HAKIKAT ERA MILENIAL: KE MANA INSENTIF ILMUWAN SALAH ARAH?

0
218

Ilmuwan diharapkan kembali dan mempertahankan jalan hidupnya yang hakiki.

JIC, JAKARTA- Sejarah Islam merekam, pada zaman Pemerintahan Abbasiyah ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Banyak ilmuwan Muslim yang kita kenal saat ini, seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Ibnu Rusyd, lahir pada zaman keemasan itu. Ketika itu, Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) didirikan. Tugas utamanya adalah mengawal pengembangan ilmu pengetahuan.

Para ilmuwan diposisikan secara terhormat. Buku yang ditulis atau hasil terjemahannya, diberi insentif, diganti dengan emas seberat fisik bukunya. Penerjemah non-muslim diberdayakan dengan imbalan serupa untuk setiap buku hasil terjemahannya ke dalam bahasa Arab.

Buku-buku berasal dari beragam bahasa, seperti Yunani, Ibrani, dan Persia. Pada saat itu, buku-buku yang terkait dengan ilmu positivis, seperti kedokteran dan astronomi, diterjemahkan terlebih dahulu. Baru kemudian, buku-buku metafisik, seperti filsafat Plato dan Aristoteles (Amstrong, 2009).

Kisah negeri ini

Di negeri ini, kini, skema insentif pun didesain untuk para ilmuwan. Beragam skema untuk riset dan publikasi tersedia dengan kompetisi ketat untuk menggapainya. Dana yang dialokasikan juga fantastis.

Penulis percaya niat mulia ini. Tapi, apakah niat mulia ini telah direspons dengan tulus? Ini merupakan pertanyaan besar. Selain penting, jawaban pertanyaan ini, juga sensitif. Tetapi, penulis masih yakin, bahwa ilmuwan di negeri ini masih mempunyai stok selera humor dan keberanian: untuk menertawakan diri sendiri dan melakukan swakritik, meski dengan senyum simpul terkulum.

Di Dunia Lama (Eropa) nun jauh di sana, ilmuwan juga telah mendapatkan banyak kritik. Pada 2016, Radio BBC menurunkan dua laporan berseri dengan tajuk yang menghentak: “selamatkan ilmu dari ilmuwan”. Apa pasal? Kompetisi yang super ketat dalam riset dan publikasi telah membawa nilai-nilai kapitalisme ke dalam ranah akademik. Capaian akademik direduksi ke dalam angka. Kuantitas dalam banyak hal dijadikan panglima, mengalahkan kualitas. Di Dunia Baru (Amerika), tekanan ini mewujud dalam frasa: publikasi atau mati (publish or perish). Ketika kontrol kualitas kendor, pendulum bisa menuju arah yang salah.

Tekanan ilmuwan di negeri ini, nampaknya, sampai taraf tertentu, telah menjadikan kompetisi kehilangan arti. Angka publikasi yang meroket bisa jadi tuna makna. Para ilmuwan berlomba melakukan publikasi dengan kompromi pada kualitas. Kalau perlu publikasi berjamaah tuna substansi dan kerja sama sitasi pun diorkestrasi. Riset pun tidak lagi didorong karena rasa ingin tahu (curiosity driven) tetapi mengikuti selera pasar (market driven).

Penulis masih percaya, bukan ini arah yang dikehendaki oleh pengambil kebijakan di negeri ini.

 

sumber : republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

16 − nine =