Keluarga korban menangis saat melihat proses pencarian korban banjir bandang di Desa Radda, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Sabtu (18/07). ANTARA FOTO
JIC,– Salah satu penyintas banjir bandang di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Nilda Saputri menceritakan pengalaman “menegangkan” saat banjir bandang menerjang rumahnya.
Banjir pada Senin (13/07) tersebut membawa lumpur setinggi 2,5 meter yang menyelimuti rumahnya dan menghanyutkan rumah tetangganya.
Dengan menggunakan ban, ia dan keluarganya mengungsi dari rumah menuju rumah tetangga yang berada di dataran lebih tinggi.
Pemerintah dan otoritas terkait kini fokus melakukan upaya penyelamatan dan pencarian orang yang hilang, serta membuka jalan yang kini tertutup dengan material lumpur menggunakan alat berat.
Selain itu, aparat terkait juga menyediakan enam posko taktis, mendirikan dapur umum di beberapa lokasi, dan menerapkan protokol kesehatan, serta membagikan masker dan hand sanitizer guna mengantisipasi penyebaran wabah virus corona.
Berdasarkan data hingga Sabtu (18/07), terdapat 36 orang meninggal dunia, 40 orang hilang, 58 luka-luka dan 14.483 jiwa mengungsi di 76 titik di tiga kecamatan.
Jumlah korban jiwa diprediksi akan terus bertambah. Pada Minggu (19/07), menurut Kepala Seksi Operasi dan Siaga Basarnas Makassar Muh Rizal, tim kembali mengevakuasi seorang korban perempuan di Dusun Pambaka, Desa Lapapa, Kecamatan Masamba, Kabupaten Luwu Utara. Sehingga total korban meninggal menjadi 37 orang.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO
Foto udara kondisi Kota Masamba yang tertimbun lumpur akibat terjangan banjir bandang di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Jumat (17/07).
‘Rumah saya tenggelam, rumah tetangga hanyut’
Nilda Saputri, 21 tahun, warga Kelurahan Bone, Kecamatan Masamba, Kabupaten Luwu Utara mengatakan, banjir merupakan peristiwa tahunan yang kerap terjadi di tempat tinggalnya.
Namun ia tidak menyangka banjir Senin (13/07) malam lalu “mengancam” nyawa ia dan keluarganya.
“Malam Senin itu banjir, air naik sampai di jalan, di dalam rumah itu sekitar dua meter setengah airnya, biasanya tidak. Malam keduanya itu malam Selasa, banjir, naik air pas Magrib,” kata Nilda kepada wartawan di Sulawesi Selatan, Darul Amri, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (19/07).
“Kemudian saya sama bapakku masih di rumah, semua orang masih di rumah. Jadi saya ambil ban evakuasi semua mamaku, pamanku, tanteku, adik-adikku sama nenek. Saya taruh di rumah tetangga yang tinggi tempatnya dia, samping rumah,” lanjutnya.
Tidak lama, air pun surut, saat warga beranjak kembali ke rumah masing-masing, beberapa warga berteriak “dapat kabar dari atas gunung Desa Maipi bahwa air sungai deras, dan diminta warga pesisir sungai untuk berhati-hati dan segera mengungsi.
“Tapi kami tidak panik. Namun, kami melihat rumah tetangga tiang-tiangnya bunyi keras, dan rumahnya hanyut. Kami semua kaget dan berlarian,” kata Nilda.
Akibat bencana itu, rumah Nilda diselimuti lumpur dan pasir dan barang-barang rumah sebagianya tidak terselamatkan.
“Untung berkas disimpan di atas plafon waktu sebelum banjir, jadi jaraknya itu air satu meter untung tidak sampai. Di dalam rumahnya itu pasir sama lumpur. Kalau di luar rumah sampai atap, dalam rumah itu kebanyakan air dan lumpur,” kata Nilda.
“Harapannya pihak pemerintah bisa bantu membangun rumah dengan cepat, masa mau mengungsi terus. Ini sekarang kami sedang mengungsi di masjid,” ungkap Nilda.

SUMBER GAMBAR,BASARNAS
‘Kampung rata: hilang dari penglihatan’
Amir Kapeng (53) warga Kelurahan Bone Tua, Kecamatan Masamba, menceritakan terdapat beberapa daerah yang terdampak parah seperti di daerah Radda, Bone Tua, dan Baebunta.
Bahkan, katanya, ada beberapa kampung yang “hilang” karena tertimbun material pasir dan lumpur bencana longsor.
“Iya, ada beberapa kampung itu terlihat sudah rata, habis itu bangunan. Itu hilang semua jadi penglihatan kita dari jarak jauh sudah tidak terhalang lagi dengan ada itu rumah, karena sudah tertimbun tanah, ada yang sudah terbawa air itu di daerah Radda itu. Di situ memang hancur,” kata Amir.
Untuk itu Amir meminta pemerintah untuk segera melakukan evakuasi dan penyelamatan di daerah-daerah yang terdampak parah untuk menolong korban yang masih bisa diselamatkan.
Amir menambahkan, sejak bencana hingga saat ini sebagian warga korban bencana masih mengevakuasi diri ke rumah keluarga mereka.
Amir menambahkan untuk di wilayahnya, bantuan dari pemerintah dan relawan sudah sampai ke warga terdampak di kamp pengungsian. Bantuan di antaranya berupa makanan, pakaian, dan obat-obatan.
Tapi, kata Amir, masih ada satu yang belum dipenuhi pemerintah dan sangat dibutuhkan masyarakat yaitu air bersih untuk minum dan memasak.
“Mereka ini [pemerintah] sudah mendatangi rumah ke rumah. Lampu sudah menyala tinggal air ini yang belum full, jadi pihak aparat sudah menyalurkan air dari rumah ke rumah cuma memang ledeng itu belum jalan, mungkin masih tahap perbaikan barang kali,” jelas Amir.

