KALA RAMADHAN MENGAPA PENGELUARAN JUSTRU MEMBENGKAK?

0
305

20140703_011233_takjil

JIC – Sudah bukan rahasia lagi, saat Ramadhan pengeluaran kita justru lebih banyak. Bukan saja karena harga bahan pokok yang melonjak, namun tingkat konsumsi kita di bulan itu juga biasanya meningkat. Alih-alih berusaha menyediakan segala sesuatu yang berlebihan, kenapa kita tidak merasa cukup dengan Ramadhan yang sederhana saja?

Seharian berpuasa menahan lapar, jelang berbuka kita justru disuguhi pemandangan aneka jajanan di sepanjang jalan. Rasanya ingin beli semua untuk hapus dahaga dan lapar. Saat azan berkumandang, meja makan telah penuh dengan berbagai makanan yang terus kita jejali ke dalam perut. Alhasil, saat tarawih rasa kantuk menyerang, boro-boro bisa melanjutkan qiyamullail di sepertiga malam.

Kian dekat Syawal, pengeluaran pun semakin membengkak. Kita sibuk mempersiapkan aneka kue Lebaran, berburu baju baru, mengecat rumah, hingga menghabiskan waktu berjam-jam di jalan menuju kampung halaman. Kalau sudah kelelahan, puasa pun kita korbankan. Padahal, keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah yang teristimewa. Kalau sudah begini, kemenangan macam apa yang kita harapkan?

“Seharusnya Ramadhan bisa jadi momentum tepat belajar qana’ah. Saat Ramadhan kita wajib shaum. Qana’ah dan shaum intinya sama-sama menahan diri. Yang satu menahan diri dari keserakahan terhadap dunia, lainnya bermakna menahan diri dari segala perkara yang merusak shaum, yang umumnya juga perkara dunia,” Ustadz Farid Nu’man, SS, mengingatkan.

Jauh dari Teladan Rasul

Ramadhan memang bulan istimewa yang patut disambut dengan suka cita. Namun kita sering salah kaprah, menyambutnya dengan suka cita yang penuh foya-foya. Bulan yang seharusnya kita penuhi dengan ibadah dan menabung bekal akhirat, malah kita isi dengan segala kesibukan yang bersifat duniawi.

Di Indonesia, hal ini seolah menjadi tradisi yang mendarah daging. Kemeriahan menyambut Ramadhan yang kadang berlebihan dianggap wajar saja. Kita berdalih, “Ah, Ramadhan, kan, cuma setahun sekali.” Tanpa kita sadari, kebiasaan-kebiasaan itu amat jauh dari apa yang dicontohkan Rasulullah saw.

Rasulullah saw yang hidupnya amat bersahaja amat membenci segala sesuatu yang berlebihan. Beliau tidak pernah makan hingga kekenyangan, berbuka puasa pun cukup dengan kurma dan segelas air. Beliau yang sudah dijamin masuk surga, saat Ramadhan malah semakin giat beribadah. Aisyah berkata, “Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah membaca Al-Qur’an semuanya, shalat sepanjang malam, dan puasa sebulan penuh, selain di bulan Ramadhan,” (HR Ahmad).

Antara tradisi, kebiasaan umum, dan teladan dari Rasulullah, semestinya kita bisa memilah mana yang paling tepat kita terapkan. Seperti halnya makna puasa yang mengajarkan kita untuk menahan diri dan mengekang hawa nafsu dari hal-hal yang bersifat duniawi, secara keseluruhan Ramadhan pun harus menjadi momentum indah belajar hidup qana’ah. Yuk, kita evaluasi lagi tujuan Ramadhan kita!

Maknai Ibadah, Latih Qana’ah

Semua ibadah, khususnya shaum yang diwajibkan selama Ramadhan, sebenarnya terkait sangat erat dengan pembelajaran hidup qana’ah. “Dengan catatan, jika kita hayati dengan benar ibadah-ibadah tersebut. Apalagi jika dilakukan konsisten selama satu bulan, ini merupakan gemblengan untuk kita menjadi pribadi yang qana’ah seperti Rasulullah,” kata Farid.

–   Puasa. Inti berpuasa adalah menahan diri, mengendalikan hawa nafsu. Usai melatih diri selama sebulan, seharusnya sikap ini bisa kita terapkan terus dalam setiap aspek kehidupan.

–   Berbuka dan sahur. Tidakkah kita malu memenuhi meja makan dengan aneka sajian, sementara Rasulullah selalu sahur dan berbuka dengan makanan yang sederhana? Beliau malah menganjurkan untuk berbagi. “Barang siapa memberikan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa itu,”(HR Nasa’i dan Tirmidzi).

–   Sedekah. “Sebaik-baik sedekah yaitu sedekah di bulan Ramadhan,” (HR Baihaqi, Khatib dan Tirmidzi). Meski hidupnya sangat sederhana, Rasulullah saw sangat suka bersedekah. Sedekah beliau saat Ramadhan melebihi angin yang bertiup ke mana pun membawa kebaikan, begitu cepat dan banyaknya.

–   I’tikaf. Ramadhan seharusnya menjadi momentum menghidupkan masjid dengan ibadah-ibadah seperti tarawih, shalat malam, dan tadarus Al-Qur’an, terutama di sepuluh malam terakhir. Rasulullah selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, kecuali pada tahun menjelang wafat, beliau i’tikaf selama dua puluh hari. Aisyah berkata, “Sesungguhnya Nabi saw selalu i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai beliau meninggal dunia, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sesudah beliau,” (HR Bukhari dan Muslim).

–   Idul Fitri. Kalau ibadah-ibadah di atas bisa kita maknai dengan benar, barulah kita layak merayakan kemenangan batin yang hakiki. Takbir kemenangan dikumandangkan untuk orang-orang yang berhasil menahan hawa nafsu, bukan yang berlomba-lomba dalam hal keduniawian, seperti pakaian dan makanan. Rasulullah saw mengingatkan, “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah,” (HR Bukhari dan Muslim).

Sumber ; ummi-online.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

8 − two =