HAKIKAT ERA MILENIAL: KE MANA INSENTIF ILMUWAN SALAH ARAH? (2)

0
197

Posisi diri

JIC, JAKARTA- Jika perkembangan mutakhir diabaikan, apa yang akan terjadi? Pengembangan ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi misi utama ilmuwan. Mereka lebih suka mengejar karier atau bahkan insentif jangka pendek. Bisa jadi mereka tidak punya pilihan, atau mungkin juga dibingkai dengan alasan perlunya pentahapan. Apapun itu, pembiaran nampaknya bisa menjadikan program insentif terjerumus ke arah yang salah.

Para ilmuwan yang seharusnya berorientasi pengembangan ilmu (science-minded), telah dipaksa keadaan menjadi para pengejar karier (career-minded). Bahkan, di beberapa konteks, lebih parah lagi, mereka telah menjadi pemburu uang perangsang (incentive-minded). Untuk menentramkan: semuanya halal. Tetapi, apakah hasilnya akan sama, jika niatnya adalah membangun bangsa atau bahkan menyusun anak tangga peradaban.

Penulis yakin, pembaca sepakat: hasilnya berbeda. Peradaban tidak pernah dibangun oleh mereka dengan horizon pendek dan tidak pula oleh mereka yang terlalu cinta dengan capaian personal. Pembangun perabadan adalah mereka dengan cakrawala pandang yang jauh dengan kepentingan yang telah melampaui dirinya.

Beberapa ilustrasi

Untuk meyakinkan pembaca bahwa insentif dengan niat mulia dapat menjadi insentif jahat, berikut beberapa ilustrasi. Ilustrasi ini dirangkum oleh Edwards dan Roy (2016).

Ketika ilmuwan diberi insentif karena peningkatan cacah pubikasi, niat mulianya adalah peningkatan produktivitas riset yang akan menjadi indikator kinerja. Ketika direspons dengan salah, dampaknya justru longsoran publikasi rendah kualitas, peningkatan temuan palsu, dan anjlkoknya kualitas penilaian dari pantaran. Saat ini, ribuan jurnal dan konferensi perenggut harga diri ilmuwan, beroperasi. Karenanya, para ilmuwan harus berhati-hati.

Situasi seharusnya merupakan indikasi relevansi dan kualitas publikasi. Riset yang dipublikasi membangun basis bagi riset lanjutan. Wajar jika sitasi diberi apresiasi. Namun apa yang terjadi, jika apreasi sitasi disalahmaknai? Daftar pustaka diperpanjang untuk mendapatkan inflasi sitasi. Pun kartel sitasi menjadi praktik lazim. Merasa akrab dengan fenomena ini? Pembaca tidak sendiri.

Contoh lain. Apresiasi terhadap ilmuwan  yang mendapatkan dana riset diniatkan untuk meyakinkan bahwa program riset mendapatkan pendanaan, mendukung pertumbuhan, dan jika dimungkinkan, menambah pemasukan institusi. Apresiasi ini bisa berbalik arah dan menjadi jahat. Ilmuwan menjadi terjebak dalam penulisan proposal riset dan tidak punya waktu yang cukup untuk melakukan pengumpulan dan analisis data. Sialnya lagi, ilmuwan mencari cara menyajikan hasil positif riset secara berlebihan, dan mengabaikan atau menyembunyikan hasil negatif. Di sini, menjaga integritas akademik menjadi tantangan tersendiri.

Ketiga ilustrasi tersebut, baru sebagian kecil sisi jahat dari insentif untuk ilmuwan. Masih banyak dampak jahat turunan, jika insentif dengan niat mulia, disalahmaknai.

Tangga Sulaiman

Nabi Sulaiman adalah pembangun peradaban. Ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa pemerintahannya. Anak termuda dari Nabi Dawud ini jatuh hati kepada ilmu, ketika diminta oleh Allah memilih antara ilmu, harta, dan karier. Tetapi karena pilihannya tersebut, Nabi Sulaiman mendapat kedua yang lain: menjadi kaya raya dan raja. Inilah tangga Sulaiman. Pilihan anak tangga pertama akan mempengaruhi hasil di ujung perjalanan.

Tangga Sulaiman ini dapat menjadi pilihan arah para ilmuwan di negeri ini. Pengalaman penulis sulit mencari referensi adanya para pencinta ilmu yang hidupnya bermasalah. Siapa bilang? Bisa jadi masalah menurut ukuran para akademik pengejar karier dan pemburu uang perangsang, tetapi tidak bagi mereka.

Bagi mereka pengembangan ilmu pengetahuan adalah misi suci ilmuwan. Insentif riset atau publikasi, meski tidak sebesar ketika zaman Pemerintahan Abbasiyah, merupakan efek samping dari sebuah kerja keras yang tulus, bukan tujuan akhir. Karier dalam bentuk jabatan akademik pun hanya konsekuensi logis, bukan misi utama.

Tentu, tulisan ini sama sekali tidak mengusulkan peniadaan program insentif sebagai bentuk apresiasi. Justru, tulisan ini merupakan ikhtiar untuk mengajak para ilmuwan yang kehilangan orientasi kembali ke jalannya yang hakiki. Untuk kebaikan negeri, dan jika masih susah diimajinasi, perpendek: untuk menjaga harga diri!

Wallahu a’lam bish shawab.

Oleh: Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia

 

sumber : republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

twenty − 10 =