Oleh: Irhayati Harun

JIC – AKU bangkit dari pembaringan demi menghindari rasa bosan yang kian menumpuk dan menyesakkan. Menghampiri cermin yang telah setia menemani hari hari kelamku selama satu bulan ini. Kulihat wajah serupa mayat terpantul dari cermin setiaku saat wajahku memandangnya. Wajah tanpa ekspresi yang telah mati akan antusiasme hidup. Apapun tak lagi menarik minatku kini. Bahkan menulis dan membaca hal yang dulu aku sukai.
Sudah satu bulan ini aku masih berkutat di kamarku yang tak seberapa besar. Pandangan mataku seperti beberapa hari kemarin. Masih tetap redup tanpa sinar kebahagiaan. Bahkan hampir mati oleh rasa putus asa yang semakin mendera hingga membawaku ke dalam sebuah lorong yang sangat gelap. Akibat kehilangan dan kegagalan yang aku alami bertubi-tubi.
Pertama kehilangan kakak sulungku yang merupakan anak kebanggaan keluarga termasuk bagi Mande (ibu) ku. Anak yang begitu istimewa menurut Mande karena sedari kecil selalu mengukir prestasi hingga akhirnya bisa mendapatkan bea siswa keluar negeri. Namun di saat hidup Uda yang ia banggakan mencapai puncak kejayaannya, monster itu seenaknya merenggut Udanya. Setelah sebelumnya dia juga merenggut Uda (abang) keduanya yang dikenal sangat dermawan dan ramah semasa hidupnya. Hingga begitu banyak orang yang menangis menatap jasadnya. Bahkan ketika hendak dimakamkan, berduyun-duyun orang mengerubunginya. Begitu juga orang-orang yang hendak menshalatinya di mesjid, berebut tempat hingga penuh sampai keluar halaman. Seolah-olah mereka tak ingin melewatkan hari terakhir bersama sebelum Udanya itu dimakamkan. Dan korban berikutnya Mande yang sangat aku sayangi dan kagumi. Mande sosok yang luar biasa bagiku karena ketabahannya selama merawat kami, sebelas orang anaknya di tengah kesulitan ekonomi.
Kerap kusesali, mengapa Tuhan tak pernah mencegah di saat monster itu datang mengunjungi satu persatu orang yang kucintai? Lalu membawa mereka pergi dengan cara yang tak ingin ia ingat seumur hidupnya karena begitu menyakitkan. Monster yang telah meninggalkan bekas trauma di hatinya, hingga kecemasan dan ketakutan selalu menggelayutinya. Yah monster yang sedikitpun tak mengenal rasa cinta saat sudah berhadapan dengan korbannya. Mengapa oh mengapa? Sang Pemilik hidup tak mengulurkan pertolongan dan keajaibannya untuk keluarganya? Di saat Monster itu telah semena-mena menyakiti dan mengambil paksa orang-orang terbaik di keluarganya.
Kedua, kala sudah setahun lebih naskah cerita anakku yang pertama tak jua ada kepastian terbitnya, dengan alasan penerbit belum menemukan editor pengganti. Rasanya tak percaya penerbit yang cukup besar tak bisa merekrut editor baru. Dengan perasaan kecewa akhirnya naskah pun kutarik kembali. Begitu naskah kutarik, akupun segera menawarkannya ke penerbit lain dengan harapan akan diterbitkan. Kenyataannya penolakan dari penerbit-penerbit pun harus kuterima, dengan alasan yang berbeda-beda. Duh, aku tak boleh patah arang.
Terbersit ide untuk menulis naskah buku yang baru. Kali ini aku berminat menulis buku sejenis How too. Begitu rampung, aku pun kembali menawarkan ke para penerbit besar. Beruntungnya, begitu ditawarkan ke penerbit yang pertama, mereka sangat tertarik tapi dengan satu syarat hampir separuh naskah harus diganti dengan materi yang menurut mereka lebih populer dan layak jual. Owalah… bagai makan buah simalakama karena di satu sisi aku tak ingin konsep yang sudah kususun diganti begitu saja. Sementara di sisi lain aku ingin bukuku segera diterbitkan. (Bersambung…)
Sumber: Muslimah Inspiring Stories
Pusat Data JIC