MENAKAR HUKUM LARANGAN MENSHALATI JENAZAH ORANG MUNAFIK

0
929

JIC, Jakarta — Beredarnya pemberitaan  pengurus masjid yang enggan menshalatkan jenazah pemilih pemimpin non-Muslim menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Pesan dalam spanduk yang berbunyi ‘Masjid Ini tidak Menshalatkan Jenazah Pendukung dan Pembela Penista Agama’ menjadi viral di media sosial.

Para pendukung diterbitkannya imbauan tersebut beralasan bahwa pemilih pemimpin non-Muslim memiliki sifat munafik. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS at-Taubah ayat ke-84 yang berbunyi, “Dan, janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.”

Turunnya ayat ini merupakan teguran kepada Rasulullah SAW yang hendak menyalatkan Abdullah bin Ubay bin Salul. Salah satu tokoh munafik terkemuka di Madinah. Imam Ibnu Katsir menukil dari Hadis Riwayat Imam Bukhari. Pada saat matinya Abdullah bin Ubay bin Salul, anak Abdullah yang juga bernama Abdullah menghadap kepada Rasulullah SAW. Dia meminta agar Nabi memberikan gamis nabi untuk dijadikan kain kafan ayahnya.

Kemudian, Abdullah meminta kepada Rasulullah untuk menyalatkan jenazah ayahnya. Rasulullah pun bangkit untuk menyalatkannya. Namun, Umar bangkit seraya menarik baju Nabi untuk melarang beliau menyalatkannya. Rasulullah SAW pun bersabda: “Sesungguhnya Allah hanya memberiku pilihan. Dia telah berfirman,”Kamu mohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Dan, aku akan melakukannya lebih dari tujuh puluh kali.”

Umar pun berkata kepada Nabi. “Dia orang munafik.” Namun, Rasulullah tetap menshalatkannya, kemudian turunlah ayat yang berisi larangan untuk menyalatkan orang munafik tersebut. Ketua Dewan Pakar Masjid Al Ihsan Ustaz Adi Hidayat menjelaskan, usai turunnya ayat itu, Nabi tidak pernah lagi menshalatkan orang-orang yang terindikasi memiliki karakteristik seperti Abdullah bin Ubay bin Salul.

Hanya, ujar Ustaz Adi, Nabi akan mengonfirmasi terlebih dahulu sebelum bersikap demikian. Bagaimana keadaan dan sikap orang tersebut kepada Islam hingga akhir hayatnya. Jika sudah dipastikan munafik, Nabi tidak menshalatkannya.

“Tapi, perhatikan bagaimana Nabi menolak untuk menyalatkan. Silakan keluarga atau temannya yang menyalatkan. Saya tidak menyalatkan,” ujar Ustaz Adi saat berbincang dengan Republika di Bekasi, belum lama ini.

Melihat dari praktik yang Nabi perbuat, Ustaz Adi yang menukil dari pendapat Imam Ibnu Katsir menjelaska, hukum tidak menyalatkan orang munafik merupakan hukum umum. Tidak hanya sebatas kepada Abdullah bin Ubay bin Salul. Hukum ini dikenakan bagi orang yang terindikasi betul bahwa meski Muslim, dia menentang ajaran Islam. Itu pun diketahui oleh kaumnya. Bukan hanya tidak boleh dishalatkan, kuburannya pun tak boleh didoakan.

Merujuk pada kisah Abdullah bin Ubay bin Salul, dia merupakan orang yang paling dekat shalat dengan Nabi. Akan tetapi, ketika shalat sudah selesai, dia kembali mencela Nabi. Dia juga pernah membuat masjid tandingan atau masjid dhirar untuk menyaingi masjid nabi. Dia pun memprovokasi pasukan Muslim untuk meninggalkan medan laga saat terjadi Perang Uhud.

Ustaz Adi melanjutkan, hukum larangan menshalatkan juga hanya dikenakan kepada orang yang benar-benar mengetahui bahwa jenazah tersebut pun memang munafik.

Untuk orang yang tidak tahu maka tidak dikenakan hukum tersebut. Ini merujuk saat Nabi menolak menyalatkan jenazah orang munafik sambil mempersilakan teman dan keluarganya yang menyalatkan. Artinya, kata Ustaz Adi, shalat jenazah masih terbuka buat orang yang tidak mengetahui kemunafikan jenazah hingga akhir hayatnya.

Syarat lainnya adalah sifat munafiknya dibawa sampai meninggal dunia. Jangan tiba-tiba masyarakat enggan menyalatkan jenazah yang di masa hidupnya menentang Islam padahal di akhir hidupnya dia bertaubat kepada Allah SWT.

Kehati-hatian ini ditunjukkan Umar bin Khattab manakala hendak menyalatkan jenazah. Umar baru berani menyalatkan jenazah seseorang jika dia melihat Hudzaifah al Yamani menyalatkan jenazah itu. Hudzaifah dikenal memiliki ketajaman pengetahuan untuk mengetahui apakah seseorang itu munafik atau tidak. “Kalau Hudzaifah tidak menyalatkan, baru Umar tidak berani.”

Kemudian, Ustaz Adi berpendapat hukum ini tidak berlaku bagi orang awam. Dia mencontohkan bagi Muslim yang memilih pemimpin non-Muslim yang menggunakan suaranya karena faktor uang dan tidak mengetahui isi ayat tersebut maka hukum fikih ini tidak berlaku. “Mungkin arti munafik saja dia tidak tahu,” kata Ustaz Adi.

Meski demikian, Ustaz Adi memberi catatan bahwa ada pendekatan  selain fikih ibadah yang dijelaskan di atas. Ustaz lulusan Libia ini menjelaskan, fikih dakwah dijadikan pendekatan preventif untuk memandang suatu masalah.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, wajib bagi orang Islam untuk menyalatkan Muslim yang meninggal meski yang bersangkutan dituduh munafik. “Kita tidak boleh menghukumi seseorang itu munafik atau kafir, yang berhak hanya Allah SWT,” kata Zainut. Menurut Zainut, pengurusan jenazah seorang Muslim hukumnya fardhu kifayah. Umat Islam pun bekewajiban memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan bagi seorang jenazah Muslim.

Fardhu kifayah, kata dia, bermakna jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya maka semua orang yang mukim atau bertempat tinggal di daerah tersebut berdosa. Menurut dia, sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu Umar bin Khattab RA pernah berkata, “Dulu ketika Rasulullah masih hidup, untuk menilai apakah orang itu munafik atau tidak itu dijawab dengan turunnya wahyu Allah. Tetapi, setelah Rasulullah wafat maka untuk menghukumi seseorang itu beriman atau tidak, hanya bisa dilihat dari yang tampak lahirnya bukan batinnya.”

Sabda itu, menurut Zainut, menunjukkan tidak bolehnya memvonis keyakinan dan kepercayaan orang lain sepanjang orang tersebut masih memperlihatkan keIslamannya. MUI, kata dia, mengimbau kepada semua umat Islam agar bersikap proporsional. Dia pun mengimbau agar umat Islam harus tetap menjaga persaudaraan.

Sumber ; republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here