HIKMAH SHALAT JUMAT RICHARD DICKSON CRANE

0
308

maxresdefault

JIC, JAKARTA — Berbagai posisi penting dalam Pemerintahan Amerika Serikat (AS) pernah ditempati Robert Dickson Crane. Ia pernah menjabat sebagai penasihat politik luar negeri untuk presiden ke-37 AS Richard Nixon dari 1963 sampai 1968.

Untuk waktu yang sangat singkat, ia menjabat wakil direktur perencanaan Dewan Keamanan Nasional pada masa pemerintahan Nixon. Kemudian, menjadi duta besar untuk Uni Emirat Arab (UEA) pada masa pemerintahan Presiden Ronald Reagan.

Setelah memeluk Islam, lelaki kelahiran Cambridge, Massachusetts, AS, 26 Maret 1929, ini lebih banyak berkecimpung dalam berbagai kegiatan yang mengampanyekan Islam.

Strategi Perang Psikis

Perjalanan Crane dalam menemukan Islam cukup panjang. Nenek moyang Crane dari garis ibu berasal dari daratan Eropa yang bermigrasi ke wilayah Amerika. Keluarganya datang ke New Haven, Connecticut, pada 1636. Beberapa di antara mereka menetap di Elizabethtown (sekarang Elizabeth), New Jersey. Sementara itu, nenek dari pihak ayahnya berasal dari suku Indian Cherokee.

Meski berasal dari kalangan suku Indian, keluarga besar Crane tetap menomorsatukan urusan pendidikan. Ayah Crane merupakan seorang pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Harvard. Sementara itu, keluarga besar ibunya dikenal publik Amerika sebagai salah satu penyokong finansial Universitas Northwestern. Oleh karena itu, tak mengherankan jika sedari kecil hingga dewasa ia mendapatkan pendidikan yang memadai.

Seusai menamatkan pendidikan menengah atas, Crane sempat berkuliah di Universitas Harvard, tetapi tidak sampai tamat. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan setingkat sarjana muda di Universitas Northwestern. Setelah lulus dari Northwestern, ia diminta untuk membantu menjalankan usaha keluarga. Kemudian, kedua orang tuanya memintanya untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Harvard.

Sejak muda, Crane gemar menulis berbagai artikel. Salah satu artikel yang pernah ditulisnya adalah strategi ruang angkasa Soviet. Ketika pecah Krisis Misil Kuba, ia menulis sebuah artikel panjang tentang strategi perang psikis.

”Saya sudah menduga bahwa Soviet akan memenangi krisis misil itu. Setiap orang berpikir bahwa Amerika Serikat akan menundukkan mereka, tetapi bagi saya jelas bahwa tujuan Krushchev (pemimpin Soviet kala itu–Red) bukanlah mengintimidasi atau menggunakan misilnya untuk melawan Amerika Serikat. Tujuannya adalah mengonsolidasi kekuatan Komunis di Kuba. Caranya adalah memasang misil-misil tersebut. Kemudian, menariknya kembali dengan jaminan komitmen Amerika agar tidak mencampuri urusan Fidel Castro. Itulah yang sebenarnya terjadi,” papar Crane dalam buku American Jihad, Islam After Malcolm X karya Steven Barbosa.

Tertarik Pelajari Agama

Tanpa ia duga, artikel tersebut dibaca oleh mantan orang nomor satu di Amerika, Richard Nixon. Nixon membacanya di atas pesawat dalam penerbangan dari Kalifornia ke New York.

”Ia memanggil saya segera setelah mendarat pada Januari 1963 dan bertanya, apakah saya bersedia menjadi penasihatnya untuk urusan politik luar negeri.”

Sebagai penasihat presiden, tentunya ia harus menguasai berbagai aspek persoalan terkait dengan politik luar negeri. Tugas utamanya saat itu adalah mengumpulkan artikel-artikel terbaik pada setiap pokok persoalan dan menggabungkan semua artikel tersebut menjadi buku ringkasan untuk dibaca oleh Nixon yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden.

Nixon memang dikenal gemar membaca. Berbagai macam artikel dibacanya, salah satunya adalah agama. Ia tertarik untuk membaca bermacam-macam agama dan ia ingin mengetahui Islam.

”Saat itu, saya telah membaca sedikit tentang Islam sebab saya pikir Islam akan menjadi sekutu Amerika Serikat yang paling kuat dan tahan lama untuk melawan komunisme. Sebab, kami berdua–saya dan Nixon–memandang komunisme sebagai ancaman dunia,” ungkap Crane.

