JIC, JAKARTA —
Apakah adanya perilaku politisi partai Islam yang kerap tidak sesuai dengan ajaran agamanya bisa dijadikan alasan untuk menghapus Islam politik?
Kalau soal itu tidak hanya terjadi di Islam, tapi di semua agama dan ideologi. Untuk melihat ini, maka hendaknya dilihat pada kecenderungannya. Apakah trennya ke depan menuju perbaikan atau tidak. Dalam hal ini, saya melihat trennya menuju perbaikan.
Islam politik di masa sekarang jauh lebih baik, misalnya, bila dibandingkan dengan zaman Orde Baru. Saat itu kan timbul gerakan-gerakan bawah tanah yang kemudian sisa-sisanya muncul pada reformasi. Namun, dalam hal ini, harus diakui pula ketika Islam politik dirangkul dan masuk ke dalam pemerintahan, memang ada pihak yang tidak suka. Dan, ini soal biasa saja dalam rivalitas politik.
Dahulu ketika para bapak-bangsa ini berdebat soal konstitusi di BPUPKI, yang ada di sana hanyalah kelompok Islam dan nasionalis. Apa dengan demikian bila salah satu pihak dihilangkan–dalam hal ini Islam Politik–maka jelas itu pengingkaran sejarah?
Iya, memang begitu. Dahulu di BPUPKI itu kan hanya diikuti dua golongan, Nasionalis dan Islam. Saat itu, kekuatan komunisme sudah bangkrut ditindas oleh pemerintah kolonial Belanda. Demikian juga golongan sosialis, pada saat itu golongan ini belum lahir. Golongan sosialis baru lahir setelah kemerdekaan. Jadi, kedua golongan terakhir itu tak ada dalam BPUPKI.
Nah, karena tak ada dalam BPUPKI, maka dimengerti bila keduanya–sosialis dan komunis–menentang Pancasila dan menentang UUD 1945. Jadi, kalau ada pihak yang kini terus-menerus berusaha keras menghapus Islam politik, maka mereka ini adalah kelompok orang yang tak mau melihat kenyataan.
Dahulu, misalnya, ada pandangan bahwa kekuatan Islam politik itu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini dianggap memperjuangkan syariat Islam dan negara Islam. Nah, belakangan, yakni pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, malah mereka masuk dalam kabinet atau pemerintahan. Dan faktanya membuktikan ketika PKS ada dalam pemerintahan mereka tak pernah memperjuangkan syariat Islam dalam artian mendirikan negara Islam. Tudingan itu ternyata tak ada dan tak terbukti!
Malahan, saya melihat kini kekuatan Islam politik terus melakukan proses demokratisasi dan bahkan terjadi proses deradikalisasi. Sekarang PKS sama sekali tak ada tanda-tanda radikal. Partai itu hanyalah militan. Dan, antara radikal dan militan itu artinya berbeda sama sekali serta ini sering disalahpahami.
Apa bedanya radikal dan militan itu?
Ya beda. Kalau radikal itu menginginkan perubahan secara mendadak, sedangkan militan itu tak begitu. Militan adalah konsisten berjuang secara terus-menerus dengan disertai kerja keras serta penuh kesabaran. Nah, maka itu kedua kata ini hendaknya jangan salah dipahami karena beda arti dan pemahamannya.
Menurut Anda, pihak mana sih yang terus-menerus memupuk kebencian terhadap Islam politik?
Menurut saya, dibandingkan dulu kecurigaan terhadap Islam politik sudah jauh berkurang. Malah, saya melihat Islam poitik di Indonesia sudah maju dengan pesat. Ini ditandai ketika Islam politik di sini sudah menyerap dan makin dekat dengan kebangsaan.
Mereka juga sudah dekat dengan sosialisme dan modernisme. Sehingga, Islam politik kini punya kombinasi dari ketiga hal ini, yakni makin modernis, nasionalis, dan religius. Ini jelas sebuah kombinasi yang bagus. Jadi, ke depan harus diperkuat, bukan malah dihilangkan. Kalau sampai menghilangkan, itu jelas tindakan bodoh. Kalau ini dilakukan, maka bangsa ini akan memperoleh hal yang sebaliknya.
