HILAL ITU CAHAYA

0
487

“Hilal bukanlah benda bulan. Hilal adalah cahaya bulan yang berasal dari cahaya matahari yang mengenai benda bulan dan terlihat oleh mata,” ujar KH. Wahfiudin Sakam, muballigh nasional yang menguasai persoalan falakiyah dalam suatu kesempatan ceramah di Jakarta Islamic Centre (JIC). Pernyataan ulama Betawi yang juga kepala Bidang Pengkajian dan Pendidikan JIC ini sering ia kemukakan di berbagai kesempatan ceramah sebagai upayanya untuk mendudukkan persoalan yang sering diperkarakan oleh ormas-ormas Islam dalam menentukan satu Ramadhan, satu Syawal dan satu Dzulhijjah dan berujung pada perbedaan yang membingungkan umat.

“Hilal bukanlah benda bulan. Hilal adalah cahaya bulan yang berasal dari cahaya matahari yang mengenai benda bulan dan terlihat oleh mata,” ujar KH. Wahfiudin Sakam, muballigh nasional yang menguasai persoalan falakiyah dalam suatu kesempatan ceramah di Jakarta Islamic Centre (JIC). Pernyataan ulama Betawi yang juga kepala Bidang Pengkajian dan Pendidikan JIC ini sering ia kemukakan di berbagai kesempatan ceramah sebagai upayanya untuk mendudukkan persoalan yang sering diperkarakan oleh ormas-ormas Islam dalam menentukan satu Ramadhan, satu Syawal dan satu Dzulhijjah dan berujung pada perbedaan yang membingungkan umat.

Dengan pendapat ini, ia menentang konsep wujudul hilal. Baginya, wujudul hilal memiliki kesalahan konsepsi karena bulan yang dijadikan obyek untuk penentuan bukanlah hilal (cahaya bulan), tetapi qomar (benda bulan) sehingga nama yang seharusnya diberikan untuk konsep ini bukanlah wujudul hilal, tetapi wujudul qomar; dan ini tentu menyalahi syari`at karena yang seharusnya dijadikan penentuan adalah hilal, bukan qomar.

Dalam menentang konsep wujudul hilal, KH. Wahfiudin Sakam tidak sendirian. Pendapatnya didukung oleh Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, pakar astronomi dari LAPAN yang menyatakan bahwa wujudul hilal itu berlandaskan konsep geosentrik yang usang dan merupakan tafsir syari’ yang keliru atas QS Yaasin ayat 40. Hal ini juga dikuatkan dengan dalil-dalil syar`i yang dikemukakan oleh Ketua Lajnah Falakiyah NU, A. Ghazalie Masroeri, dalam sebuah tulisannya yang berjudul Definisi Hilal Menurut Syar`i.

Menurut A. Ghazalie Masroeri bahwa hilal dalam bahasa Arab artinya bulan sabit, suatu nama bagi cahaya bulan yang nampak seperti sabit yang tampak pada awal bulan dan dapat dilihat. Pengertian ini memiliki dasar di dalam Al-Quran surat al-Baqarah ayat 189 yang mengemukakan pertanyaan para sahabat kepada nabi tentang ahillah (jamak dari hilal), “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit; katakanlah : bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji…”

Ayat ini menunjukkan bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi ibadah dan aktivitas manusia termasuk haji. Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya para sahabat telah melihat penampakkan hilal atau dengan kata lain hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat. Para mufassir, seperti Al-Maraghi, As-Shabuni dan Sayyid Quthub telah mendefinisikan, bahwa hilal itu pasti tampak terlihat.

Selain dalil dari Al-Qur`an dan tafsirnya, menurut A. Ghazalie Masroeri dalil tentang hilal yang terlihat juga diperkuat oleh dalil As-Sunnah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Rib’i bin Hirasy dari salah seorang sahabat Rasulullah yang mengatakan adanya perbedaan di kalangan para sahabat mengenai akhir ramadhan kemudian dua orang A’rabi datang menghadap Rasulullah seraya mengatakan,“Demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin sore”.Atas laporan itu maka Rasulullah memerintahkan berbuka dan shalat ‘Ied hari esoknya (karena ketika itu sudah memasuki waktu zhuhur). Hadits ini menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Demikian pula dalam hadits-hadits yang lain seperti haditsnya Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunaimah tersebut diatas.

Dari dalil-dalil diatas, A. Ghazalie Masroeri menyimpulkan bahwa hilal menurut syar’i adalah bulan sabit yang cahayanya lembut laksana benang yang tampak dan terlihat dengan mata di awal bulan sesaat setelah matahari terbenam, menjadi petunjuk datangnya bulan baru atau pergantian bulan. Ringkasnya, hilal itu cahaya; cahaya yang lembut laksana benang yang tampak dan terlihat dengan mata di awal bulan sesaat setelah matahari terbenam.

Walhasil, jika hilal itu cahaya, maka cahaya itu harus dilihat, tidak bisa dihitung saja walau menggunakan software perhitungan paling canggih dan paling persisi sekalipun. Dengan kata lain, hasil hisab harus mendapat pembenaran dari hasil rukyat. Jika hal ini disepekati maka persamaan pendapat antara ormas-ormas Islam yang selama ini berbeda akan mudah tercapai. Namun, semuanya dikembalikan kepada ormas Islam yang menggunakan konsep wujudul hilal, apakah mau menggunakan rukyatul hilal sebagai pengesah dari hasil hisab yang telah dilakukan atau tidak?

Akhirulkalam, dari pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, Jakarta Islamic Centre (JIC) sebagai pusat pengkajian dan pengembangan Islam akan terus mensosialisasikan kepada umat agar tidak lagi mengikuti pendapat yang menetapan awal satu Ramadhan, satu Syawal dan satu Dzulhijjah berdasarkan konsep wujudul hilal atau semata-mata hanya menggunakan hisab. Sikap ini juga berdasarkan kiprah JIC yang sejak tahun 2007 telah aktif melakukan pengkajian dan sosialisasi falakiyah bekerjasama dengan beberapa lembaga falakiyah, yaitu Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) Pusat, Badan Hisab Rukyat (BHR) Kanwil Kemenag Provinsi DKI Jakarta, Nuris Astro, dan lain-lain. Selain itu, pada tahun 2010, JIC juga telah menerbitkan buku Pedoman Falakyiah di Jakarta. Tentu sosialisasi yang efektif adalah melalui para muballigh dan pengurus masjid yang berhadapan langsung dengan umat. Untuk itu, JIC akan mengadakan Diklat Falakiyah untuk Para Muballigh dan Pengurus Masjid dari hari Jum`at s/d Sabtu, 13 s/d 14 Juli 2012 di Ruang Audio Visual JIC, Jl. Kramat Jaya, Koja, Jakarta Utara. Diklat ini diselenggarakan oleh JIC bekerjasama dengan RHI Pusat, Nuris Astro, RHI DKI Jakarta, Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi DKI Jakarta dan TQN Suryalaya Korwil DKI Jakarta. Bagi yang berminat mengikuti diklat tersebut dapat mendaftarkan diri ke JIC setiap hari dan jam kerja ke nomor telepon (021) 4413069, (021) 44835349 via Lala, Dewi, Lia atau ke nomor 081314165949 via Kiki, 08129679534 via Handri atau 082124348581 via Lia. ***

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Koordinator Pengkajian JIC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

2 + 8 =