ISLAM DAN DEMOKRASI DI MATA PROFESOR JEPANG (1)

0
246

Umat Islam (ilustrasi).                                                                            Foto: Antara/Adiwinata Solihin

Islam tidak selalu bertentangan dengan demokrasi.

JIC, TOKYO — Profesor Universitas Chiba di Jepang, Keiko Sakai menulis sebuah artikel yang mengulas soal Islam dan demokrasi. Pakar sejarah politik Irak dan politik Timur Tengah Modern ini menyampaikan Islam tidak selalu bertentangan dengan demokrasi.

“Timur Tengah telah lama dianggap sebagai wilayah berbahaya. Namun, baru sejak awal abad ke-21 serangan teroris melonjak secara global, terutama dari sekitar 2004, dan banyak terjadi di Timur Tengah dan Asia Selatan. Sebelum itu, Timur Tengah tidak memiliki banyak konflik atau serangan teroris,” kata dia dikutip dari laman Nikkei, Rabu (8/9).

Menurut Keiko, serangan teror 11 September 2001 di AS benar-benar berbeda dari masalah Timur Tengah yang diketahui sebelumnya, terutama antara Israel dan Palestina. Bagi kelompok bersenjata yang berasal dari Timur Tengah, AS adalah musuh semata-mata karena merupakan pendukung utama Israel. Mereka menyerang fasilitas AS di negara mereka tetapi tidak memiliki gagasan untuk menyerang daratan AS.

Gagasan menyerang langsung daratan AS berakar pada Perang Teluk. Orang-orang yang menentang kehadiran pasukan AS di Arab Saudi mengadakan protes di negara mereka dan menghadapi hukuman berat, termasuk pengusiran. Kejadian seperti itu menimbulkan pemikiran di benak mereka bahwa mereka terasing karena Amerika, negara adidaya, mendominasi dunia.

Osama bin Laden, yang memprakarsai serangan 9/11, dan kelompok al-Qaida-nya percaya bahwa komunitas Islam adalah korban penganiayaan oleh Eropa dan AS dan memutuskan mereka harus menyelamatkan para korban. Dengan demikian jaringan militan dalam skala global terbentuk di luar negara asal mereka. Kelompok Negara Islam (ISIS), sebuah kelompok radikal yang bercita-cita menjadi rumah bagi umat Islam yang terasing untuk bersandar, dapat dianggap sebagai perpanjangan dari jaringan ini.

 

ISIS mendekati Muslim yang telah belajar di atau pindah ke negara-negara Eropa dan AS untuk bergabung dengannya. Mayoritas orang-orang seperti itu telah mengkompromikan iman mereka dan berusaha untuk berbaur dengan komunitas lokal mereka, tetapi banyak yang menjadi terasing oleh diskriminasi dan prasangka yang mengakar. Orang-orang seperti itu terpikat ke IS.

Di sisi lain, setelah 9/11 AS menegaskan bahwa demokratisasi di Timur Tengah sangat penting untuk mewujudkan perdamaian. Pemerintah AS yang dipimpin oleh Presiden George W. Bush saat itu mengirim dan menempatkan pasukan di Irak dan Afghanistan, menuduh bahwa para pendukung terorisme hadir di negara-negara ini, dan mencoba mengubah politik dan institusi sosial mereka.

Namun, sangat tidak biasa bagi kebijakan luar negeri AS untuk menunjukkan ambisi terkait demokrasi setelah dipimpin Presiden Joe Biden. “Kami tidak pergi ke Afghanistan untuk membangun bangsa. Dan itu adalah hak dan tanggung jawab rakyat Afghanistan sendiri untuk memutuskan masa depan mereka dan bagaimana mereka ingin menjalankan negara mereka,” kata Presiden AS Joe Biden pada 8 Juli saat membahas alasan penarikan pasukan AS dari Afghanistan.

“Yang penting bagi AS adalah menghilangkan ancaman terorisme dengan membantu menstabilkan kawasan Timur Tengah, bukan membangun negara yang demokratis. Tentu saja, komunitas internasional tidak hanya berdiri di pinggir ketika Afghanistan membutuhkan bantuan untuk mencapai stabilitas,” papar Keiko.

Sumber : Republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

four × one =