JIC – Ketua Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA (Uhamka) Tono Saksono berharap Indonesia nantinya dapat mengadopsi kalender Islam global yang dalam waktu dekat akan dibahas dalam diskusi internasional di Istanbul, Turki. Menurut Tono, kalender Islam global diperlukan demi persatuan umat Islam, khususnya dalam beribadah.
“Kami memperjuangkan agar kalender Islam global dapat diterima,” kata anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini dalam konferensi pers Seminar Nasional bertemakan “Kalender Hijriyah Global: Sebuah Kenisyacaan!” pada Kamis (26/5), di Jakarta.
Tono mengungkapkan, Muhammdiyah sebelumnya sudah pernah terlibat dalam diskusi internasional terkait kalender Islam global sejak beberapa tahun yang lalu. Memperjuangkan kalender Islam global, menurut Tono, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab Muhammadiyah. Dia menjelaskan, kalender Islam global sudah direkomendasikan dalam muktamar Muhammadiyah di Makassar tahun lalu.
Beberapa waktu ke depan, menurut Tono, kalender Islam global akan dikaji oleh para pakar dari berbagai negara di seluruh dunia di Istanbul, Turki, untuk kemudian memutuskan kriteria apa yang akan digunakan dalam menetapkan kalender Islam global. Jika telah ditetapkan, akan dilakukan kajian-kajian lebih mendalam dengan melibatkan majelis tarjih di setiap pimpinan daerah Muhammadiyah dan mencari perbandingannya dengan kalender Islam lokal.
“Tapi kajian-kajian itu akan bersifat independen kemudian akan dilaporkan ke Majelis Tarjih Muhammadiyah,” kata Tono.
Diakuinya, kajian-kajian ini akan memakan waktu yang cukup lama. Kalender Islam global ini harus dikomunikasikan terlebih dahulu dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, para stakeholder dan masyarakat luas. “Kami akan segera memulai menyosialisasikan kalender Islam global,” tegasnya.
Selama ini, penentuan sejumlah ibadah dalam kalender Islam di Indonesia sering diwarnai perbedaan. Contohnya, ketika menentukan awal Ramadhan, Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam), dan Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan pedoman kriteria yang berbeda-beda sehingga berbeda pula waktu memulai ibadah puasa.
Dalam menyusun kalender Islam, maka berpedoman pada hisab wujudul hilal dengan kriteria ijtima terjadi sebelum matahari terbenam dan saat matahari terbenam bulan masih di atas ufuk. Ramadhan tahun ini, Muhammadiyah menetapkan titik acuan di Yogyakarta dengan berpatokan pada ijtima geosentris.
Ijtima atau konjungsi terjadi pada Ahad 5 Juni pukul 10.51 WIB dan matahari terbenam pada 17.28 WIB, sementara bulan terbenam pada 17.48 WIB. Dari data ini, Muhammadiyah menetapkan pada Ahad (5/6), tepatnya saat maghrib sudah memasuki Ramadhan.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ma’rifat Iman mengatakan kalender Islam global belum bisa ditetapkan di Indonesia dalam waktu cepat. Menurut Ma’rifat, untuk berpedoman pada kalender Islam global sebelumnya harus ada kesatuan waktu secara internasional. “Setelah itu, masih harus dilakukan tahap sosialisasi,” kata Ma’rifat dalam konferensi pers Seminar Nasional bertemakan ‘Kalender Hijriyah Global: Sebuah Kenisyacaan!’ pada Kamis (26/5) di Jakarta.
Kendati memakan waktu yang cukup lama, Ma’rifat mengatakan, menetapkan kalender Islam global sudah sangat mendesak. Perbedaan kalender Islam lokal, menurut Ma’rifat, akan terus mempersulit umat Islam dalam beribadah.
Ia mencontohkan dalam pelaksanaan ibadah haji. “Yang menjadi pokok utama dalam ibadah haji itu adalah Wukuf Arafah pada tanggal 9 Zulhijah. Kalau sampai di Makkah waktu pelaksanaan Wukuf Arafah berbeda dengan yang kita lakukan di Indonesia yang juga dianjurkan untuk berpuasa, ini yang jadi permasalahan,” kata Ma’rifat.
Untuk itu, Ma’rifat menekankan, penetapan kalender Islam global harus terus diupayakan.