Kondisi Masjid Akhram Babul Rahman atau masjid apung di Pantai Kampung Lere, Palu, Sulteng, Selasa (16/10).
“Sikap sebagian Muslim di Kota Palu dan sekitarnya yang mengaitkan gempa dengan ‘hukuman Tuhan’ harus diimbangi dengan pemahaman bahwa beragama itu memerlukan ilmu pengetahuan, kata pemikir keislaman.”
JIC, PALU- Akbar, warga kampung Kabonena, Kota Palu, Sulawesi Tengah, yang kehilangan putranya akibat likuifaksi di perumahan Balaroa, meyakini bahwa gempa di Palu dan sekitarnya tidak terlepas dari “hukuman Tuhan” akibat ulah manusia.
“Katanya sih ada lempengan (bumi) yang melalui Palu. Tapi, menurut saya, salah-satu faktor utama adalah (praktik) mistis (yang digelar dalam Festival Nomoni di Kota Palu),” ungkapnya saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (17/10).
Akbar tidak memungkiri bahwa bencana itu akibat pergeseran patahan Palu Koro, tetapi dia mengaku tidak dapat melepaskan dari keyakinannya dalam menafsir ajaran Islam dalam melihat bencana itu.
Dia kemudian merujuk kepada acara yang digelar pemerintah Kota Palu di pinggir pantai, Festival tidak lama sebelum gempa mengguncang wilayah itu, yaitu Festival Nomoni, yang disebutnya ada praktik syirik – menyekutukan Tuhan – di dalamnya.

“Karena sudah beberapa kali diadakan (Festival) Palu Nomoni, selalu ada kejadian buruk yang menimpa warga,” ungkapnya.
Apa yang diutarakan Akbar ini juga diyakini oleh sebagian warga kota Palu, walaupun tak sedikit pula yang mempertanyakannya.
sumber : bbcindonesia.com