Penerapan sanksi berupa pemberhentian seorang pelajar SMA dan pemidanaan seorang warga Nusa Tentara Barat (NTB) terkait dugaan hinaan terhadap Palestina dikhawatirkan bermunculan di daerah lain di Indonesia jika pihak berwenang tak mengambil langkah bijak.
JIC,– Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan kedua kasus semestinya direspons secara edukatif, bukan hukuman ataupun penahanan yang mestinya tidak diperlukan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berpendapat, mengingat salah satu terduga adalah siswi SMA yang telah keluar dari sekolah, perlu kehati-hatian dalam mengambil tindakan agar hak pendidikan warga negara tidak dilanggar.
Menanggapi hal tersebut, kepolisian menyatakan telah mengevaluasi kasus pidana ujaran kebencian terhadap Palestina.
Sedangkan, Kemendikbud Ristek mengklaim telah mendorong diskusi positif dalam penyelesaian kasus pemberhentian pelajar SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah.

SUMBER GAMBAR,ANTARAFOTO/MOCH ASIM
HM, warga Nusa Tenggara Barat, harus mendekam di penjara beberapa hari setelah ia mengunggah postingan yang dilaporkan polisi mengandung unsur ujaran kebencian terhadap Palestina.
Sebelumnya, HM ditangkap polisi setelah dirinya dilaporkan atas kasus ujaran kebencian terhadap Palestina via akun TikTok dan Facebook pada 15 Mei lalu.
Melalui delik aduan Pasal 28 ayat (2) junto Pasal 45a ayat (2) UU ITE, HM terancam hukuman paling lama 6 tahun penjara.
Hal serupa juga menimpa MS (19 tahun). Pelajar SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu ini dikeluarkan dari sekolah karena dugaan penghinaan terhadap negara Palestina.

SUMBER GAMBAR,ANTARAFOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
“Keputusan ini diambil setelah pihak sekolah mengevaluasi tata tertib sekolah dan pelanggaran MS dan hasilnya yang bersangkutan sudah melampaui ketentuan,” kata Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Bengkulu Tengah, Adang Parlindungan kepada wartawan.
Menurut kajian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), HM dan MS bukan orang-orang yang punya pemahaman yang baik mengenai okupasi Israel atas Palestina.
Keduanya juga mengunggah postingan atas dasar reaksi ketidaktahuan dan ketidakbijakan menggunakan media sosial.
“Sehingga dalam analisis kami, yang seharusnya diberikan adalah edukasi bukan hukuman yang justru memberikan dampak yang lebih buruk kepada mereka,” kata Peneliti ICJR, Sustira Dirga kepada BBC News Indonesia, Kamis (20/05).
Sumber : bbcindonesia.com