JURUS KEPEPET (PART I)

0
288

Oleh : Dewi Setiowati

JIC – Kisah ini berawal dua puluhan tahun lalu. Aku seakan kembali ke masa lalu ketika mengingatnya. Dan aku bahagia, aku masih mengingat semuanya dengan baik.

Nek kowe pengen neruske sekolah, kuliah, kowe kudu isa ditrima kuliah ning negri, Nduk,” begitu pesan Ibu ketika aku baru saja masuk SMA. Setelah itu, aku pusing memikirkannya.

Diterima kuliah di perguruan tinggi negeri? Itu berarti, aku harus bisa diterima di UGM, salah satu universitas favorit di negeri ini. Itu juga berarti, aku harus bisa memenangkan kompetisi dengan minimal ratusan bahkan ribuan lulusan SMA dari seluruh pelosok negeri. Membayangkannya saja, aku sudah jeri.

Aku, siswi SMA negeri bukan favorit, berasal dari keluarga sederhana, dengan kapasitas otak tidak seberapa, bisakah bersaing, menang dan menjadi mahasiswi UGM? Tapi … aku ndak punya pilihan. Aku ingin bisa kuliah. Dan ndak pernah terlintas dibenakku, apa yang bisa kulakukan dengan ijazah SMAku? Kerja apa aku dengan itu?

“Masuk IKIP saja, Ya’,” usul Bunga teman sebangku yang ingin menjadi guru. Aku tersenyum kecut. “Aku ingin kehidupan yang lebih baik, Bunga. Menjadi guru, mesti siap hidup prihatin,” jawabku. Saat aku SMA (tahun 1990-1993), kehidupan guru belum sebaik sekarang. Saat itu gaji guru masih terbatas, belum ada sertifikasi dan dobel gaji seperti sekarang ini. Maafkan Dahlia nggih2 bapak ibu guru, teman-teman guru, mahasiswa keguruan, dan siapa saja yang bercita-cita atau terpanggil jiwanya untuk menjadi guru. Sungguh, saya ndak bermaksud meremehkan profesi guru. Saya hanya terkena imbas persepsi memprihatinkannya kehidupan para guru yang berjuluk pahlawan tanpa tanda jasa waktu itu he … he. Well, itu pengakuan jujur seorang Dahlia.

Selain itu… “Kamu juga tahu ‘kan, Bunga, aku paling ndak bisa bicara lancar dan panjang lebar. Aku lebih bisa menuangkan semua pemikiran dan inginku dalam bentuk tulisan. Aku malas bicara,” sambungku waktu itu, di saat aku berbagi cerita dengan Bunga. Bunga tersenyum kecil sambil mengangguk-angguk paham.

Beberapa hari setelahnya …

“Jadi Anak-anak, di kelas dua nanti, kalian harus memilih jurusan sesuai dengan minat dan bakat kalian. Ada jurusan A1 dan A2 bagi mereka yang suka ilmu eksakta seperti Fisika, dan Biologi. Ada jurusan A3 untuk mereka yang menyukai ilmu-ilmu sosial seperti geografi, sejarah, dan akuntasi. Ada jurusan A4 bagi mereka yang suka mempelajari bahasa dan budaya. Tolong, pilih baik-baik jurusan kalian di SMA ini, karena itu penting untuk kuliah kalian nanti.” Aku masih ingat, aku menatap Pak Budiman, guru BK (Bimbingan Konseling) kami tanpa berkedip waktu itu. Jurusan bahasa? Aku berpandangan dengan Bunga. Bunga balas memandangku sambil tersenyum cerah. Ia tahu minatku dengan cerita, dan dunia kata, juga nilaiku yang bagus untuk pelajaran Bahasa Indonesia.

“Sastra Indonesia UGM memang bukan jurusan favorit tetapi … ,” Pak Budiman tidak meneruskan kalimatnya. Tiga hari setelah penjelasan Pak Budiman di depan kelas, diantar Bunga, aku menghadap Pak Budiman, konsultasi.

“Tetapi mengapa, Pak? Dahlia selalu mendapat nilai bagus untuk tugas dan ulangan Bahasa

Indonesianya,” lapor Bunga.

“Iya, Pak. Kami juga masih kelas satu awal, jadi masih ada waktu untuk menyiapkan diri, ‘kan, Pak?” harapku. (Bersambung…..)

Sumber: Muslimah Inspiring Stories

Pusat Data JIC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

6 − five =