HUDA HASLER: ISLAM JALAN MENUJU KETENANGAN

0
201

Hatinya penuh gelisah sehingga mendorongnya menemukan jalan hidup yang berbeda.

JIC, JAKARTA — Persepsi negatif tentang Islam yang selama ini terbangun di Barat ternyata jauh dari kebenaran. Pergaulan telah membawa Has ler menuju jurang kemak siatan. Minuman keras menjadi hidangan wajib di setiap perjumpaan akhir pekan. Wanita berdarah Jerman ini kerap menghabiskan akhir pekan bersama teman-temannya sambil bermabukmabukan. Namun, nurani tak pernah berbohong.

Sekian lama menghabiskan akhir pekan penuh dosa, hati nuraninya dipenuhi kegelisah an. Muncullah pertanyaan-perta nyaan, apakah harus selalu bermabuk-mabukan? Sampai kapan harus menenggak alkohol? Adakah cara lain menghabiskan akhir pekan yang lebih konstruktif? Semua pertanyaan itu membuatnya gelisah.

Hasler kemudian mencoba menemukan jalan hidup yang berbeda. Dia ingin menghilangkan kegelisahan itu, tetapi bagaimana caranya? Kebingungan membuatnya menutup diri.

Hasler berusaha keras untuk menemukan arti kehidupan. Namun, selama bertahun-tahun masa pencarian dia belum menemukan apa makna hidup. Adakah kekuatan lain yang dapat menenangkan batin? Ajaran apakah yang dapat mengarahkannya kepada ketenangan? Seperti apa ajaran itu?

Pekerjaan di Dubai Hasler menyibukkan diri dengan bekerja di luar negeri. Dia berpetualang mencari pengalaman yang membuat dirinya makin matang. Saat berusia 30 tahun dia mulai memikirkan untuk menetap di satu tempat.

“Saya kemudian pulang ke rumah dan men cari pekerjaan, tetapi saya tak juga menemukan pekerjaan yang cocok,” kata dia. Dia menyerah untuk mencari pekerjaan. Hasler memutuskan pergi berlibur ke Dubai. Setelah dua pekan di negeri yang didirikan Syekh Zayed, dia mendapat tawaran pekerjaan. Bukan disambut dengan kebahagiaan, tawaran itu justru direspons dengan kegelisahan dan ketakutan.

Ketika itu masyarakat Barat dibutakan oleh Islamofobia yang merebak cepat, terutama setelah serangan 11 September yang menghancurkan gedung World Trade Center (WTC), Amerika Serikat. Islam, termasuk di dalamnya negeri-negeri yang penduduknya mayoritas memeluk Islam, selalu diidentikkan dengan radikalisme, ekstremisme, bahkan terorisme.

Orang tua Hasler di Berlin mengkhawatirkan putrinya jika terus menjalani kehidupan di Timur Tengah. Mereka selalu memberikan saran untuk kembali ke tanah kelahiran. Bagi mereka, Hasler lebih baik bekerja dan membangun pergaulan di negeri sendiri.

Namun, Hasler memiliki pemikiran berbeda. Dia memandang Islam tidak dengan sinis. Islam bukanlah hal yang baru baginya. Sebab, dia tumbuh dalam keluarga yang salah satu anggotanya adalah Muslim. Kakak laki-lakinya memeluk Islam setelah bertemu dan menikah dengan wanita Muslim asal Turki.

Kehidupan saudaranya yang Muslim menginspirasinya untuk lebih jauh me ngenal Islam. Hasler mencari tahu bagaimana perkembangan Islam, seperti apa ajarannya, apa yang membedakannya dengan agama lain. Yang paling utama adalah bagaimana bisa Islam berkembang pesat dan menjadi peradaban dunia.

Hasler pun pergi ke pusat Islam untuk mempelajari Islam yang sebenarnya, bukan hanya percaya kepada per sepsi. “Saya pergi ke pusat Islam dan menghadiri sesi ceramah. Saya juga membaca beberapa buku,” tutur dia.

Namun, selama berada di sana, tidak ada yang dapat meyakinkannya untuk memeluk Islam seperti saudaranya. Dia pun datang ke sebuah negara Islam. Dia bertemu dengan Muslim dengan cara yang berbeda. Mereka benar-benar sangat baik, bahkan memperlakukan setiap orang dengan hormat.

Persepsi negatif tentang Islam yang selama ini terbangun di Barat ternyata jauh dari kebenaran. Ketika me reka menggambarkan Islam sebagai radikalisme dan ekstremisme, Has ler justru menemukan Islam sebagai agama yang menyiarkan kedamaian.

 

 

sumber : republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

two × 3 =