Saat Nixon hendak mencalonkan diri sebagai presiden AS, Crane termasuk salah satu orang terdekat Nixon yang tidak memberikan dukungan. Terlebih lagi, pemikirannya yang kerap berseberangan dengan ketua tim sukses Henry Kissinger membuatnya disingkirkan selama masa kampanye 1968.

Setelah terpilih menjadi presiden ke-37 AS, Nixon menunjuk Crane menjadi wakil direktur perencanaan untuk Dewan Keamanan Nasional. Sementara itu, posisi direktur dipegang oleh Kissinger. Namun, hubungannya yang kurang harmonis dengan Kissinger membuat Crane tersingkir dari Dewan Keamanan Nasional.

Muak dengan Islam

Crane mengakui, pada awalnya ia tidak pernah memikirkan Islam secara serius. Yang diketahuinya tentang Islam hanyalah bahwa orang Muslim yang baik harus membunuh orang Kristen dan surga orang Muslim seperti rumah pelacuran.

”Saya sangat muak dan tidak pernah berhasrat mempelajari agama ini. Agama ini sangat primitif. Dan, saya menasihati Nixon untuk menggunakan Islam sebagai sekutu untuk melawan komunis. Saya pikir, Islam adalah agama yang menjijikkan, tetapi paling tidak, dapat digunakan untuk melawan komunisme.”

Namun, sebuah perjamuan makan di Bahrain mengubah pandangannya tentang Islam. Saat itu musim panas tahun 1977, Crane beserta istrinya sedang berada di Bahrain. Di tengah suhu yang tidak bersahabat, jauh di atas 100 derajat, sang istri memintanya menemani melihat-lihat istana di Al-Muharraq yang merupakan kota dagang tertua di dunia. Kota ini hanya terdiri atas lorong-lorong sempit, seperti sebuah jaringan jalan yang semrawut.

Kondisi jalan yang semrawut ini membuat Crane dan istrinya tersesat di tengah keramaian. Dalam kondisi bingung, tiba-tiba ada orang tua lewat di depannya dan mengajak Crane ke rumahnya yang berada tidak jauh dari lokasinya saat itu. Crane beserta istri kemudian menghabiskan sisa hari mereka di sana. Sang tuan rumah menjamu mereka dengan berbagai macam makanan.

”Kami berbicara tentang berbagai hal dan dia mengatakan bahwa dia seorang Muslim. Saya sungguh terpesona karena dia benar-benar orang baik. Kami tidak pernah membicarakan Islam. Kami berbincang tentang apa-apa yang baik di dunia, tentang hal-hal yang buruk di dunia, dan tentang apa yang penting di dunia. Juga tentang peran Tuhan di dunia, tetapi tidak mengenai agama Islam,” paparnya.

Bersyahadat

Momen tersebut benar-benar membekas dalam dirinya. Setelah perjamuan tersebut, Crane mulai berpikir apakah sebaiknya ia mulai mempelajari agama Islam. Ia pun mempelajari Islam dan menyadari bahwa segala sesuatu dalam Islam adalah benar-benar apa yang selama ini selalu diyakininya.

Pada tahun 1980, ia berkesempatan mengikuti sebuah konferensi tentang gerakan Islam di New Hampshire. Seluruh pemikir besar dari gerakan Islam dunia hadir di sana. Ketika waktu makan siang tiba, Crane lebih memilih bergabung bersama para tamu asing. Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah keinginan untuk belajar sebanyak mungkin dari mereka.

Tanpa banyak bertanya, Crane kemudian mengikuti langkah para delegasi asing ini ke sebuah ruangan yang lantainya ditutupi permadani. Semula, ia mengira mereka akan makan siang. Namun, dia baru menyadari kalau hari itu adalah hari Jumat.

”Mereka akan melakukan shalat Jumat. Saya memutuskan sebaiknya saya meninggalkan mereka. Namun, saya pikir itu akan menyinggung perasaan mereka. Lalu, saya hanya duduk di bagian belakang ruangan,” ujarnya mengenang peristiwa tersebut.

Yang bertindak selaku imam shalat saat itu adalah Hasan al-Turabi, seorang tokoh terkemuka gerakan Islam internasional asal Sudan. Menyaksikan Al-Turabi bersujud, Crane pun terenyak sesaat. ”Saya menyadari bahwa dia membungkuk kepada Allah. Jika dia dapat bersujud kepada Allah, itu artinya dia sepuluh kali lebih baik dari saya. Saya memutuskan bahwa saya juga harus bersujud,” batinnya.

Ia merasa mendapatkan teladan dari situ. Saat itu juga, Crane bersujud dan memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.

Sumber: Pusat Data Republika

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

two × four =