Senin sore (17/11/2014), saya dan rekan-rekan dari Jakarta Islamic Centre berkunjung ke salah seorang teman saya di kantornya di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Teman saya ini bercerita tentang kesuksesan pariwisata yang disebabkan faktor 5 S , menurut sebuah desertasi yang ia baca, yaitu: Service (layanan), Sea (laut), Sand (pasir atau pantai), Sun (matahari) dan Sex (layanan seks). S yang kelima (Sex). Ada yang menambahkan S yang keenam, yaitu Smile (senyuman). Namun, Smile bisa dimasukkan ke Service sehingga tetap hanya ada 5S dengan Sex sebagai S yang terakhir. Di wisata syariah, Sex diganti dengan Syariah. Kini, paraiwisata syariah sedang tumbuh berkembang, namun, kawan saya ini menjelaskan bahwa tanpa adanya Sex (layanan seks), pariwisata syariah sepertinya akan kesulitan bersaing dengan pariwisata konvensional.
Teman saya ini seorang muslim yang baik, ia tidak sedang mengkampanyekan paham free sex, yang ia nyatakan adalah fakta di lapangan, yang ia lihat dan rasakan, dari aktivitas pariwisata yang selama ini berlangsung di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Betapa gencarnya biro-biro pariwisata dan pihak-pihak terkait mempromosikan wisata Indonesia kepada wisatawan mancanegara, terutama dari negara-negara Barat, dengan juga memfasilitasi kegiatan yang telah menjadi budaya dan gaya hidup orang-orang Barat yang tentu saja masih tabu bagi orang-orang Timur, apalagi bagi umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di Indonesia.
Salah satu contohnya seperti yang dilakukan sebuah hotel di Kawasan Kota Semarang, Jawa Tengah pada bulan Oktober 2014, yang saya kutip dari merdeka.com, yang menggelar acara pesta bir dan menyuguhkan tarian seksi. Layaknya private party, hotel berbintang empat ini mengundang puluhan tamu dari kalangan ekspatriat dari beberapa negara di antaranya; Jerman, Belanda, Kanada, Amerika, Inggris dan Belgia. Pihak hotel menyatakan, “Kami sengaja untuk pertama kalinya menggelar acara bertajuk ‘Oktoberfest’ ini. Di mana layaknya budaya orang-orang Jerman khususnya dan Eropa pada umumnya mereka melakukan pesta bir. Kami mengundang mereka melalui kelompok-kelompok ekspatriat yang ada di Jawa Tengah.” Pesta dimulai sekitar pukul 20.00 WIB malam dan digelar di tepi kolam renang yang ada di hotel tersebut. Sambil diiringi host music dari DJ Moza, pesta bir ini terbagi dalam dua tahapan acara dan diselingi kompetisi pesta bir. Dalam setiap tahapannya diselingi serta diawali dengan penampilan tiga penari seksi. Dua wisatawan dari Belgia perempuan yang dimintai pendapat, Belle dan Chaty, mengaku sangat menikmati acara yang disuguhkan oleh pihak hotel. “Saya sangat bahagia dan senang dengan acara ini. Kami berharap acara ini dilaksanakan setiap bulan Oktober layaknya kebiasaan di negara kami yang membuat kami merasa terhibur dan menikmati wisata di Kota Semarang, Jawa Tengah ini,” seloroh dua turis yang merupakan kakak beradik ini. Menurut rencana, budaya pesta bir dan menyuguhkan tarian seksi ini akan digelar setiap bulan Oktober di hotel yang ada di Kawasan Jalan Sisingamangaraja, Kota Semarang, Jawa Tengah ini. Lalu, apa kaitan acara pesta bir dengan tarian seksi? Sudah bisa ditebak, tentu saja ada layanan seks walau sulit untuk menyebutnya sebagai kegiatan prostitusi karena berlindung pada kalimat “suka sama suka”. Pesta bir atau minuman berakohol dan tarian seksi ini bukan hanya terjadi di kota Semarang, tetapi juga di kota-kota besar lainnya seperti Jakarta. Bahkan kegiatan-kegiatan ini lebih marak lagi saat perayaan menyambut malam tahun baru nanti.
Inilah yang dimaksudkan teman saya bahwa selama ini parwisata kita di Indonesia nyaris tergantung dengan kegiatan S yang kelima itu, hanya karena mengejar keuntungan besar tanpa memperhitungkan dampak sosialnya, karena hidupnya bisnis pariwisata kita lebih mengandalkan dari wisatawan dari negara-negara dengan budaya minum bir atau alkohol dan permisif terhadap hubungan seks pra nikah. Tidak difasilitasi saja orang-orang dengan kebiasaan minum alkohol dan seks pra nikah ini akan tetap melakukannya di tempat-tempat wisata kita, apalagi ini difasilitasi dan dilayani dengan baik; tentu mereka akan membanjiri Indonesia tiap tahunnya. Walhasil, tempat-tempat wisata di Indonesia sebagian seperti tempat pembuangan hajat: Setelah para wisatawan mancanegara penggemar alkohol dan seks pra nikah ini selesai membuang hajatnya dan kembali ke negaranya, kotorannya menjadi persoalan besar kita: Remaja dan pemuda kita di tempat-tempat wisata favorit wisatawan mancanegara gemar meminum bir atau minuman berakohol lainya, gemar pula melakukan seks pra nikah dan ada pula yang gemar melakukan hubungan seks sesama jenis, yang mengkibatkan semakin tingginya penyebaran penyakit HIV/AIDS. Pendapatan negara dari pariwisata menjadi tidak sebanding dari biaya yang harus ditanggung oleh negara untuk menyelesaikan kotoran-kotoran parawisata berbasis alkohol dan seks pra nikah ini.
Dengan munculnya pariwisata syariah di Indonesia, bahkan kini mulai berkembang pesat, seharusnya dapat membuka mata dan menjadi pintu tobat para pelaku parawisata konvensional berbasis alkohol dan seks pra nikah. Sudah saatnya para pelaku ini beralih ke pariwisata syariah karena fakta dan data terkini menunjukkan bahwa berbisnis di pariwisata syariah juga sama untungnya dengan berbisnis di pariwisata konvensional, bahkan mendapatkan dua keuntungan sekaligus, yaitu keuntungan di dunia dan di akhirat. Namun, mereka dituntut untuk menjelaskan hal ini kepada para pelanggannya yang terdahulu dengan mengatakan,”Not sex, but syariah!” Biarlah para pelanggannya yang tidak setuju dengan syariah meninggalkan mereka, tapi yakinlah Allah SWT telah menyiapkan rezeki yang lebih baik dari sebelumnya karena hal ini juga telah dilakukan oleh mereka yang kini sukses di bisnis pariwisata syariah.
Akhir Kalam, sebagai Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta, Jakarta Islamic Centre (JIC) meminta masukkan dari masyarakat berupa ide, gagas atau konsep agar JIC dapat berperan lebih maksimal dalam pengembangan wisata syariah di DKI Jakarta