Apa risiko terbesar bila Islam politik dihilangkan selain meruaknya radikalisme?
Nanti tak ada lagi yang mendukung republik ini. Tak ada lagi yang mendukung Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Jadi, berbahaya sekali. Pendukung Pancasila dan UUD 1945 justru yang terkuat adalah umat Islam. Risiko terberat lainnya bila Islam politik dihilangkan adalah negara ini runtuh dan berkeping-keping.
Kalau begitu, saran Anda kepada pihak pemerintah dalam soal ini seperti apa?
Mereka itu harus waspada. Ini mengingat bisa terjebak dalam dua kemungkinan. Pertama, terjebak oleh politik Barat dan negara Eropa yang sampai sekarang tetap belum mau ramah kepada Islam.
Kedua, terjebak oleh komunisme. Kelompok ini selama ini terus gagal ketika berhadapan dengan umat Islam. Dan, di sini membuktikan bahwa bangsa Indonesia itu religius sehingga tak bisa ditembus oleh komunisme.
Dengan demikian, menurut Anda, apakah ajaran Islam juga berarti tak bisa secara total dipisahkan dari negara (sekuralisme) seperti yang terjadi pada agama di Barat itu?
Memang tidak bisa. Memang di Amerika Serikat tak ada partai politik Islam. Tapi, di sana gerakan Islam itu muncul. Juga di bidang ekonomi, umat Islam di sana juga berkembang dengan produk halal dan perbankan Islam. Nah, di sana justru mengalami kebangkitan. Jadi, Islam tak bisa hanya mengurus soal pribadi.
Ingat, Islam itu bukan agama pribadi. Islam itu agama publik. Ini jelas suatu hal yang maju. Dulu Islam kan dianggap kolot hanya urus soal ibadah saja. Lalu datang Sarikat Islam dan Masyumi yang tegas mengatakan Islam bukan hanya urusan ibadah (pribadi), tapi juga mengurus soal politik, ekonomi, ingin kemerdekaan, dan lainnya. Nah, sekarang ini kok setelah muncul malah dicegah. Ini kan pikiran yang sama sekali keliru.
Dalam banyak hal, Islam politik di Indonesia sudah mendekati ideal. Keadaan ini berbeda dengan di berbagai negara Arab yang dikuasi rezim sosialisme Arab yang sekuler dan sangat menindas. Akhirnya, di Arab itu sekarang timbul radikalisme.
Dulu dalam Pemilu Legislatif 2014, Anda menyerukan pilihlah partai Islam agar Islam politik tak hilang. Nah, seruan Anda bergaung luas dan hasilnya partai Islam mampu meraih suara signifikan. Melihat itu apa komentar Anda sekarang?
Sayangnya, mereka tidak bersatu. Masing-masing partai itu memang memperoleh suara sehingga digabung mencapai 32 persen atau yang tertinggi di antara partai yang lain (perolehan partai berbasis Islam Pemilu 2014,red). Jadi, sekarang itu tampaknya ada soal kepemimpinan, di dalam partai Islam di mana satu partai Islam tak mau mengikuti kepemimpinan partai Islam yang lain. Akibatnya, yang bisa diterima itu malah ‘orang lain’.
Nah, dalam soal ini, saya kini punya ide agar Koalisi Merah Putih (koalisi hasil dalam pemilu 2014) dipermanenkan menjadi Federasi Partai Politik Merah Putih. Ini karena kalau membentuk partai yang satu tampaknya sulit. Jadi, modelnya bisa mengacu ke UMNO di Malaysia.
Dan, jangan lupa di sini tugas partai Islam harus dijalankan dengan sungguh-sungguh. Tugas mulia ini adalah melindungi, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan, melaksanakan ketertiban dunia, dan mewujudkan keadilan sosial bagi bangsa Indonesia.
Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika