Dalam waktu dekat, para tamu Allah akan berdatangan ke Tanah Suci untuk melaksanakan haji. Sebelum memulai rukun Islam kelima itu, sebaiknya calon jamaah memiliki pengetahuan mendasar tentang fikih haji. Ketentuan ibadah haji bagi laki-laki dan perempuan pada dasarnya sama. Namun, ada beberapa hal yang merupakan kekhususan bagi jamaah wanita. Di antaranya adalah sebagai berikut, seperti dinukil dari buku Tuntunan Manasik Haji terbitan Kementerian Agama (Kemenag RI).
Pertama, menutup aurat seluruh tubuh dengan busana Muslimah kecuali muka atau wajah dan pergelangan tangan hingga ujung jari. Namun, jamaah haji perempuan boleh membuka aurat karena kebutuhan. Misalnya, berwudhu selama ia berada di tempat wudhu wanita. Hukumnya tidak berdosa apabila auratnya dilihat oleh sesama jamaah wanita, kecuali membuka aurat antara pusar dan lutut. Adapun tersingkapnya aurat perempuan tidak termasuk pelanggaran ihram.
Kedua, jamaah perempuan jangan mengeraskan suara ketika berzikir, berdoa dan membaca talbiyah.
Ketiga, tidak berlari-lari kecil saat melakukan tawaf dan sa’i.
Keempat, jamaah perempuan tidak disunahkan mengecup Hajar Aswad, tetapi cukup dengan memberi isyarat yakni mengangkat atau menghadapkan telapak tangan ke arah batu hitam tersebut, dan lalu mengecup tangannya. Hukum mencium Hajar Aswad bagi perempuan adalah mubah. Jadi, ia tidak mendapat pahala apabila melakukannya dan tidak pula berdosa apabila meninggalkannya.
Kelima, jamaah perempuan jangan mencukur rambut (gundul), tetapi cukup memotong ujung rambutnya minimal tiga helai yakni saat tahalul.
Keenam, semua rukun dan wajib haji boleh dilaksanakan perempuan dalam kondisi haid nifas, kecuali tawaf. Jamaah wanita, baik gelombang kedatangan pertama maupun kedua, yang datang dalam keadaan haid tetap berniat ihram di miqat, sebagaimana jamaah haji lainnya. Akan tetapi, ia yang haid ini belum bisa melaksanakan tawaf hingga dirinya suci. Jamaah haji wanita boleh melakukan sai, wukuf, mabit, hingga lempar jumrah, dalam keadaan haid.
Ketujuh, perempuan yang hendak melakukan haji tamattu’ tetapi terhalang haid sebelum selesai umrah, maka ia harus menunggu hingga dirinya suci. Kemudian, ia melaksanakan tawaf, sai dan cukur (tahalul). Bila menjelang berangkat ke Padang Arafah ia belum suci, maka ia mengubah niat menjadi haji qiran dengan dikenakan dam satu ekor kambing, sebagaimana haji tamattu’. Niat ihramnya cukup dilakukan di hotel Makkah.
Kedelapan, jika jamaah perempuan segera pulang, padahal belum melaksanakan tawaf ifadhah, maka langkah-langkah yang harus ia lakukan secara berurutan adalah sebagai berikut.
(1) Ia mesti menunda tawaf dan menunggu sampai dirinya suci jika memiliki cukup waktu dan tidak terdesak oleh waktu kepulangan.
(2) Kemudian, meminum obat sekadar untuk memampatkan kucuran darah jika dia adalah jamaah haji gelombang pertama kloter awal yang harus segera kembali ke Tanah Air.
(Hukum penggunaan pil anti-haid untuk kepentingan ibadah haji adalah mubah. Namun demikian, penggunaan pil tersebut hukumnya tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran syariat, hukumnya haram. Adapun jika niatnya untuk kepentingan ibadah haji, hukumnya mubah.)
(3) Mengintip kondisi dirinya sendiri seandainya ada sela-sela hari atau waktu yang diperkirakan kucuran darah haid mampat dalam durasi yang cukup untuk sekadar melaksanakan tawaf tujuh putaran. Jika mendapati saat-saat kucuran darah haidnya mampat, ia harus segera mandi haid, lalu menutup rapat lubang tempat darah berasal dengan pembalut yang dimungkinkan darah itu tidak keluar (apalagi menetesi masjid). Selanjutnya, dia melakukan tawaf. Jika setelah dia tawaf darahnya keluar lagi, kondisi ini namanya “an-naqa”, yang berarti lebih tepat diartikan bersih, yang kemungkinan tidak keluar darah. Demikian itu adalah pendapat salah satu qaul Imam Syafi’i.
(4) Mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah, yang membolehkan perempuan haid melakukan tawaf, tetapi wajib membayar dam yakni seekor unta.
(5) Mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah yang tidak menjadikan kondisi suci-dari-haid sebagai syarat sahnya tawaf jika kondisi yang dihadapi jamaah perempuan ini darurat. Misalnya, dia harus segera pulang ke Tanah Air dan menuju ke Madinah berdasarkan jadwal penerbangan yang ada, lalu segera melaksanakan tawaf ifadhah dengan menutup rapat-rapat tempat darah keluar dengan pembalut yang dimungkinkan darah itu tidak keluar (apalagi menetesi masjid) selama ia melaksanakan tawaf ifadhah. Dengan melakukan ini, ia dikenakan dam.
Terakhir, jamaah perempuan yang haid, atau nifas, atau istihadhah tidak diwajibkan tawaf wada ketika akan meninggalkan Tanah Suci.