NERAKA POSO: KONFLIK ISLAM-KRISTEN, WARGA KETURUNAN, SANTOSO, DAN TIBO

0
129
Sejumlah prajurit TNI menyusuri jalan setapak dalam hutan untuk memburu kelompok Santoso di Desa Sedoa, Lore Utara, Poso, Sulawesi Tengah, Kamis (24/3). Aparat gabungan TNI-Polri terus memburu kelompok teroris pimpinan Santoso yang kian terdesak di pegunungan Poso dalam operasi keamanan bersandi Tinombala 2016. ANTARA FOTO/Edy/BMZ/ama/16

Kelompok Santoso (Ilustarsi)                                                                                                            Foto:

Konflik Meluas, Munculnya Santoso dan Tibo

REPUBLIKA, JIC, — Berhari-hari saya mencoba menulis laporan tentang kasus Poso. Tetapi saya tidak berhasil menyusun kalimat demi kalimat. Saya gagal, walaupun sudah berusaha menenangkan diri dengan menyanyi diiringi band. Lagu demi lagu. Namun, lagi-lagi saat di depan monitor laptop, saya belum bisa menulis.

Terus terang saya terbawa suasana pada 1998 hingga 2001. Poso bagi saya adalah neraka liputan. Pada masa itu lebih dari 600 rumah terbakar, sekitar 60 ribu warga mengungsi. Jangan tanya jumlah warga yang tewas, saya pegang data jumlah korban tewas. Mengerikan!

Warga Islam ketakutan karena menganggap laskar Kristen akan menghabisinya. Warga Kristen pun juga ketakutan karena menganggap laskar Islam akan menghabisinya. Kedua warga Islam dan Kristen pun mengungsi. Demikian pula warga Hindu yang merasa berada di tengah peperangan bernuansa SARA.

Konflik ini berawal dari masalah sepele, saat bulan puasa Ramadhan, seorang warga keturunan yang sedang mabuk membacok seorang warga yang berbeda agama di masjid. Polisi telat mengantisipasi masalah tersebut, kerusuhan pun berbuntut panjang.

Apalagi menjelang berlangsungnya pilkada Poso, terjadi saling provokasi dengan membuat selebaran yang menghasut. Kedua provokator dan pemimpin penyerangan akhirnya memang mati terbunuh.

Selanjutnya, terjadi saling lempar ke perkampungan berbeda agama. Saling serang dan bakar rumah penduduk dan rumah ibadah. Bahkan saling bunuh!

Mengerikan melihat mayat dari kedua belah pihak tergeletak di jalan-jalan dan mengapung di sungai-sungai. Ribuan massa dari keduanya saling baku bunuh.

Siapa yang menyulut terlebih dahulu? Tidak jelas. Yang jelas,  kedua masyarakat berbeda agama itu tersulut emosi.

Pemerintah telat mengantisipasinya. Seharusnya pemerintah sudah menetapkan keadaan sebagai darurat sipil! Namun hal itu tidak dilakukan. Aparat kepolisian tak lagi berwibawa menghadapi dua laskar yang sudah mendidih darahnya. Sejumlah polisi pun tewas. Bagi saya saat itu, di Poso seharusnya sudah diberlakukan darurat militer untuk menjaga kewibawaan pemerintah. Namun, negara seperti tidak hadir di situ.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menganggap Pemerintah Indonesia gagal melindungi warga yang berbeda agama dan keyakinan itu. Sampai kemudian muncul tokoh seperti Santoso yang dianggap pahlawan bagi umat Islam Poso serta Tibo yang dianggap pahlawan bagi umat Kristen Poso.

Gila! Itulah kata yang bisa saya ungkapkan mengenai figur-figur tersebut dan gagalnya pemerintah menyelesaikan kasus Poso. Perjanjian Malino hanya di atas kertas karena kewibawaan pemerintah sudah tidak ada.

Saya tidak ingin dan tidak bermimpi ada kasus seperti itu lagi di bumi nusantara. Sesama anak bangsa bertikai dan saling bunuh atas nama Tuhan-Nya adalah tindakan keji dan biadab.
Damailah Indonesiaku!

Oleh: Selamat Ginting, (Jurnalis Senior Republika)

Sumber : Republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here