KEKUATAN ITU BERNAMA IKHLAS PART II
JIC – Terbayang-bayang sudah buku solo-ku akan segera mejeng di toko buku dengan tertulis namaku di sampul depan buku. Tapi apa daya, lagi-lagi aku harus sabar menunggu momen bahagia itu. Dengan berat hati akupun menarik kembali naskahku untuk ditawarkan ke penerbit besar lainnya. Aku optimis penerbit lain pasti tertarik. Tapi lagi-lagi ditolak. Aku patah arang. Apalagi naskah buku yang kutulis bernasib sama, yaitu harus menerima pil pahit akibat ditolak sana-sini oleh penerbit. Tiba-tiba saja aku mengalami kejenuhan dalam menulis. Aku juga jadi benci dengan dunia tulis menulis. Pokoknya segala hal yang berhubungan dengan menulis! Hari-hari yang kulewati pun menjadi membosankan. Bayangkan, biasanya setiap hari waktu dan pikiranku disibukkan oleh menulis. Mulai dari memikirkan ide tulisan, sampai mencari bahan untuk menulis.
Selain itu, tak ada waktu kecuali duduk di depan laptop. Mulai dari mengetik kata demi kata sampai menjadi kalimat yang tersusun rapi dan apik. Sampai sekadar Facebook-an dan memposting tulisan di blog. Pokoknya segala kegiatan yang berhubungan dengan menulis.Tak ada lagi semangat dan optimis yang tinggi seperti awal mula menulis. Semuanya terbang begitu saja bersama mimpi-mimpi untuk menjadi penulis beken. Diriku sudah tak antusias lagi untuk mengejar impian menjadi penulis. Yang ada setiap hari aku hanya tiduran saja seharian.
Menghabiskan waktu dengan meringkuk di ruangan kamar seharian memang mem-bosankan, tapi untuk mengerjakan kegiatan lain pun sudah tak ada semangat. Mengalami rasa kehilangan orang-orang tercinta secara bertubi-tubi ditambah kegagalan dalam menulis yang kualami, membuatku berhenti pada satu titik bernama depresi. Sehari dua hari depresiku belum parah. Namun lama-kelamaan sering terbersit keinginan untuk mati saja.
Orang-orang terdekat begitu sedih melihat perubahan diriku yang sangat drastis. Apalagi di saat aku mulai suka menangis meraung-raung sambil melempar-lemparkan buku hingga berserakan di mana-mana. Tak hanya itu, menyuapkan nasi ke mulut pun sudah tak selera lagi. Sampai-sampai aku sering tak makan seharian. Aku juga mengalami susah tidur di malam hari. Kehilangan minat pada hal-hal yang dulu aku sukai yaitu menulis dan membaca. Berbulan-bulan didera depresi, keluargaku pun membawaku berobat ke psikiater. Oleh dokter aku didiagnosa terkena depresi akut karena adanya indikasi ingin mengakhiri hidup karena rasa putus asa yang tinggi. Oleh psikiater, aku dianjurkan untuk minum obat anti depresan dan obat penenang. Namun tiba-tiba di suatu pagi aku tersentak kala sebuah bisikan malaikat menenangkanku
“Kamu harus ikhlas menghadapi kegagalan-mu karena Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik. Dan kamu juga harus ikhlas dengan rasa kehilanganmu karena mereka sudah tenang di alam sana. Surga telah menanti mereka karena kesakitan yang mereka alami telah menggugurkan dosa-dosa mereka.”
Allahu Akbar… aku pun tersadar bahwa selama ini rasa tidak ikhlaslah yang telah membuatku terpuruk dalam kubangan duka hingga depresi. Harusnya aku menyadari bahwa kegagalan adalah sebuah kesukesan yang tertunda. Hanya masalah waktu saja. Sebuah kehilangan juga sesuatu yang wajar karena Yang Kuasa berhak mengambil nyawa siapapun termasuk ketiga orang keluargaku karena Dialah Pemilik Hidup hambanya yang sejatinya telah tertulis di Lauh Mahfuz jauh sebelum aku dan keluargaku dilahirkan.
Rasa haru pun menyelimutiku karena ternyata banyak hikmah luar biasa yang aku dapatkan lewat kegagalanku dan Monster yang bernama kanker itu. Yah, kini aku menjadi lebih menghargai hidup. Lewat monster itu juga aku mendapakan sebuah ilmu bernama ‘ikhlas’ Ilmu yang tidak dipelajari di sekolah manapun. Tapi hanya didapat lewat sekolah kehidupan yang penuh kepahitan dan kesedihan. (Bersambung…)
Sumber: Muslimah Inspiring Stories
Pusat Data JIC