KU GADAIKAN IMAN DEMI CINTA PART I

0
321

Oleh: Rizki Agviola

JIC – Ini cerita tentang aku, diriku yang tenggelam dalam lautan kasih yang kelam, kemudian terdiam lama tak bergeming, sampai aku merasakan titik hampa tak berkesudahan. Kemudian terseok-seok ke dasar, hingga berat kaki ini untuk kembali meraih permukaan. Mungkin kalian akan menghakimiku di dalam batin, betapa tipu daya benar-benar membutakan mata hati, sehingga menjadi nekat tak peduli walaupun sudah tahu mengarungi sebuah kesalahan.

Sekitar 50 tahun yang lalu, saat usiaku masih belia dan belum genap 20 tahun, aku pergi meninggalkan tanah air dan seluruh keluargaku tercinta, menuju perantauan ke bumi Eropa. Memang tidak mudah meminta izin untuk berkarier ke luar ibu pertiwi, apalagi aku anak paling kecil dan perempuan satu-satunya. Ditambah lagi, di keluarga besar kami, susah sekali mendapatkan keturunan anak perempuan, ya qodarullah memang adanya begitu.

Tidak cukup sehari, dua hari, sekali, dua kali aku memohon pada Emak untuk mengikhlaskan keberanianku mengadu nasib di luar negeri nan jauh di mata. Ku rayu-rayu Emak ku itu, sampai ku mohon-mohon dengan menangis disertai mogok ini itu agar semua tekadku terkabul dengan cepat. Karena kesempatan ini tidak mungkin datang dua kali, dan tidak semua pribumi bisa seenaknya menapakkan kaki di negeri orang tanpa embel-embel bisa ini itu.

Memang aku bukan keturunan pribumi sembarangan, maksudku, Bapakku seorang pelaut dan pedagang yang terkenal di Sumatera, Emakku juga seorang wanita pekerja keras yang cukup disegani di kampung karena watak tegasnya dan karena memiliki banyak kebun dan sawah di kampung. Emak itu petani yang sangat giat, berladang dan bersawah dia lakoni sendiri untuk menghidupi 7 anaknya yang masih hidup, saudara-saudaraku yang lain ada yang meninggal waktu kecil, atau sewaktu masih di perut Emak, aku tidak tahu persis bagaimana ceritanya, yang jelas kalau di total, jumlah kami ada 11 bersaudara. Banyak memang, tapi orang dulu rata-rata seperti itu. Emak berjibaku sendiri menghidupi kami, Bapak sudah meninggal sewaktu kami masih kecil karena terkena cacar api, yang mengharuskan beliau tidur di atas daun pisang selama sakit sampai akhir hayatnya.

Karena alasan itulah, Emak menjadi berat melepasku. Lelehan isak tangis penuh harap yang mengalir deras di sudut mataku pun, terlihat tidak digubrisnya. Aku menjadi resah dan hampir putus asa, karena saudara-saudara sekandungku yang lainnya pun merasa berat merelakan adik paling kecil dan anak perempuan satu-satunya di keluarga kami ini untuk meraih mimpi di tempat antah berantah yang tidak pernah mereka lihat. Tapi aku terus berdoa agar Allah lembutkan hati Emak dan mudahkan kehidupanku kelak di Eropa.

Alhamdulillah, tidak sampai seminggu mengiba-iba, Emak pun akhirnya luluh, ia bercerita mengizinkanku dengan alasan Bapak datang di mimpinya, dan meminta Emak merelakan kaki mungilku berlari riang menuju bandara dan menapaki pesawat yang membawaku mengarungi belahan bumi Eropa yang dulu hanya bisa kulihat di atlas dunia. Negara Jerman, di sinilah awal kekelamanku bermula. (Bersambung…)

Sumber: Muslimah Inspiring Stories

Pusat Data JIC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

three × two =