SUMBER GAMBAR,ANTARA
Korban terus bertambah: 37 orang meninggal
Kasi Operasi dan Siaga Basarnas, Muh. Rizal mengungkapkan, hari ini, Minggu (19/07), tim gabungan telah mengevakuasi seorang korban perempuan yang belum teridentifikasi identitasnya.
Kondisi korban yang tertimbun lumpur dan pepohonan, serta akses jalan yang hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki, membuat proses evakuasi cukup sulit dilakukan para tim gabungan dan membutuhkan waktu hingga empat jam.
“Hari ini (Minggu) kita dapat lagi seorang korban, perempuan ciri-ciri disampaikan tadi korban pakai celana panjang seperti trening, saat ini sudah dikirim ke rumah sakit hikmah untuk proses identifikasi dari teman-teman DVI,” kata Muh Rizal.
Korban perempuan tersebut ditemukan di Dusun Pambaka, Desa Lapapa, Kecamatan Masamba, Kabupaten Luwu Utara.
Sehingga total kini korban jiwa menjadi 37 orang dari yang sebelumnya, Sabtu (18/07) kemarin, korban meninggal dunia 36 orang, 40 orang hilang, 58 luka-luka dan 14.483 jiwa mengungsi di 76 titik di tiga kecamatan.

SUMBER GAMBAR,BASARNAS
Kronologi banjir bandang dan penyebabnya
Kepala Subdirektorat Kelembagaan Daerah Aliran Sungai, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yuli Utami menceritakan kronologi terjadinya banjir bandang.
Pada Senin lalu, kata Yuli, pukul 20:15 WITA, volume air dari bantaran Sungai Masamba meluap, namun tidak begitu besar.
Air sempat surut dan warga yang mengungsi kembali ke rumah masing-masing pada pukul 20:45 WITA.
“Namun jam sembilan malam, Sungai Masamba kembali menguap dengan perkiraan ketinggian air empat meter. Banjir yang terjadi di Desa Balebo, Masamba merupakan tipe banjir limpasan, sedangkan di Kecamatan Masamba, Malangke, Baebunta merupakan tipe banjir genangan,” kata Yuli.
Terdapat dua penyebab banjir yaitu faktor alam dan manusia. Faktor alam berupa curah hujan yang tinggi dengan intensitas lebih dari 100 milimeter per hari, kemiringan lereng di daerah aliran sungai Balease sangat curam, dan jenis tanah yang bersifat lempung, debu dan remah dengan konsistensi gembur.
“Karakteristik tanah dan batuan di lereng yang curam menyebabkan potensi longsor tinggi yang selanjutnya membentu bendung alami yang mudah jebol jika ada akumulasi air berlebih,” kata Yuli.
Faktor kedua adalah manusia, yaitu “adanya pembukaan lahan di daerah hulu DAS Balease dan penggunaan lahan masif berupa perkebunan kepala sawit. Sehingga rekomendasinya adala penegakan hukum terkait pembukan lahan di Kawasan hutan lindung, pemulihan lahan terbuka dengan rehabilitasi hutan dan lahan,” tambah Yuli.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO
Apa upaya yang dilakukan pemerintah?
Terdapat beberapa upaya penyelamatan dan pemulihan wilayah terdampak banjir bandang di Luwu Utara.
Pertama, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengerahkan 10 unit excavator, empat unit bulldozer, dan 29 unit dump truck untuk melakukan pembersihan jalan dan pengeringan daratan yang tergenang.
“Rencana tahap selanjutnya yaitu pengukuran topografi sungai untuk mendapatkan alur asli sungai sehingga bisa merancang perkuatan tebing dengan target selesai dua minggu ke depan,” kata kasubdit perencanaan teknis Direktorat Sungai dan Pantai Kementerian PUPR Leo Eliasta Sembiring.
Selanjutnya, tambah Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Raditya Jati, bupati Luwu Utara telah menetapkan status Tanggap Darurat selama 30 hari terhitung sejak 14 Juli hingga 12 Agustus 2020, dan mengaktifkan posko penanganan darurat bencana di kantor BPBD Kabupaten Luwu Utara.
“632 personil tim SAR gabungan melakukan pencarian pertolongan dan evakuasi korban banjir. Kini fokus melalukan pencarian dan evakuasi korban dan membuka jalan yang tertutup lumur.
“Dana siap pakai Rp1 miliar untuk bantuan logisitik dan peralatan tambahan berupa satu motor trail, 1000 paket sembako, 10 tenda pengungsi, dan 50 kantong mayat,” kata Raditya.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO
‘64% zona kemarau, 36% zona hujan’
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan saat ini 64,04% wilayah di Indonesia memasuki musim kemarau yang tersebar dari Jawa Barat hingga Nusa Tenggara Timur.
Sedangkan sisanya, 35,94% mengalami musim hujan untuk wilayah Sumatera bagian barat, Kalimantan bagian utara, Sulawesi bagian tengah hingga Papua bagian utara.
“Hari tanpa hujan terpanjang terjadi di NTT selama 70 hari. Sementara daerah yang peningkatan curah hujan dan berpotensi menyebabkan bencana seperti banjir, banjir bandang, longsor, angin kencang, hujan dan kilat,” kata kepala bidang analisis variablitias iklim BMKG Indra Gustari.
Untuk itu, BMKG meminta masyarakat untuk selalu waspada dan berjaga-jaga dalam menghadapi musim kemarau dan hujan yang masih berpotensi lebat.
Sumber : bbcindonesia.com