
JIC, JAKARTA — Perawakannya tak terlalu tinggi, sedang-sedang saja. Wajahnya yang dihiasi jambang yang rapih berwarna kemerahan dan hidung mancung dengan mata bulat tampak begitu meneduhkan. Dari itu semua, keindahan yang paling jelas terlihat adalah senyumnya yang selalu mengembang di wajahnya. Itulah perawakan Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz.
Pekan lalu, dalam pidatonya di Jakarta di hadapan tokoh lintas agama, Habib Umar menyampaikan pandangan tentang pentingnya menjaga hubungan baik antar umat beragama. Pandangannya terasa begitu kokoh karena selalu ditopang oleh sederet ayat Al-Qur’an, Al-Hadist atau pendapat ulama terdahulu.
Di depan pendeta, romo, bikkhu dan tokoh agama lain, Habib Umar berhasil menemukan common ground di mana semua agama memiliki kesamaan pandangan, misalnya tentang pernghormatan pada kemanusiaan, larangan mengambil hak tetangga dan pentingnya menjaga kebaikan di antara umat beragama. Kesamaan ini yang diangkat dan di-highlight berkali-kali dengan landasan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Habib Umar yang menyadari bahwa dalam perbedaan masyarakat kerap terjadi perbedaan pendapat dan ‘gesekan’ di antara merekameminta maaf jika itu terjadi di Indonesia. Kelompok umat Islam yang melakukan tindakan anarkis sehingga menyebabkan umat lain terganggu disebutnya sebagai umat yang belum paham tentang ajaran Islam. Kalaupun mereka adalah orang yang paham akan ajaran Islam, maka mereka adalah orang yang belum menjalankan ajaran Islam dengan baik.
“Kami meminta maaf apabila sampai ada orang nonmuslim yang pernah mendapatkan gangguan dari oknum beragama Islam. Seandainya ada umat agama lain yang terganggu oleh oknum agama Islam, saya katakan bahwa mereka adalah orang yang tidak paham ajaran Islam, atau mereka tak menjalankan ajaran agama Islam dengan baik,” kata Habib Umar.
Sosok yang bijaksana dan penuh perhatian
Selain berpemikiran luas, Habib Umar bin Hafidz merupakan sosok yang bijaksana. Habib Hamid Al-Qodri salah seorang murid Habib Umar yang berasal dari Indonesia mengatakan bahwa kebijaksanaan Habib Umar terlihat dari kebiasaannya yang tidak pernah menggeneralisir sebuah kesalahan dan menisbatkannya pada sebuah kelompok tertentu.
“Beliau (Habib Umar) tidak akan menyebut sebuah kesalahan sebagai kesalahan sebuah kelompok. Sebab bisa jadi kesalahan itu tidak dilakukan oleh semuanya,” kata Habib Hamid Al-Qodri kepada NU Online.
Dalam pandangan Habib Umar, katanya, akan selalu ada anggota kelompok yang berperilaku tidak sesuai dengan ajaran baik di dalam kelompoknya. Maka dari itu, penyamarataan atau melakukan generalisasi sama dengan menyebut bahwa semua orang di dalam kelompok melakukan hal buruk itu yang hanya dilakukan satu atau dua orang itu. Jika sikap itu diambil, maka akan menghalangi silaturrahmi antara kelompok.
Selain itu, Habib Umar merupakan sosok yang memiliki perhatian yang tinggi pada muridnya-muridnya. Habib Hamid Al-Qodri mengisahkan, pada sebuah malam di musim dingin di mana suhu di Pondok Darul Mustofa, Tarim, Hadramaut, Yaman mencapai 4 derajat celcius, beberapa murid asal Indonesia kedinginan. Mereka adalah murid yang baru beberapa saat tiba di Yaman dan baru pertama kali merasakan musim dingin.
Pada waktu itu, terdapat empat murid asal Indonesia yang tak kebagian selimut tebal. Akhirnya Habib Umar mendatanginya sambil membawa dua lembar selimut. Lalu Habib Umar bertanya, ‘apakah selimutnya masih kurang?’. Para muridnya menjawab, ‘Iya masih kurang, Habib’.
Selang beberapa waktu Habib Umar datang dengan selembar selimut di tangannya. Setelah menyerahkan, Habib Umar bertanya lagi, ‘apakah masih kurang?’. Lalu muridnya menjawab ‘Iya, kurang satu lagi Habib’. Tak lama, Habib Umar datang lagi membawa dan menyerahkan selembar selimut lainnya yang agak bau ‘pesing’. Walhasil murid yang menerima selimut terakhir ini sedikit menggerutu.
Keesokan harinya ia mengeluh pada temannya yang lebih senior tentang selimut yang diterimanya. Rekannya lalu berkata, “Sesungguhnya dua selimut yang diberikan pertama kali oleh Habib Umar adalah milik Habib Umar sendiri dan istrinya. Sedangkan dua yang terakhir adalah milik anak-anaknya yang masih kecil,” kata rekannya seperti ditirukan Habib Hamid Al-Qodri.
“Jadi Habib Umar sampai rela dia dan keluarganya serta anak-anaknya tidur kedingingan karena rasa perhatian yang tinggi pada muridnya yang datang dari jauh,” ujarnya.
Sumber: nu.or.id











