-anak juga senantiasa kondusif menjadi anak-anak salih dan salihah. Termasuk dalam hal pensikapan anak-anak dalam menghadapi pergantian tahun baru Masehi, selayaknya mereka menggunakan momen tersebut untuk memperbanyak muhasabah (introspeksi diri) bukan meramaikannya dengan meniup terompet misalnya, karena terompet adalah ciri khas ibadah kaum Yahudi.

Rasulullah saw bersabda,

Dari Abu ‘Umair bin Anas dari bibinya yang termasuk shahabiyah Anshor, Nabi memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah. Ada beberapa orang yang memberikan usulan. Yang pertama mengatakan, ‘Kibarkanlah bendera ketika waktu shalat tiba. Jika orang-orang melihat ada bendera yang berkibar maka mereka akan saling memberi tahukan tibanya waktu shalat. Namun Nabi tidak menyetujuinya. Orang kedua mengusulkan agar memakai teropet. Nabi pun tidak setuju, beliau bersabda, ‘Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.’  Orang ketiga mengusulkan agar memakai lonceng. Nabi berkomentar, ‘Itu adalah perilaku Nasrani.’ Setelah kejadian tersebut, Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi pulang dalam kondisi memikirkan agar yang dipikirkan Nabi. Dalam tidurnya, beliau diajari cara beradzan.

 [HR. Abu Daud]

Betapa beratnya tanggung jawab keluarga dalam menghadapi disrupsi teknologi atau digital dengan segala perubahannya memaksa para ayah dan ibu generasi Baby Boomers (kelahiran 1946-1964) dan Generasi X (kelahiran 1965-1980) untuk merapatkan barisan turut saling membantu bahu membahu dan tidak membiarkan keluarga menjadi korban dari perkembangan dunia ini.

Rasulullah saw bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ.

Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya

[HR. Tirmizi]

Sungguh relevan hadis ini jika para ayah dan ibu menutup tahun Masehi dengan merenungkan dan meresapi hadis Rasulullah saw di atas bahwa pada fase akhir kehidupan di akhirat kelak, akan ada empat pertanyaan yang diajukan dan harus dijawab oleh setiap manusia termasuk oleh para ayah dan ibu. Pertama, pertanggungjawaban umur, kemana digunakan. Kedua, tentang ilmunya bagaimana diamalkan. Ketiga, darimana diperolehnya harta dan kemana dibelanjakan. Keempat, terkait tubuhnya untuk apa digunakan?

Semoga Allah ta’ala mudahkan para ayah dan ibu saling membantu di dalam pengasuhan anak, pembinaan, dan pendidikan agar anak-anak imun di dalam menghadapi perkembangan zaman, pergaulan dan interaksi sehari-hari. Aamiin.

Jakarta, 9 Rajab 1427 H / 29 Desember 2025

Arief Rahman Hakim

Kasubdiv Pendidikan dan Pelatihan PPIJ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

five + 17 =