MENGAPA OKI TERKESAN TAK BERSUARA SIKAPI UIGHUR CHINA?

0
268
OKI terkesan tidak bersuara menyikapi dugaan penindasan Muslim Uighur. Ilustrasi Muslim Uighur China

JIC – Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), badan multilateral terbesar yang mengklaim mewakili umat global, mengadakan pertemuan virtual untuk menghormati Hari Solidaritas Kashmir Jumat (12/2) lalu. Acara itu dihadiri perwakilan dari Pakistan, Turki, Arab Saudi, Nigeria, dan Azerbaijan. Mereka menyatakan dukungan penuh untuk gerakan memerdekakan Muslim di wilayah Himalaya, salah satu dari empat wilayah terpadat yang disengketakan India dan Pakistan.

Georgia Leatherdale-Gilholy, penulis di Foundation for Uighur Freedom menyayangkan kealpaan negara-negara itu, karena tidak menyinggung sama sekali tentang nasib Muslim di China. Menurutnya, pemerintahan Cina, khususnya Beijing perlu dikritisi terkait kebijakan ekstrem mereka terhadap Muslim Uighur.

“Bahkan pada Juli 2019, lebih dari selusin negara anggota OKI ikut menandatangani piagam yang memuji pencapaian China di bidang hak asasi manusia. Padahal China justru menangkap, mendeportasi bahkan membunuh Muslim Uighur,” ujar kontributor Young Voices itu yang dikutip di National Interest, Senin (15/2).

“Mudah untuk menemukan kejanggalan di balik standar ganda OKI, uang. Ini adalah sebagai bagian belt dan road (sabuk dan jalan), dimana China menginvestasikan lebih dari 8 miliar dolar AS untuk mengencangkan ‘sabuk’ lintas benua, dan membuka ‘jalan’ bagi rencana mereka untuk memusnahkan Uighur,” jelas dia.

‘Sabuk’ ini akan menggabungkan sebagian besar negara mayoritas Muslim di dunia, dari Sudan hingga Indonesia, dimana kejatuhan ekonomi, mulai dari pandemi hingga ketidakstabilan politik jangka panjang, akan membuat negara-negara Muslim ini mau tidak mau menggantungkan nasib perekonomian mereka pada China, kata Georgia.

Keuntungan finansial, bagaimanapun, hanyalah satu bagian dari cerita. Beijing kini bahkan telah menjadi investor asing terbesar di kawasan Teluk dan memainkan peran besar di negara-negara mayoritas Muslim. Ketidakberdayaan mereka membuat tak sedikit anggota OKI yang ‘lepas tangan’ dengan kebengisan Beijing, asalkan uang mereka dapat terus mengalir, sambungnya.

“Jika sebelumnya PM Pakistan Imran Khan sempat menegur secara agresif rencana Presiden Prancis Macron untuk mengatasi radikalisme Islam, namun dia tidak menunjukkan sikap untuk membela Uighur. Begitu juga Erdogan yang tiba-tiba berhenti mengkritik kebijakan Cina setelah menerima dana bantuan 1 miliar USD pada 2019, maka semua ini nyatanya memiliki tanggal kadaluarwa,” ujarnya.

Sebuah laporan Asia Times dari Desember mengungkapkan betapa luasnya inefisiensi dan korupsi yang telah memaksa otoritas keuangan China untuk mengurangi arus kas mereka ke Pakistan. Selain itu, baru-baru ini Bloomberg melaporkan bahwa Pakistan secara informal membahas pelonggaran persyaratan pembayaran pada serangkaian pembangkit listrik, yang menunjukkan bahwa China bersedia mengurangi neracanya sendiri demi pengembalian investasi jangka panjang di wilayah tersebut.

Banyak ahli menganggap bahwa jaringan represi dan kerja paksa yang luas adalah respons terhadap tuntutan upah yang meningkat yang mengancam keunggulan kompetitifnya dalam manufaktur berbiaya rendah. Tetapi ini menyiratkan bahwa situasi minoritas di China kemungkinan akan menjadi lebih buruk.

“Pengakuan Washington atas genosida di Xinjiang adalah sebuah permulaan, tetapi tidak ada artinya tanpa tindak lanjut apa pun. Namun masih ada peluang dalam KTT G7 pada Juli mendatang, yang akan menghadirkan Korea Selatan, Australia dan India untuk menjadi tempat yang tepat untuk meluncurkan aliansi inti negara-negara demokrasi yang ingin bekerja sama dalam masalah-masalah ini,” kata Georgia.

“Bersamaan dengan penyelidikan domestik terhadap keterlibatan perusahaan, harus ditegaskan pula bahwa tidak akan ada lagi pendanaan langsung atau tidak langsung untuk pelanggaran hak asasi manusia di China melalui lembaga global,” tegasnya.

“Terlepas dari apakah hal ini menyebabkan ketegangan dalam hubungan Amerika dengan negara-negara OKI seperti Arab Saudi dan Pakistan atau tidak. OKI telah memperjelas kepentingannya, mengejar strategi keuangan, sedangkan hak asasi manusia hanyalah visi alternatif saja,” pungkasnya.

Sumber : republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

three × two =